promo

Dampak Media Sosial terhadap Politik Modern

Ridho Maulana Amianto, mahasiswa jurusan Sistem Informasi, Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Pamulang

Oleh: Ridho Maulana Amianto*)

SUARAMUDA, SEMARANG — Media sosial telah memperburuk polarisasi politik di banyak negara. Platform seperti Facebook, Twitter, dan TikTok sangat memungkinkan orang untuk bergabung dengan kelompok yang memiliki pandangan serupa, menciptakan “echo chamber” di mana pandangan yang bertentangan jarang didengar.

Hal ini menyebabkan peningkatan ketegangan sosial dan mempersulit dialog antara kelompok yang berbeda. Di Indonesia, perdebatan tentang topik seperti agama atau kebijakan pemerintah seringkali menciptakan friksi antara kelompok yang pro dan kontra, yang kemudian diperparah oleh algoritma media sosial yang lebih cenderung menunjukkan konten yang sesuai dengan pandangan pengguna.

Promo

Tak dipungkiri, media sosial bisa juga menjadi saluran utama bagi penyebaran berita palsu atau hoaks, yang dapat memengaruhi opini publik dan memicu ketegangan politik.

Tanpa regulasi yang memadai, informasi yang salah dapat tersebar dengan cepat, merusak integritas proses politik dan memanipulasi persepsi masyarakat terhadap isu-isu penting.

Media sosial dewasa ini bahkan telah menjadi alat yang efektif bagi kampanye politik untuk memengaruhi pemilih melalui iklan yang sangat tertarget.

Promo

Dengan menggunakan data pribadi pengguna, kampanye politik dapat mengirimkan pesan yang bisa disesuaikan dengan preferensi individu; meski seringkali menyesatkan atau bahkan manipulatif. Tujuannya semata-mata untuk mempengaruhi perilaku pemilih.

Medsos sebagai Kekuatan Baru

Dampak lain “kehebatan” media sosial adalah mampu memobilisasi massa dalam setiap gerakan aktivisme politik. Dalam konteks ini, media sosial sekaan memberikan kekuatan baru bagi gerakan sosial dan aktivisme politik.

Diakui atau tidak, platform ini memungkinkan mobilisasi massa dengan cepat, memungkinkan kelompok-kelompok yang sebelumnya terpinggirkan untuk mengorganisir diri, menggalang dukungan, dan menyebarkan pesan mereka secara lebih luas.

Ambil saja contoh, adanya gerakan #MeToo dan #BlackLivesMatter. Lewat hastag itu, mesia sosial mampu menunjukkan bagaimana ia dapat digunakan untuk mengorganisir aksi protes dan mendorong perubahan sosial melalui kesadaran kolektif yang cepat berkembang.

Gerakan mendukung Palestina dengan hastag #savepalestina juga menjadi bukti “kekuatan” media sosial dewasa ini.

Kini, media sosial telah mempermudah munculnya politik populis, di mana para pemimpin politik menggunakan media sosial untuk langsung berkomunikasi dengan publik, sekaligus mengabaikan media tradisional. Hal ini memberikan ruang bagi pesan yang lebih provokatif dan sering kali sensasional, yang dapat mengarah pada radikalisasi dan polarisasi lebih lanjut.

POV: Kampanye Capres AS Donald Trump/ sumber: pinterest

Fenomena ini juga terlukis bagaimana pemimpin populis seperti Donald Trump di AS dan beberapa pemimpin di Eropa menggunakan media sosial untuk membangun basis pendukung yang kuat, dengan gaya komunikasi yang sering kali kontroversial dan langsung menyerang lawan politik.

Sedangkan di Indonesia, bagaimana Presiden Joko Widodo (Jokowi) membangun ‘brand image’ sebagai sosok yang ‘low profile’.

Pengaruh Algoritma terhadap Politik

Diakui atau tidak, algoritma yang digunakan oleh platform media sosial dapat memperkuat bias politik pengguna dengan menyajikan lebih banyak konten yang mereka sukai dan kurang menunjukkan pandangan yang berbeda.

Hal ini mengarah pada “filter bubble” yang memperburuk polarisasi dan menghambat pemahaman yang lebih luas tentang masalah politik. Pengguna yang sering berinteraksi dengan konten yang mendukung pandangan konservatif, misalnya, akan lebih sering menerima informasi konservatif.

Sementara mereka yang mendukung pandangan progresif akan dikelilingi oleh konten progresif. Jadi, media sosial mampu menciptakan dua dunia informasi yang terpisah.

Ilustrasi media sosial / sumber: pinterest

Media sosial, dengan sifatnya yang cepat dan sering kali tidak terverifikasi, cukup mampu berperan merusak kepercayaan publik terhadap institusi politik.

Ketika berita atau informasi yang salah cepat tersebar, masyarakat kemudian menjadi lebih skeptis terhadap media tradisional dan lembaga-lembaga negara yang dianggap tidak transparan atau tidak jujur.

Di sisi lain, media sosial membuka peluang bagi banyak orang untuk terlibat dalam percakapan politik, ada pula kesenjangan dalam akses dan pengaruh.

Mereka yang lebih berpendidikan atau lebih memiliki sumber daya cenderung memiliki pengaruh lebih besar dalam mendominasi percakapan di platform digital, sementara kelompok marginal sering terpinggirkan.

Dalam praktiknya, kampanye media sosial yang efektif sering kali memerlukan akses ke teknologi dan keterampilan komunikasi yang tidak dimiliki oleh semua orang, sehingga mengarah pada ketidaksetaraan dalam representasi politik.

Telah menjadi rahasia umum, dewasa ini, dampak media sosial terhadap politik modern menjadi lebih sangat kompleks, dengan efek yang bisa bersifat positif maupun negatif. Di satu sisi, media sosial memberi suara kepada publik luas dan mempercepat mobilisasi politik.

Sementara di sisi lain, ia memperburuk polarisasi, penyebaran informasi salah, dan manipulasi opini publik. Oleh karena itu, penting untuk mencari keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan perlindungan dari dampak negatif yang dapat merusak stabilitas politik dan sosial. (Red)

*) Penulis: Ridho Maulana Amianto, mahasiswa jurusan Sistem Informasi, Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Pamulang
**) Artikel ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan, Dosen pengampu: Dr. Herdi Wisman Jaya

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like