
Oleh: Imam Febriansyah Mulyadi *)
SUARAMUDA, SEMARANG — Budaya kerja ‘hustle’ (hustle culture) akhir-akhir ini menjadi pembahasan yang cukup ramai, terutama di kalangan anak muda.
Pasalnya, ‘hustle culture’ ini adalah pola hidup yang mendorong orang buat terus kerja keras tanpa banyak istirahat demi mencapai impian, entah itu karier sukses, gaji besar, atau hal lainnya.
Di media sosial, misalnya, budaya ini sering terlihat keren karena banyak orang memamerkan kerja keras mereka, seolah-olah semakin sibuk—berarti semakin sukses.
Tapi di balik semua itu, terdapat sisi gelap ‘hustle culture’ yang bisa berpengaruh buruk, terutama ke kesehatan mental, fisik, dan hubungan sosial.
Media sosial jelas punya peran besar dalam menyebarkan budaya ini. Bahkan banyak orang yang membagikan rutinitas super sibuk mereka, kayak bangun pagi-pagi banget, kerja lembur, atau ambil banyak pekerjaan sekaligus.
Motivasi seperti “work hard, play harder” atau “no pain, no gain” sering diulang-ulang sampai rasanya kita “dipaksa” ikut gaya hidup itu. Kalau enggak ikutan sibuk, kita jadi merasa tertinggal. Padahal, setiap orang punya batas kemampuan masing-masing.
Selain media sosial, lingkungan kerja juga sering jadi pemicu. Banyak perusahaan yang cuma peduli sama hasil kerja karyawan tanpa mikirin kesehatan mereka.
Apalagi sekarang, di era digital, orang bisa kerja kapan pun dan di mana pun. Sayangnya, fleksibilitas ini malah bikin jam kerja semakin panjang, karena orang merasa harus terus produktif.
Batas antara waktu kerja dan waktu pribadi jadi semakin kabur, dan banyak yang akhirnya enggak punya waktu buat diri sendiri.
Memang, budaya kerja hustle bisa membawa hasil positif, seperti prestasi atau penghasilan yang lebih besar. Tapi efek negatifnya enggak boleh diabaikan.
Dampak Negatif
Salah satu dampaknya adalah kesehatan mental. Banyak orang yang merasa stres atau bahkan burnout karena terus-menerus memaksakan diri buat bekerja.
Mereka merasa bersalah kalau istirahat, seolah-olah itu adalah tanda kemalasan. Tekanan seperti ini lama-lama bisa merusak kesehatan mental.
Selain mental, fisik juga ikut kena dampaknya. Kurangnya tidur, pola makan yang enggak teratur, dan kebiasaan kerja berlebihan bisa menyebabkan berbagai masalah kesehatan.
Mulai dari gampang sakit sampai risiko penyakit serius seperti hipertensi atau gangguan jantung. Ironisnya, banyak orang yang baru sadar setelah masalah kesehatan ini muncul.
Dampaknya enggak berhenti di situ. Budaya kerja hustle juga bikin hubungan sosial terabaikan. Seseorang yang sibuk terus sering enggak punya waktu buat keluarga atau teman-teman.
Ini bisa menciptakan jarak emosional dan bikin hubungan jadi renggang. Padahal, hubungan sosial yang sehat penting banget buat menjaga kebahagiaan dan keseimbangan hidup.
Satu hal yang harus diingat adalah bahwa budaya ‘hustle’ yang berlebihan bisa membuat seseorang kehilangan arti sebenarnya dari hidup yang seimbang.
Banyak orang terjebak dalam siklus bekerja tanpa henti, tanpa pernah memberi waktu untuk beristirahat dan menikmati hidup.
Hal ini seringkali membuat mereka merasa cemas dan tidak puas meskipun sudah meraih pencapaian besar dalam karier mereka. Tanpa adanya waktu untuk diri sendiri, menikmati hobi, atau hanya sekedar bersantai, hidup terasa kosong dan tidak bermakna.
Kunci: Work-Life Balance
Lalu, apa yang bisa dilakukan supaya kita enggak kebablasan terjebak di ‘hustle culture’? Salah satu kuncinya adalah menerapkan ‘work-life balance’.
Istirahat itu penting, dan bukan berarti kita malas. Kita bisa mulai dengan menentukan prioritas dan bikin batasan waktu kerja yang jelas. Misalnya, selesai kerja di jam tertentu dan benar-benar pakai waktu setelahnya buat istirahat atau melakukan hal-hal yang kita suka.
Perusahaan juga punya peran penting. Mereka bisa bikin kebijakan yang lebih ramah karyawan, seperti jam kerja yang wajar atau cuti yang cukup. Selain itu, budaya kerja yang menghargai kesehatan karyawan juga harus dibangun, jadi karyawan enggak merasa tertekan buat terus kerja tanpa henti.
Sebagai generasi muda, kita perlu ingat bahwa hidup bukan cuma soal kerja. Dan produktif itu juga penting, tapi kalau sampai merusak kesehatan atau hubungan sosial, rasanya enggak sebanding.
Istirahat, menikmati waktu dengan orang tersayang, dan menjaga kesehatan juga sama pentingnya. Dengan gaya hidup yang lebih seimbang, kita enggak cuma bisa tetap produktif, tapi juga lebih bahagia dan sehat dalam jangka panjang.
Yang perlu kita sadari adalah bahwa kita enggak perlu mengikuti setiap standar yang ada di media sosial atau lingkungan sekitar. Setiap orang punya cara dan kecepatan dalam meraih sukses.
Dan yang lebih penting lagi adalah menjaga kesehatan dan kebahagiaan pribadi kita. Kalau kita bisa menyeimbangkan kerja dengan waktu untuk diri sendiri dan orang yang kita sayangi, hidup pasti lebih bermakna dan sukses dalam arti yang lebih menyeluruh. (Red)
*) Penulis; Imam Febriansyah Mulyadi, mahasiswa Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa