
Liputan Khusus Haji 2025 oleh Faiz Rafdillah*)
SUARAMUDA, MAKKAH, ARAB SAUDI — Kami yang datang ke Tanah Suci bukanlah wisatawan. Kami bukan kargo manusia yang bisa diatur sesuka kehendak birokrasi yang semrawut.
Kami adalah jamaah, para tamu Allah yang membawa niat ibadah dan jerih payah.
Tapi yang kami hadapi di Musdalifah, Mina, dan Jamarat bukanlah kehormatan pelayanan, melainkan pengalaman yang pahit, menyedihkan, dan di beberapa titik bahkan merendahkan martabat manusia.
Kekacauan dimulai sejak kami meninggalkan Arafah. Penjemputan dari lokasi wukuf berjalan sangat telat.
Bahkan jamaah murur, yang seharusnya menjadi prioritas karena mereka adalah lansia dan berisiko tinggi, justru lebih lama terbengkalai dibanding jamaah reguler.
Saya melihat sendiri, banyak dari mereka duduk lelah hingga tidur di emperan Arafah, menunggu bus yang tak kunjung datang.
Tak ada petugas syarikah yang benar-benar sigap. Semua seolah berjalan otomatis, tanpa arah, tanpa kepedulian.
Karena kepadatan ekstrem dan kemacetan yang tidak terkendali, banyak jamaah termasuk kloter saya tidak sempat bermalam di Muzdalifah, tempat mabit yang menjadi bagian dari rukun haji.
Kami malah langsung di-bypass ke Mina, tanpa tahu apakah sah atau tidak secara syariat.
Pengabaian terhadap rukun bukan hanya soal logistik. Ini soal spiritualitas. Ibadah kami dirampas oleh kekacauan sistem yang dibiarkan terus terjadi.
Tiba di Mina, yang kami hadapi bukan ketenangan setelah perjalanan panjang. Tapi tenda yang belum siap, alokasi tempat yang kacau, dan jamaah yang saling berebut ruang.
Bahkan sempat terjadi insiden ketika istri Gubernur Banten dan ibunya tidak mendapat tenda, dan harus berpindah-pindah tanpa kejelasan.
Meski akhirnya mereka tanazul ke hotel, insiden ini adalah bukti nyata bahwa sistem tidak profesional, bahkan untuk sosok yang punya posisi strategis.
Sebelumnya, program tanazul (izin langsung ke hotel setelah mabit) sempat dibatalkan sepihak. Tapi kemudian, mendadak diberlakukan lagi tanpa sistem yang jelas.
Sistem yang Membingungkan
Semua keputusan berubah seketika. Semua terasa coba-coba. Dan kami jamaah Indonesia menjadi korban sistem yang terus membingungkan diri sendiri.
Puncaknya terjadi saat kami hendak melontar jumrah di Jamarat. Jalan utama menuju terowongan tiba-tiba ditutup dan dialokasikan sepihak oleh polisi Saudi, tanpa penjelasan.
Kami dipaksa memutar jalur sangat jauh hanya untuk sampai ke lokasi. Bagi kami yang masih muda mungkin bisa.
Tapi bagaimana dengan jamaah lansia? Bagaimana dengan mereka yang jalan pun harus dibantu?
Saya melihat sendiri banyak jamaah pingsan, terduduk lemas, atau berhenti di pinggir jalan, hanya untuk diusir secara kasar oleh petugas berseragam.
Bahkan tenaga kesehatan yang mendorong kursi roda pun dipaksa terus jalan, seolah tidak boleh ada yang berhenti sebentar pun.
Petugas tidak peduli. Dan dalam ironi yang menyakitkan, kami melihat petugas yang sama duduk, makan, dan ngobrol santai di sisi jalan, tanpa ada yang mengusik.
Ketika saya mencoba menegur dan melaporkan petugas yang duduk santai sambil jamaah disuruh terus jalan, saya malah diancam untuk dilaporkan balik.
Ini bukan pengamanan. Ini pengabaian. Bahkan lebih dari itu: penghinaan terhadap jamaah dan pelanggaran terhadap kemanusiaan.
Birokrasi yang Tak Siap?
Sistem haji Saudi tampaknya semakin menunjukkan wajah birokrasi yang tidak siap, tidak konsisten, dan semakin jauh dari ruh pelayanan ibadah.
Tidak ada transparansi. Tidak ada penghormatan. Kami, jamaah Indonesia, seolah bukan tamu Allah, melainkan objek ketertiban yang harus tunduk bahkan jika tubuh kami sudah tak kuat.
Kami datang ke sini dengan membawa nama bangsa. Kami adalah jamaah dari negara dengan jumlah peserta haji terbesar.
Tapi tetap, kami diperlakukan seperti nomor antrean yang bisa dibentuk, diubah, dan diacuhkan seenaknya.
Pemerintah Indonesia tidak boleh terus-menerus lunak. Ini bukan pertama kalinya kami diperlakukan seperti ini.
Dari Arafah, Muzdalifah, Mina, hingga Jamarat, semua menunjukkan pola yang sama: ketidaksiapan, arogansi, dan minimnya penghormatan terhadap jamaah Indonesia.
Sudah saatnya pemerintah kita berani bicara lebih keras. Evaluasi total kerja sama dengan syarikah dan otoritas Saudi adalah keharusan.
Bahkan jika perlu, moratorium pengiriman jamaah harus dipertimbangkan hingga ada jaminan sistemik yang layak dan manusiawi.
Kami bukan komoditas. Kami bukan angka di data kuota. Kami adalah manusia yang datang untuk beribadah.
Dan ibadah kami tak layak dikacaukan oleh sistem yang tak menghormati martabat, apalagi yang dikelola secara semena-mena. (Red)