Ketika Angka Nol Terlalu Banyak: Saatnya Indonesia Menata Ulang Rupiah?

Dr. Yanuar Rachmansyah, pengamat kebijakan ekonomi, Ketua Program Magister Manajemen Universitas BPD Semarang

Oleh: Yanuar Rachmansyah*)

SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Pernahkah Anda memperhatikan betapa panjangnya deretan angka di setiap struk belanja kita? Betapa harga-harga terlihat jauh lebih besar dari kenyataan hanya karena tumpukan nol yang seakan tak berujung?

Atau mungkin Anda sempat bertanya-tanya mengapa mata uang negara lain tampak begitu sederhana, padahal kekuatan ekonominya tidak selalu lebih unggul dari Indonesia?

Pertanyaan-pertanyaan kecil itu sebenarnya membawa kita pada satu isu besar yang terus tertunda dan muncul kembali di era Menteri keuangan kita Pak Purbaya yaitu redenominasi rupiah.

Sebuah langkah yang sering disalahpahami, namun jika ditinjau dari sudut pandang ilmiah, justru menunjukkan peluang besar bagi masa depan sistem keuangan Indonesia.

Sayangnya, redenominasi masih kerap dianggap sebagai sanering—padahal keduanya sangat berbeda. Sanering itu memotong nilai uang, sementara redenominasi hanya menyederhanakan digit nominal tanpa mengubah daya beli.

Masalah utama yang sering membayangi publik adalah money illusion yaitu ilusi psikologis ketika angka kecil dianggap lebih murah atau sebaliknya. Ini adalah reaksi wajar manusia terhadap perubahan visual, bukan perubahan nilai riil.

Namun, money illusion dapat dikelola dengan cara yang sangat sederhana yaitu dengan sosialisasi, contoh perbandingan harga lama dan baru, serta masa transisi dengan penulisan dua harga seperti yang dilakukan di Turki dan Korea Selatan.

Pengalaman negara lain yang sudah melakukan redenominasi adalah menekankan perlu bebrapa syarat misal masa transisi yang cukup, kesiapan perangkat teknologi serta keberhasilan negara dalam program inklusi keuangannya.

Penelitian terdahulu baik dari dalam dan luar negeri telah menunjukkan pola yang konsisten, yang semuanya mengarah pada kesimpulan bahwa redenominasi adalah kebijakan yang aman dan efektif apabila dilakukan pada waktu yang tepat.

Misalnya, studi Astrini, Juanda & Achsani (2016) menunjukkan bahwa penyederhanaan digit mampu meningkatkan efisiensi harga terutama bagi barang-barang yang elastis.

Kemudian Pambudi et al. (2014) menegaskan bahwa kendati redenominasi bisa berisiko jika inflasi tinggi, manfaatnya akan besar jika inflasi terkendali—karena kebijakan ini justru menertibkan mekanisme penetapan harga.

Sementara itu, Permana (2015) menemukan bahwa redenominasi membawa keuntungan administratif jangka panjang, mulai dari efisiensi pencetakan uang hingga penyederhanaan akuntansi bisnis dan pemerintahan.

Žídek & Chribik (2015), melalui studi mereka mengenai redenominasi di Turki, menegaskan bahwa penyederhanaan nilai mata uang dapat meningkatkan kredibilitas moneter ketika dilakukan dalam periode stabil.

Hal ini sejalan dengan temuan Mosley (2005) yang menilai bahwa penghilangan nol bukan sekadar langkah simbolik, tetapi langkah reputasional yang memperbaiki persepsi terhadap mata uang suatu negara.

Dari kancah internasional, kita belajar lebih banyak lagi. Negara Polandia pada tahun 1995, misalnya, berhasil menghapus empat nol dan memperbaiki kredibilitas moneter mereka, sekaligus menyederhanakan sistem fiskal dan pembayaran.

Begitu juga dengan Turki pada tahun 2005 menjadi contoh emas bagaimana redenominasi enam nol pada Lira meningkatkan persepsi global dan memberikan stabilitas harga yang lebih kuat.

Rumania dan Brasil juga berhasil melakukan beberapa siklus redenominasi yang dipadukan dengan reformasi fiskal sehingga berhasil menurunkan volatilitas harga pada fase-fase kuncinya.

Bahkan negara-negara yang pernah gagal seperti Zimbabwe dan Kongo justru memberikan pelajaran penting: kegagalan mereka terjadi bukan karena kebijakan redenominasi, tetapi karena dilakukan dalam kondisi hiperinflasi ekstrem.

Artinya redenominasi tidak boleh dilakukan saat ekonomi kacau, pertumbuhan melambat dan stagflasi namun sangat efektif jika dilakukan dalam kondisi yang stabil.

Dengan bukti-bukti ini, semakin jelas bahwa Indonesia sebenarnya memiliki landasan akademis yang kuat untuk melangkah tanpa ragu ragu lagi. Terlalu lama kita menunggu redenominasi, sejak 2010 dan dari dulu sekedar wacana.

Namun, keberhasilan redenominasi yang perlu di tekankan dan sangat urgen adalah pada kesiapan politik dan sosial. Indonesia memiliki modal kuat yaitu inflasi relatif rendah dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi konsisten, dan digitalisasi sistem pembayaran yang semakin matang.

Bahkan, tren transaksi non-tunai melalui QRIS, e-wallet, dan sistem perbankan digital membuat potensi keberhasilan redenominasi lebih tinggi dibanding satu dekade lalu.

Prospek perekonomian Indonesia pasca-redenominasi juga cukup cerah. Penyederhanaan nominal akan memperkuat efisiensi sistem transaksi nasional, mengurangi risiko kesalahan akuntansi, dan menurunkan beban administrasi.

Sistem keuangan menjadi lebih rapi dan mudah dipahami oleh investor asing, yang pada gilirannya dapat memperbaiki persepsi risiko dan mendorong arus modal masuk.

Dengan rupiah yang lebih sederhana dan kredibel, UMKM pun akan merasakan manfaatnya mulai dari pembukuan yang lebih efisien hingga literasi keuangan yang lebih mudah dipahami masyarakat. Dalam jangka panjang, hal ini memperkuat daya saing ekonomi Indonesia di pasar global.

Namun, dibalik potensi besar ini, ada satu prasyarat yang tidak bisa ditawar: komunikasi publik dan keberanian politik. Negara-negara yang sukses tidak hanya menyiapkan sistemnya, tetapi juga publiknya.

Sosialisasi harga lama dan harga baru, masa transisi dengan pencantuman dua harga, edukasi tentang perbedaan redenominasi dan sanering, serta kesiapan perbankan dan pelaku usaha adalah kunci keberhasilan. Semua elemen ini bukanlah tantangan yang mustahil; Indonesia sudah jauh lebih siap daripada tahun-tahun sebelumnya.

Melihat kekayaan penelitian terdahulu, pengalaman negara-negara yang sukses, hasil kajian domestik, hingga kesiapan infrastruktur ekonomi Indonesia saat ini, seharusnya kebijakan ini tidak perlu lagi “digantung”.

Justru dengan landasan empiris yang begitu kuat, redenominasi adalah langkah logis dan progresif untuk memperkuat stabilitas dan martabat rupiah. Rupiah yang lebih sederhana bukan sekadar perubahan angka, ia adalah simbol transformasi ekonomi negara yang percaya diri.

Dan pada akhirnya, pertanyaannya kini kembali kepada kita. Jika dunia sudah menunjukkan jalannya, penelitian telah membuktikan keamanannya, dan Indonesia telah memiliki seluruh prasyarat teknisnya, masihkah kita akan terus menuna lagi? Dan lagi? Atau menata ulang rupiah demi masa depan ekonomi yang lebih kuat? (Red)

*) Yanuar Rachmansyah, Pemerhati Kebijakan Publik, Pengajar pada Program Magister Manajemen (MM), Universitas BPD Semarang

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like