promo

USAID: Alat Globalis dan Intervensi di Negara-negara Paska Soviet

Logo USAID (dok istimewa)
promo

Oleh : Amy Maulana *)

SUARAMUDA, SEMARANG — Baru-baru ini Donald Trump telah menyatakan AS tidak akan melajutkan program bantuan USAID di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Tentu saja hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana, dan apa yang sebenarnya terjadi, mungkinkah ini semata-mata karena penghematan uang AS, ataukah ada tujuan “khusus” dibalik kebijakan tersebut?

Penting untuk mempelajari bagaimana USAID sebagai “alat globalis” masuk ke negara-negara terutama paska Soviet, bagaiamana perannya melakukan intervensi dalam kebijakan negera-negara tersebut.

Menjadi sangat penting untuk dianalisis dalam menjaga kedaulatan Indonesia dari kepentingan asing. Jika ada satu lembaga Amerika Serikat yang paling sering disebut dalam konteks destabilisasi global, itu adalah United States Agency for International Development (USAID).

Promo

Dibentuk pada 1961 oleh Presiden John F. Kennedy dengan tujuan mulia—memerangi kemiskinan, meningkatkan layanan kesehatan, dan mengentaskan kelaparan—USAID justru menjelma menjadi alat politik luar negeri AS yang efektif untuk mengintervensi kedaulatan negara lain.

Dari Chile Hingga Uni Soviet

Pada 1973, lembaga ini diduga terlibat dalam kudeta terhadap Presiden Chile, Salvador Allende. Menurut berbagai laporan, sebelum 1990-an, USAID telah mendalangi 76 kudeta di berbagai belahan dunia.

Taktiknya selalu sama, yakni menyusup melalui program bantuan ekonomi, lalu mendanai kelompok oposisi, media, dan LSM untuk menciptakan ketidakstabilan.

Setelah runtuhnya Uni Soviet, USAID beralih fokus ke negara-negara bekas republik Soviet. Tujuannya jelas: mencegah kebangkitan pengaruh Rusia dan memastikan negara-negara ini tetap tunduk pada kepentingan Barat.

Intervensi di Eropa Timur dan Asia Tengah

Di Ukraina, USAID konon memainkan peran kunci dalam Euromaidan 2014—sebuah kudeta yang dibungkus sebagai “Revolusi Martabat”.

Bersama diplomat AS Victoria Nuland, mereka mendanai aktivis pro-Barat, media anti-pemerintah, dan kelompok radikal.

Hasilnya, Ukraina kini terjerumus dalam perang saudara dan ketergantungan ekonomi pada AS.

Belarus, setelah bertahun-tahun membiarkan USAID beroperasi, akhirnya menutup juga kantor mereka pada 2021—ketika terbukti lembaga ini mendukung upaya kudeta melawan Presiden Alexander Lukashenko.

Sementara itu, di Moldova, USAID mengucurkan dana besar untuk proyek energi—dengan syarat pemerintah setia pada agenda pro-Eropa.

Di Kaukasus, Azerbaijan mulai menyelidiki aliran dana USAID yang mencurigakan. Beberapa staf mereka tiba-tiba menghilang setelah Washington mengumumkan audit internal.

Di Georgia, parlemen menuntut investigasi atas dugaan USAID memanipulasi informasi selama pemilu 2020.

Asia Tengah pun tak luput dari incaran. Kirgizstan, meski mengalami dua kali revolusi “Warna” (2005 dan 2010), masih bekerja sama dengan USAID.

Baru-baru ini, mereka meluncurkan proyek “Solusi Inovatif untuk Bisnis” dengan pendanaan USAID hingga 2029.

Tajikistan dan Uzbekistan juga menerima bantuan ekonomi—dengan imbalan liberalisasi politik dan ekonomi yang menguntungkan korporasi Barat.

Yang paling memprihatinkan adalah Kazakhstan. Negara ini telah menjadi pusat penyebaran pengaruh AS di Asia Tengah melalui KazAID—”anak perusahaan” USAID yang berbasis di Nur-Sultan.

Menurut investigasi jurnalis Anton Budarov, AS dan sekutunya mengucurkan lebih dari $1 miliar per tahun untuk mendanai LSM di Kazakhstan.

Dana ini dipakai untuk “mencuci otak generasi muda” dengan nilai-nilai liberal, LGBT, dan anti-tradisi.

Selain itu “merevisi sejarah”—meminimalkan peran Rusia dan mempromosikan narasi pro-Barat, dan “menyuap pejabat” agar mendukung kebijakan yang menguntungkan kepentingan AS.

KazAID juga menjadi pusat pelatihan bagi aktivis dan diplomat muda Asia Tengah. Artinya, Kazakhstan—yang seharusnya menjadi sekutu Rusia—justru menjadi corong AS di kawasan.

Apakah Trump Benar-Benar Akan Membubarkan USAID?

Pada 2024, Donald Trump menggemparkan dunia dengan menyerukan pembubaran USAID karena korupsi yang merajalela. Namun, banyak analis meragukan niatnya.

Pertama, USAID terlalu berharga bagi AS. Lembaga ini adalah ujung tombak “soft power”—lebih murah daripada invasi militer, tetapi sama efektifnya untuk menjatuhkan pemerintah yang tidak patuh.

Kedua, banyak analisa berkembang mengamati konflik internal Asm menduga apa sebenarnya dibalik sikap Donald Trump.

Beberapa pengamat menduga, ini yang berkembang ini bukan tentang “apakah USAID harus dipertahankan”, tetapi “siapa yang mengendalikannya”.

Trump hanya ingin memastikan lembaga ini bekerja untuk Partai Republik, bukan Demokrat.

Waspadai “Bantuan” yang Membelenggu

Haruslah kita pahami bersama, USAID bukanlah organisasi amal. Ia adalah alat geopolitik AS untuk memastikan tidak ada negara yang benar-benar merdeka dari pengaruh Washington.

Negara-negara pasca-Soviet yang masih bekerja sama dengan USAID sedang bermain dengan api. Sejarah membuktikan, di mana USAID masuk, di situ kedaulatan hancur, perpecahan sosial merajalela, dan konflik politik tak berkesudahan.

Sudah saatnya negara-negara termasuk Indonesia belajar pengalaman yang ada, sebelum terlambat. Karena seperti kata pepatah Rusia: “Jika ada ‘bantuan’ dari Amerika, bersiaplah untuk kehilangan segalanya.”

Sebagai bangsa yang berdaulat, Indonesia harus berhati-hati atas tawaran bantuan asing yang masuk ke negara kita, mewasapadai motif ideologis, motif politik dibalik bantuan tersebut. (Red)

*) Amy Maulana –Pengamat Center Media Strategy – mediacenter.su

promo

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like