promo

Pagar Laut: Ketika Kekayaan Bangsa Diprivatisasi untuk Segelintir Orang

Pasukan Komando Pasukan Katak (Kopaska) TNI-AL membongkar pagar laut di kawasan Pantai Tanjung Pasir, Kabupaten Tangerang, Banten, 22 Januari 2025. TNI AL bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta nelayan kembali membongkar pagar laut sepanjang 30 KM lebih dan ditargetkan akan rampung dalam 10 hari kedepan. Foto; ANTARA/Muhammad Iqbal

Oleh: Andri Rahman, M.Pd*)

SUARAMUDA, JAKARTA — Kasus “pagar laut” telah mengguncang publik dan memunculkan pertanyaan mendasar tentang bagaimana sumber daya alam yang seharusnya menjadi milik bersama justru dikuasai oleh segelintir orang.

Laut, yang semestinya menjadi aset bangsa dan menopang kesejahteraan rakyat, kini berubah menjadi milik pribadi yang diklaim secara semena-mena oleh korporasi besar. Yang lebih ironis, praktik ini melibatkan aparat penyelenggara negara, mulai dari tingkat desa hingga pejabat kementerian.

Promo

Ini bukan sekadar persoalan ekonomi, melainkan pengkhianatan terhadap nilai-nilai Pancasila, khususnya sila kelima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Ketidakadilan Struktural yang Semakin Nyata

Indonesia adalah negara maritim dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, dan laut seharusnya menjadi sumber kesejahteraan bagi rakyat, terutama masyarakat pesisir dan para nelayan tradisional. Namun, alih-alih dimanfaatkan untuk kepentingan bersama, laut justru dikapling-kapling dan diberi batas seolah menjadi properti pribadi.

Praktik pemasangan pagar laut yang dilakukan oleh korporasi besar membatasi akses nelayan kecil untuk mencari ikan dan mengganggu ekosistem sosial-ekonomi mereka.

Ironisnya, banyak dari praktik ini dilegalkan oleh keputusan para pejabat negara yang seharusnya melindungi kepentingan rakyat.

Promo

Dari tingkat kepala desa yang memberikan izin dengan berbagai dalih, hingga pejabat kementerian yang membiarkan atau bahkan memfasilitasi eksploitasi laut oleh konglomerat, semua menunjukkan bagaimana sistem pemerintahan yang seharusnya bekerja untuk rakyat justru berpihak kepada pemilik modal.

Kondisi ini mencerminkan ketimpangan struktural yang semakin melebar. Nelayan kecil yang seharusnya mendapat manfaat dari laut kini justru kehilangan hak mereka.

Ketika akses mereka terhadap sumber daya laut dibatasi, mereka kehilangan penghasilan dan terpaksa menghadapi kemiskinan. Sementara itu, korporasi besar yang didukung oleh elite politik semakin memperkaya diri dengan menguasai laut tanpa batas.

Pelibatan Aparat dan Wajah Nyata Oligarki di Indonesia

Salah satu aspek yang membuat kasus pagar laut ini semakin memprihatinkan adalah keterlibatan aparat negara. Dari kepala desa hingga pejabat kementerian, banyak pihak yang seharusnya melindungi hak rakyat justru ikut bermain dalam skema penguasaan laut ini.

Promo

Fenomena ini bukan sekadar menunjukkan kelemahan regulasi, tetapi juga mengonfirmasi bagaimana oligarki bekerja di Indonesia. Kekuasaan politik dan ekonomi berada di tangan segelintir orang yang saling menopang untuk melanggengkan kepentingan mereka.

Aparat negara yang seharusnya berfungsi sebagai penjaga kesejahteraan rakyat malah menjadi alat bagi kelompok elite untuk mempertahankan dominasinya atas sumber daya alam.

Keberpihakan pemerintah terhadap korporasi ini mencerminkan deviasi serius terhadap nilai-nilai yang tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945.

Konstitusi kita dengan jelas menyebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun, dalam praktiknya, kita melihat bagaimana aset-aset strategis bangsa justru jatuh ke tangan segelintir orang, sementara rakyat kecil semakin tersisih.

Ancaman bagi Kedaulatan dan Masa Depan Nelayan

Jika praktik pagar laut ini terus dibiarkan, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh nelayan kecil, tetapi juga akan menjadi ancaman bagi kedaulatan bangsa secara keseluruhan. Ketika sumber daya alam dikuasai oleh korporasi besar, negara kehilangan kendali atas salah satu aset strategisnya.

Selain itu, dampak ekologis dari eksploitasi laut yang dilakukan oleh perusahaan besar juga perlu diperhitungkan. Eksploitasi sumber daya laut yang tidak berkelanjutan dapat merusak ekosistem, mengurangi populasi ikan, dan pada akhirnya menghancurkan mata pencaharian masyarakat pesisir dalam jangka panjang.

Jika hal ini terjadi, maka kerugian yang kita hadapi bukan hanya dari segi ekonomi, tetapi juga ekologi dan sosial.

Apa yang Harus Dilakukan?

Kasus pagar laut ini harus menjadi momentum bagi pemerintah dan masyarakat untuk bertindak tegas. Beberapa langkah yang perlu segera diambil antara lain:

1. Menegakkan Regulasi yang Melindungi Laut sebagai Aset Publik
Pemerintah harus memastikan bahwa laut tetap menjadi sumber daya publik yang tidak bisa dimiliki secara eksklusif oleh korporasi. Regulasi terkait pengelolaan laut harus diperketat, dan setiap bentuk privatisasi ilegal harus segera dihentikan.

2. Menindak Tegas Aparat yang Terlibat dalam Praktik Ilegal
Semua pihak yang terlibat dalam skandal pagar laut, termasuk pejabat pemerintah yang menyalahgunakan wewenangnya, harus ditindak secara hukum. Jika tidak, kasus serupa akan terus berulang karena tidak ada efek jera bagi pelaku.

3. Memberikan Perlindungan dan Akses yang Adil bagi Nelayan Kecil
Nelayan kecil harus diberikan jaminan akses terhadap laut agar mereka bisa mencari nafkah dengan layak. Ini bisa dilakukan melalui kebijakan afirmatif yang memastikan bahwa mereka tidak terpinggirkan oleh kepentingan korporasi.

4. Mendorong Partisipasi Masyarakat dalam Mengawal Kebijakan Kelautan
Masyarakat sipil, akademisi, dan aktivis lingkungan harus berperan aktif dalam mengawasi kebijakan kelautan. Tekanan publik sangat penting untuk memastikan bahwa pemerintah tidak tunduk pada kepentingan korporasi semata.

Kesimpulan: Kembalikan Laut kepada Rakyat!

Kasus pagar laut adalah cerminan dari ketimpangan dan ketidakadilan yang semakin nyata di Indonesia. Privatisasi laut oleh segelintir orang, dengan melibatkan aparat negara, bukan hanya melanggar prinsip keadilan sosial, tetapi juga merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanat konstitusi dan nilai-nilai Pancasila.

Jika kita ingin melihat Indonesia sebagai negara maritim yang berdaulat dan sejahtera, kita tidak bisa membiarkan praktik seperti ini terus terjadi. Laut harus kembali menjadi milik rakyat, bukan dikuasai oleh segelintir orang yang hanya mengejar keuntungan pribadi.

Saatnya pemerintah dibawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto berani berpihak kepada rakyat, menegakkan hukum dengan adil, dan memastikan bahwa laut tetap menjadi sumber kehidupan yang bisa diakses oleh semua, bukan hanya mereka yang memiliki kekuasaan dan modal.

*) Penulis: Andri Rahman, M.Pd., alumni Prodi Magister Pendidikan IPS FISIP UNNES

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like
Promo