Menyelamatkan Beo Nias, Menyelamatkan Suara Hutan Nusantara

POV: Beo Nias (Gracula robusta)/ gambar: pinterest

Oleh: Nita Ayu Assari *)

SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Beo Nias (Gracula robusta) bukan sekadar burung pengicau yang pandai menirukan suara manusia, melainkan simbol kecerdasan, keindahan, dan kekayaan hayati Indonesia yang kini berada di ambang kepunahan.

Burung ini merupakan spesies endemik Pulau Nias dan kepulauan sekitarnya di Sumatera Utara, menjadikannya bagian penting dari identitas ekologis Nusantara. Namun sayangnya, gema suaranya di alam liar kini semakin jarang terdengar.

Menurut laporan BirdLife International (2023) dan data dari IUCN Red List, Beo Nias kini berstatus Critically Endangered (Terancam Kritis), yang berarti populasinya di alam liar terancam punah dalam waktu dekat. Populasi burung ini juga menurun drastis akibat perburuan liar untuk perdagangan satwa peliharaan dan kerusakan habitat alami.

Seperti diberitakan oleh DetikSumut (2023), Beo Nias memiliki panjang tubuh sekitar 40 cm dengan bulu hitam berkilau, paruh oranye, dan gelambir kuning tebal di kepala ciri khas yang membuatnya menonjol di antara spesies beo lainnya.

Kemampuannya menirukan ucapan manusia justru menjadi daya tarik utama bagi para pemburu dan pedagang ilegal. Banyak masyarakat tertarik memeliharanya tanpa
menyadari bahwa setiap ekor Beo Nias yang dibeli berarti satu individu liar yang hilang dari hutan.

Dalam laporan Antara News (Juni 2022), seorang pelaku perdagangan satwa ditangkap di Palembang karena menjual enam ekor Beo Nias secara daring. Pelaku mengaku memperoleh burung tersebut dari Pulau Nias dengan harga Rp. 700.000 per ekor dan menjualnya kembali hingga Rp1,2 juta.

Kasus ini menggambarkan bahwa rantai perdagangan ilegal satwa endemik masih marak terjadi di Indonesia, terutama karena lemahnya pengawasan dan rendahnya kesadaran publik. Padahal, Beo Nias telah ditetapkan sebagai satwa yang dilindungi melalui SK Menteri Pertanian No. 421/Kpts/Um/8/1970.

Artinya, penangkapan, pemeliharaan, atau perdagangan tanpa izin resmi adalah pelanggaran hukum yang dapat dikenai sanksi pidana. Namun kenyataannya, aturan ini sering kali tidak diimbangi dengan penegakan hukum yang kuat di lapangan.

Lebih dari sekadar korban perdagangan, Beo Nias memegang fungsi ekologis penting sebagai penyebar biji di hutan tropis. Seperti dijelaskan oleh pakar konservasi dari BKSDA Sumatera Utara (2021), burung ini membantu proses regenerasi pepohonan melalui biji buah yang dimakannya.

Hilangnya populasi Beo Nias berarti hilangnya agen alami yang menjaga keseimbangan hutan. Akibatnya, regenerasi tanaman melambat, keanekaragaman hayati menurun, dan dalam jangka panjang, kualitas ekosistem akan
memburuk.

Upaya penyelamatan Beo Nias tidak dapat bergantung pada hukum semata. Dibutuhkan sinergi antara pemerintah, lembaga konservasi, dan masyarakat lokal. Salah satu langkah inspiratif datang dari Direktorat Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE, 2021) yang menjadikan Beo Nias sebagai maskot resmi Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) ke-34 di Universitas Sumatera Utara.

Melalui simbol ini, Beo Nias diangkat sebagai ikon Intelligent, Tough, and Outstanding, menggambarkan semangat cerdas dan tangguh khas fauna Indonesia. Selain edukasi, pemanfaatan teknologi digital juga dapat memperkuat upaya konservasi.

Penggunaan drone, camera trap, dan monitoring online membantu petugas memantau perdagangan satwa liar di dunia maya serta memetakan lokasi habitat yang kritis.

Program rehabilitasi dan pelepasliaran oleh BKSDA serta lembaga non pemerintah menjadi langkah penting dalam memulihkan populasi Beo Nias di alam. Namun, akar persoalan konservasi selalu kembali pada manusia. Tanpa kesadaran kolektif, setiap kebijakan hanya menjadi teks hukum tanpa makna.

Masyarakat lokal di Pulau Nias perlu diberdayakan melalui ekowisata berbasis komunitas yang memberi manfaat ekonomi langsung dari pelestarian alam. Ketika menjaga Beo Nias menjadi sumber penghidupan, bukan sekadar kewajiban moral, maka kelestarian spesies ini akan berkelanjutan.

Menjaga Beo Nias bukan hanya menjaga satu spesies, melainkan menjaga suara hutan Indonesia. Dalam banyak budaya Nusantara, burung dianggap sebagai simbol kebijaksanaan dan pembawa pesan antara manusia dan alam. Hilangnya Beo Nias berarti hilangnya bagian dari identitas ekologis dan kultural bangsa.

Bayangkan jika suatu hari anak cucu kita hanya mengenal Beo Nias melalui video di internet tanpa pernah mendengar suaranya yang menirukan tawa manusia. Itulah masa depan yang akan datang jika kita terus diam. Menyelamatkan Beo Nias berarti menyelamatkan suara kehidupan Nusantara. (Red)

*) Penulis: Nita Ayu Assari, mahasiswa Program Pascasarjana Prodi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like