Oleh: Laurensia Romaria Sinaga *)
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Monyet kedih atau yang dikenal juga sebagai Thomas’s langur (Presbytis thomasi) adalah primata endemik Pulau Sumatera yang berkarakteristik jambul kepala dan pola warna tubuh yang khas.
Meski bukan ikon populer seperti orangutan, kedih memainkan peran ekologi dan kultural
yang penting di hutan-hutan Sumatra Utara, Aceh, dan Riau.
Ancaman kepunahan yang terus membayangi spesies ini bukan hanya kehilangan satu jenis hewan, melainkan juga melemahkan fungsi ekosistem, keanekaragaman genetik, dan kesejahteraan masyarakat lokal.
Saya berargumen bahwa konservasi kedih bukan sekadar pilihan etis, melainkan kebutuhan ekologis dan sosial yang mendesak. Kedih termasuk kelompok leaf monkeys (langur), yang memiliki strategi makan dan perilaku sosial khas; studi lapangan menunjukkan mereka memakan buah, bunga, daun (folivori-frugivori) dan bergerak dalam kelompok dengan home range tertentu—perilaku ini membuat mereka menjadi penyebar biji dan bagian penting dari dinamika regenerasi hutan.
Hilangnya kedih berarti menurunnya proses alami penyebaran benih untuk jenis-jenis pohon tertentu, yang pada jangka panjang dapat mengubah struktur vegetasi hutan. Penelitian perilaku dan pergerakan Thomas’s langur memberikan bukti empiris tentang fungsi ruang hidup dan pola foraging yang kritis bagi pemahaman ekologi hutan Sumatera.
Beberapa studi lapangan dan analisis populasi menunjukkan penyusutan populasi kedih akibat beberapa faktor antropogenik: konversi hutan primer dan sekunder menjadi perkebunan (termasuk sawit), fragmentasi habitat, kebakaran hutan, gangguan akibat manusia, serta perburuan lokal di beberapa lokasi.
Fragmentasi membuat kelompok-kelompok kedih terisolasi dalam sisa-sisa kantong hutan, menurunkan aliran genetik antar-kelompok dan meningkatkan risiko local extinction karena peristiwa acak (stochastic events). Data populasi lokal di beberapa cagar alam memperlihatkan tekanan nyata pada kelestarian spesies ini.
Kedih bukan hanya bagian dari mosaik hayati; bagi masyarakat lokal kedih terkadang memiliki nama lokal dan posisi dalam cerita atau pengamatan alam setempat—hilangnya spesies dapat mengurangi nilai budaya dan potensi ekowisata yang bermanfaat bagi ekonomi lokal.
Dari sisi ilmiah, Presbytis thomasi menjadi subjek studi perilaku, komunikasi vocal, dan ekologi spesifik habitat Pulau Sumatera; kepunahannya akan menutup kesempatan penelitian yang dapat memberi wawasan tentang evolusi primata Asia dan fungsi ekosistem hutan tropis.
Keunikan endemik dan kerentanan —sebagai taksa endemik dengan jangkauan geografis
terbatas, setiap kehilangan habitat berarti proporsi besar populasi global terancam sekaligus.
Melindungi kedih berarti melindungi warisan genetik yang tidak ada duanya. Monyet kedih perlu di konservasi karena ia merupakan jaringan fungsi ekosistem di mana ia berperan dalam penyebaran biji dan interaksi tumbuhan-hewan mendukung regenerasi hutan.
Tanpa mereka, beberapa pola vegetasi bisa berubah, mengurangi ketahanan hutan terhadap gangguan dan pencegahan kepunahan lokal yang murah dibandingkan pemulihan—menghentikan konversi habitat dan membangun koridor lebih efektif biaya dibandingkan upaya restorasi ekstensif jika populasi sudah sangat kecil.
Studi home range dan pergerakan menunjukkan pentingnya konektivitas vegetasi untuk kelangsungan hidup kedih. Beberapa diantaranya sebagai berikut.
Pertama, perlunya konservasi praktis. Yakni dengan menetapkan dan menegakkan kawasan lindung di daerah-daerah kunci (yakni jangkauan yang dilaporkan di Aceh, Sumut, Riau) serta menghentikan konversi hutan primer.
Kedua, membangun koridor ekologis. Yaitu dengan menghubungkan kantong-kantong habitat untuk memastikan pertukaran genetik dan pergerakan kelompok—strategi penting untuk spesies arboreal dengan home range tertentu.
Ketiga, riset lanjut dan pemantauan populasi. Yakni dengan menjalankan survei populasi sistematis, studi diet dan kebutuhan habitat, serta pemantauan jangka panjang agar kebijakan berbasis bukti dapat dirumuskan. Banyak studi lokal sudah memetakan pola dasar yang perlu dilanjutkan dan diperluas.
Keempat, dengan merlibatan komunitas dan alternatif ekonomi. Menggandeng masyarakat lokal melalui program pengelolaan lahan berkelanjutan, ekowisata, dan insentif ekonomi yang mengurangi tekanan terhadap habitat.
Kelima, penegakan hukum dan kebijakan. Yakni dengan memperkuat perlindungan hukum, pengawasan, dan sanksi terhadap perburuan atau perusakan habitat.
Dapat disimpulkan bahwa punahnya monyet kedih bukan sekadar cerita kehilangan satu spesies; itu cermin dari degradasi habitat tropis dan ketidakseimbangan hubungan manusia–alam.
Konservasi kedih adalah investasi pada ekosistem yang sehat, penelitian ilmiah, dan
kesejahteraan komunitas lokal. Langkah-langkah yang dipandu data ilmiah—dari perlindungan habitat hingga penguatan komunitas—masih bisa menyelamatkan kedih dari ambang kepunahan.
Kita punya tanggung jawab moral sekaligus ekologis untuk bertindak sekarang, sebelum suara khas kedih di kanopi hutan Sumatra menjadi hanya sejarah. (Red)
*) Penulis: Laurensia Romaria Sinaga, mahasiswa Program Pascasarjana Prodi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara