Menyelamatkan Napas Terakhir Eden 100: Seruan Konservasi untuk Sumatera Utara

POV: Taman Eden 100 di Toba, Sumatera Utara. (Gambar: istimewa)

Oleh: Laurensia Romaria Sinaga *)

SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Taman Eden 100 di Sumatera Utara adalah salah satu kawasan wisata alam yang sejak awal dibangun dengan semangat konservasi, namun kini menghadapi berbagai tantangan ekologis seiring meningkatnya jumlah pengunjung dan tekanan ekonomi di sekitar kawasan tersebut.

Kawasan yang dikenal dengan hutan tropis lembab, jalur trekking alami, air terjun, goa, serta koleksi ratusan jenis pohon ini sebenarnya bukan sekadar tempat rekreasi, melainkan ruang hidup beragam flora-fauna yang membutuhkan ekosistem stabil.

Ketika kunjungan wisata tidak dibarengi dengan pengelolaan yang tepat, dampak negatifnya cepat terasa: sampah yang meningkat, jejak erosi di jalur pendakian, gangguan terhadap satwa, serta potensi penurunan kualitas air di mata air dan aliran sungai kecil yang menjadi daya tarik utama.

Masalah ini mencerminkan dilema umum pariwisata alam di Indonesia—di satu sisi ingin mengangkat ekonomi lokal, tetapi di sisi lain rentan merusak aset alam yang justru menjadi dasar pariwisatanya.

Permasalahan inti di Taman Eden 100 bukan hanya soal meningkatnya wisatawan, tetapi kurangnya model pengelolaan berbasis konservasi yang terstruktur. Banyak destinasi alam terjebak pada pola pembangunan cepat tanpa kajian daya dukung ekologis.

Akibatnya, jalur-jalur baru dibuka tanpa kajian kemiringan dan stabilitas tanah, fasilitas dibangun terlalu dekat dengan area sensitif, dan masyarakat sekitar belum seluruhnya dilibatkan dalam perencanaan konservasi.

Kondisi ini membuat kawasan rawan terhadap erosi, terutama pada musim hujan ketika tanah vulkanik cenderung mudah longsor. Selain itu, sampah plastik dari makanan ringan dan botol minuman yang dibawa pengunjung seringkali tidak kembali keluar dari kawasan, mencemari vegetasi atau tersapu ke aliran air terjun.

Dari sisi keanekaragaman hayati, keberadaan pengunjung yang tidak memahami etika kawasan konservasi—misalnya berteriak, memberi makan satwa, atau memetik tanaman—juga turut mengganggu dinamika hutan.

Karena itu, konservasi Taman Eden 100 harus menempatkan alam sebagai pusat kebijakan, sementara pariwisata berperan sebagai fungsi pendukung yang diatur ketat.

Solusi pertama yang dapat dilakukan adalah menerapkan sistem zonasi yang ketat untuk memisahkan area inti konservasi dari area wisata.

Zona inti harus benar-benar steril dari aktivitas manusia kecuali untuk penelitian, sehingga regenerasi alami dapat berlangsung tanpa gangguan.manusia

Zona pemanfaatan terbatas dapat digunakan untuk edukasi alam, sementara zona rekreasi ditempatkan pada area yang ekologinya cukup kuat menahan aktivitas manusia.

Dengan zonasi ini, kerusakan dapat diminimalisir dan pengunjung tetap bisa menikmati pengalaman alam tanpa merusak area sensitif.

Solusi kedua adalah meningkatkan kapasitas pengelolaan berbasis komunitas. Pengelola
kawasan harus melibatkan warga lokal dalam patroli hutan, pengelolaan sampah, menjadi pemandu wisata, hingga penelitian sederhana seperti pendataan satwa atau kualitas air.

Mekanisme ini bukan hanya mengurangi beban pengelola, tetapi juga memberi insentif ekonomi bagi masyarakat agar menjadi penjaga hutan, bukan pemanfaat bebas.

Pendekatan berbasis komunitas juga membuat kebijakan konservasi lebih diterima karena warga merasa memiliki kepentingan langsung terhadap kelestarian kawasan.

Infrastruktur ramah lingkungan menjadi solusi ketiga yang sangat penting. Jalur trekking harus dirancang menggunakan teknik konservasi tanah seperti penggunaan boardwalk kayu, batu pijak yang disusun secara stabil, atau pengalihan jalur di area rentan erosi.

Fasilitas seperti toilet sebaiknya memakai sistem ramah lingkungan seperti bio-septic untuk mencegah pencemaran air.

Pengelolaan sampah harus menuju konsep zero waste: setiap pengunjung wajib keluar dengan sampah yang ia bawa, serta denda tegas bagi yang melanggar.

Pengelola juga dapat menyediakan titik refill air agar wisatawan tidak perlu membeli air mineral kemasan. Edukasi juga memegang peranan krusial. Di setiap titik strategis perlu dipasang panel interpretatif yang menjelaskan flora-fauna, nilai ekosistem, serta aturan perilaku.

Program wisata edukatif seperti “tour konservasi”, sesi penanaman pohon, atau volunteer day dapat memperkuat kesadaran lingkungan. Pengunjung yang memahami nilai ekologis cenderung lebih patuh dan lebih bangga berkontribusi pada pelestarian.

Terakhir, konservasi jangka panjang membutuhkan kolaborasi ilmiah dan kebijakan berkelanjutan. Pengelola perlu bermitra dengan universitas, LSM lingkungan, dan lembaga pemerintah untuk memantau perubahan ekosistem, memahami ancaman jangka panjang, serta merumuskan kebijakan adaptif menghadapi perubahan iklim.

Penelitian tentang daya dukung kawasan, kerentanan geologi, serta keanekaragaman hayati harus menjadi dasar setiap keputusan pembangunan.

Jika pendekatan-pendekatan ini diterapkan secara konsisten—zonasi ketat, pemberdayaan komunitas, infrastruktur ekologis, edukasi pengunjung, dan kolaborasi ilmiah—maka Taman Eden 100 dapat menjadi contoh wisata konservasi yang berhasil, di mana pariwisata tidak menghancurkan alam, tetapi justru mendukung pelestariannya.

Kawasan ini memiliki potensi menjadi model konservasi berbasis ekowisata di Sumatera Utara, dan keberhasilannya akan menjadi warisan penting bagi generasi mendatang. (Red)

*) Penulis: Laurensia Romaria Sinaga, mahasiswa Program Pascasarjana Prodi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like