Air Mengamuk, Padang Sidempuan Tenggelam Dalam Duka!

Oleh: Nita Ayu Assari *)

SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Banjir bandang yang melanda Kota Padang Sidempuan pada tahun 2025 bukan hanya bencana alam biasa, tetapi menjadi peringatan keras tentang rapuhnya tata kelola lingkungan di wilayah Sumatera Utara.

Derasnya air yang membawa lumpur, batu, dan batang pohon bukan sekadararus alam, melainkan cerminan dari rusaknya hutan, bukit gundul, dan lemahnya kesadaran manusia terhadap keseimbangan ekosistem.

Tragedi yang menewaskan sejumlah warga dan merendam ratusan rumah di Kecamatan Batunadua dan sekitarnya menjadi bukti nyata bahwa manusia tidak lagi hidup berdampingan dengan alam, melainkan menentangnya.

Setiap liter air yang mengalir dari hulu membawa pesan bahwa eksploitasi tanpa konservasi hanya akan berujung pada kehancuran.

Berdasarkan laporan BNPB (2025), curah hujan ekstrem lebih dari 200 mm per hari menyebabkan Sungai Batang Ayumi dan beberapa anak sungainya meluap. Namun, penyebab utama bukan hanya cuaca ekstrem, melainkan berkurangnya daya serap tanah akibat alih fungsi lahan dikawasan perbukitan.

Penebangan liar di sekitar hulu sungai mempercepat aliran permukaan, sehingga ketika hujan turun, air tidak lagi terserap tetapi langsung menghantam pemukiman penduduk.

Banjir bandang ini menyebabkan kerusakan parah di 41 kelurahan di 6 kecamatan di Padang Sidempuan. Data BNPB mencatat dua korban meninggal dunia, satu orang hilang, 202  jiwa mengungsi, dan lebih dari 4.000 orang terdampak langsung. Fasilitas umum seperti sekolah, rumah ibadah, jalan raya, dan jembatan mengalami kerusakan serius.

Pemerintah melalui BPBD, TNI, Polri, dan Basarnas melakukan evakuasi serta membangun dapur umum dan posko bantuan di sejumlah titik. Brimob Polda Sumut turut mendirikan posko darurat, sementara pemerintah provinsi mengerahkan bantuan logistik serta alat berat untuk membersihkan material banjir.

Warga setempat turut serta dalam proses pencarian korban dan gotong royong membersihkan sisa lumpur di permukiman. Namun, trauma psikologis masih dirasakan warga, terutama mereka yang kehilangan rumah atau anggota keluarga.

Aktivitas ekonomi dan pendidikan sempat lumpuh akibat genangan dan rusaknya fasilitas. Faktor penyebab utama selain hujan ekstrem adalah lemahnya pengawasan terhadap tata ruang kota dan eksploitasi wilayah hulu tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan.

Alih fungsi lahan menjadi perkebunan, pemukiman, dan pembukaan lahan tanpa drainase menyebabkan kapasitas DAS Batang Ayumi. Kondisi yang tidak pernah terbayangkan oleh masyarakat sebelumnya berubah menjadi kenyataan menakutkan yang harus mereka hadapi dalam kegelapan malam.

Di balik derasnya debit air yang menghantam pemukiman, penggundulan kawasan hulu, sedimentasi sungai yang meningkat, sistem drainase kota yang tersumbat, serta alih fungsi lahan yang dilakukan tanpa perhitungan mendalam.

Faktor-faktor tersebut bekerja seperti domino yang saling berhubungan. Ketika hujan
ekstrem hadir, seluruh kelemahan ini kemudian termanifestasi menjadi bencana besar.

Upaya mitigasi jangka panjang sangat dibutuhkan. Pemerintah daerah bersama
masyarakat harus melakukan reboisasi di daerah hulu, memperbaiki sistem drainase perkotaan, serta membangun sistem peringatan dini.

Teknologi seperti sensor curah hujan otomatis, pemetaan rawan banjir, dan sistem komunikasi siaga warga dapat membantu meminimalkan korban di masa mendatang. Kesadaran masyarakat menjadi faktor kunci dalam pengendalian bencana.

Tanpa perubahan perilaku dan kepedulian lingkungan, bencana serupa akan terus terulang. Pendidikan lingkungan sejak dini serta pelibatan komunitas lokal harus dijadikan dasar gerakan konservasi di Padang Sidempuan.

Banjir bandang di Padang Sidempuan tahun 2025 adalah cermin dari krisis ekologi yang lebih luas. Ia memperlihatkan bahwa pembangunan tanpa keseimbangan ekologis hanya akan menimbulkan penderitaan.

Dengan kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat, Padang Sidempuan dapat bangkit sebagai kota tangguh bencana yang lebih siap menghadapi perubahan iklim. Akhir kata, konservasi dan mitigasi harus menjadi prioritas utama pembangunan wilayah.

Air yang turun dari langit seharusnya menjadi sumber kehidupan, bukan ancaman kehancuran. Tragedi ini semoga menjadi pelajaran berharga untuk menjaga keseimbangan alam agar kehidupan tetap lestari.

Kejadian banjir bandang di Padang Sidempuan bukanlah sekadar insiden alam yang “tidak bisa dihindari”. Memang, alam punya kekuatan besar tetapi tingkat kerentanan manusia terhadap kekuatan itu bisa dikurangi.

Wilayah yang rawan seperti Padang Sidempuan harus dijadikan “laboratorium” bagi mitigasi bencana bagi kota-kota lain di Indonesia yang memiliki karakter serupa.

Dengan kombinasi penataan ruang yang baik, edukasi masyarakat, infrastruktur memadai, dan sistem peringatan aktif, maka dampak yang dirasakan masyarakat bisa jauh lebih ringan. (Red)

*) Penulis: Nita Ayu Assari, mahasiswa Program Pascasarjana Prodi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara

 

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like