Oleh: Luky Philipi Sembiring *)
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Kebakaran hutan merupakan sebuah tragedi yang bukan sekedar membahas isu lingkungan, tetapi menunjukkan citra kepada dunia bahwa negara kita sudah gagal dalam menjaga warisan alam terkhusus pada Kaldera Danau Toba.
Setiap titik api yang berkobar dan menyala merupakan tangisan dari dalam bumi yang harus kita dengarkan dan harus dengan segera kita tanggapi dengan tindakan yang nyata.
Kebakaran hutan yang semakin parah dari tahun ke tahun di lingkaran Kaldera Danau Toba bukan hanya sekedar bencana alam, tetapi ini merupakan peringatan keras yang menyuarakan kerusakan lingkungan akibat ulah manusia sendiri.
Kebakaran hutan ini tidak hanya berdampak pada hilangnya ekosistem hutan sebagai penyedia oksigen di bumi dan rusaknya habitat satwa endemik, kebakaran hutan ini juga akan menimbulkan masalah kesehatan yang sangat serius termasuk ISPA yang mengancam masyarakat di sekitar arela kebakaran dan juga berdampak pada masyarakat perkotaan.
Bahaya kebakaran semakin meningkat akibat kondisi topografi bukit yang curam. Sering kali pada saat pembukaan lahan baru, penduduk melakukannya dengan membakar lahan yang dipenuhi dengan rumput ilalang yang sangat mudah terbakar dan meluas.
Selain itu, hutan indung juga sampai sekarang masih banyak dimanfaatakan oleh masyarakat yang semakin meluas. Karena mereka hanya peduli pada sisi ekonomi tetapi tidak sedikitpun melirik pada sisi konservasi.
Kaldera Danau Toba merupakan keajaiban alam sekaligus warisan budaya Batak yang sangat penting dan diakui UNESCO. Namun, seringkali keindahan kawasan Danau Toba malah tertutupi oleh hitamnya kabut asap yang disebabkan oleh kebakaran hutan dan lahan yang terus berulang setiap tahunnya.
Pada tahun 2024, tercatat sekitar 300 hektar lahan hutan lindung hangus terbakar habis. Dan pada tahun 2025 dikutip dari berita kompas, tercatat lebih dari 150 hektar lahan terbakar di kawasan Tele, Kabupaten Samosir dan api melahap lebih dari 30 hektar hutan dan lahan di Tongging, Kabupaten Karo.
Penyebab dari kebaran hutan Kaldera Danau Toba sendiri dapat disebabkan oleh dua hal. Yang pertama, kebakaran bisa terjadi disebabkan oleh kemarau yang berkepanjangan, petir yang menyambar pohon, gesekan-gesekan kayu atau rumput yang kering pada saat angin kencang pada iklim yangs edang ekstrim.
Yang kedua, kebakaran hutan memang dilakukan oleh masyarakat/ kelompok/ perusahaan untuk membuka hutan dan dijadikan sebagai lahan untuk menghasilakn uang tapi tanpa mengikuti tata hukum yang berlaku.
Kebakaran hutan yang disebabkan oleh manusia didasari oleh faktor: 1) pembukaan lahan secara illegal dengan cara membakar langsung areal hutan, 2) kelalaian seperti membuang punting rokok ke rumput kering secara sembarangan, 3) Pembakaran sampah di sekitaran arel hutan dan 4) Adanya tindakan sabotase karena adanya kecemburuan sosial.
Kebakaran hutan yang terus-menerus terjadi tidaklah jauh dari penegakan hukum yang sangat lemah. Lemahnya penegakan hukum di Indonesia sendiri menjadi penyebab defosertasi hutan dan pembalakan hutan secara liar semakin meluas dan membuat manusia tidak sadar akan apa yang dilakukan dan dapat memperburuk keadaan global.
Pelaku-pelaku utama pembakaran hutan selalu lolos dari hukum karena penegakan hukum yang sangat tidak efektif di Indonesia. Kebijakan konservasi juga tidak seimbang dengan pemberian izin pemanfaatan lahan dan pembangunan di kawasan Kaldera Danau Toba yang tergolong longgar, sehingga konservasi hanya sebatas symbol saja tanpa adanya perlindungan nyata.
Strategi konservasi di Kaldera Toba perlu ditata ulang, dengan fokus pada penguatan ekologi melalui sertorasi hutan memakai spesies flora endemik dari tempat tersebut. Penerapan konservasi ini harus melibatkan secara langsung masyarakat Batak sebagai polisi hutan dengan menerapkan teknologi yang terbarukan dan dengan menegakkan hukum yang lebih tegas tanpa adanya kompromi.
Strategi yang dapat dilakukan untuk meminimalisir terjadinya lagi kebakaran hutan di Kaldera Danau Toba adalah dengan memanfaatkan teknologi yang dapat membantu proses evakuasi.
Dikutip dari berita Jaya Pos, pemerintah dapat memanfaatkan teknologi seperti sensor IoT (untuk mendeteksi suhu, kelembapan dan asap secara real time), drone dan UAV otonom, pemantauan secara berkala media sosial dan data hotspot dan perlunya helikopter Pemantau dan Water Boming untuk respon pemadaman api dalam skala luas.
Di samping itu semua yang paling penting adalah kesadaran pribadi masyarakat penduduk agar tetap menjaga lingkungan dan ekosistem hutan. Oleh karena itu, isu kebakaran hutan di Kaldera Toba bukan hanya sekedar isu local dan nasional, tetapi isu ini merupakan gambaran komitmen kita sebagai warga Sumatera Utara dan Negara Indonesia terhadap perubahan iklim International.
Bayangkan jika geopark sebesar Danau Toba gagal dilindungi, bagaimana Dunia Internasional percaya pada komitmen dan keseriusan Negara Indonesia.
Kobaran api yang membakar tanah surga ini adalah peringatan keras bahwa tanpa adanya tindakan segera, kita akan kehilangan lebih dari sekedar hutan, melainkan kita juga akan kehilangan warisan dunia dan juga kehilangan simbol yang bernaman Danau Toba.
Akhir kata, konservasi di Kaldera Danau Toba harus menjadi batu fondasi utama dalam pembangunan wilayah ini, bukan hanya semata-mata sebagai bahan pelengkap saja.
Danau Toba bukan sekedar proyek wisata, melainkan simbol kehidupan yang harus dijaga agar tetap hidup dan abadi sebagai “The Caldera of Wonders” yang nyata. (Red)
*) Penulis: Luky Philipi Sembiring, mahasiswa Program Pascasarjana Prodi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara