
Oleh: Abdurrahman Ahady *)
SUARAMUDA, SEMARANG — Transformasi teknologi telah melahirkan era media baru yang mengubah pola interaksi sosial, termasuk dalam praktik keagamaan.
Islam moderat, yang menekankan keseimbangan antara tradisi dan perubahan, kini dihadapkan pada tantangan dalam menjaga nilai-nilai wasatiah di tengah lanskap digital (Nurhayati dkk, 2023).
Platform media sosial, situs web keislaman, dan aplikasi dakwah telah menjadi rujukan bagi banyak Muslim dalam mencari ilmu dan pedoman keagamaan.
Namun, perkembangan ini juga membawa konsekuensi serius: hilangnya otoritas keagamaan yang sah, maraknya “tafsir agama” yang dangkal, serta semakin kaburnya batas antara dalil yang sahih dan opini personal.
Dua fenomena utama yang mencuat ke permukaan dalam konteks ini adalah adab virtual dan fatwa digital.
Adab virtual mencerminkan bagaimana nilai-nilai Islam diimplementasikan dalam interaksi di ruang maya, sementara fatwa digital menggambarkan bagaimana otoritas keagamaan mengalami sedikit pergeseran.
Keduanya saling terkait dan memengaruhi bagaimana Islam dipahami serta diamalkan di ranah digital.
Untuk itu, Islam moderat harus mampu menjawab tantangan ini dengan menghadirkan pendekatan yang berbasis ilmu, toleran, serta relevan dengan realitas yang berkembang.
Adab Virtual: Ujian Akhlak di Ranah Maya
Adab dalam Islam adalah pilar utama dalam pembentukan karakter. Namun, di era media baru, nilai-nilai adab ini sering kali tercerabut dari akarnya.
Media sosial telah menciptakan ruang yang memungkinkan siapa saja berpartisipasi dalam diskusi keagamaan tanpa batasan geografis dan otoritas keilmuan.
Sayangnya, kebebasan ini sering kali disalahgunakan untuk menyebarkan ujaran kebencian, hoaks berbasis agama, serta perdebatan yang jauh dari nilai-nilai kesantunan Islam (Nazaruddin dkk, 2021).
Melansir dari MAFINDO (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia), hoax tentang isu agama (dalam hal ini SARA) yang beredar di Indonesia bercokol pada posisi kedua setelah isu politik.
Fakta ini menunjukkan bahwa agama telah menjadi komoditas dalam arus informasi digital, di mana narasi keagamaan yang provokatif lebih mudah viral dibandingkan dengan dakwah yang berbasis keilmuan.
Fenomena ini tidak hanya merusak moralitas individu, tetapi juga mereduksi pemahaman agama menjadi sekadar alat politik atau identitas kelompok.
Misalnya, dalam diskusi tentang perbedaan mazhab atau pandangan fikih tertentu, sering kali argumen yang digunakan bukan didasarkan pada dalil yang sahih, tetapi lebih kepada fanatisme kelompok.
Ujaran kasar, fitnah terhadap ulama yang memiliki pandangan berbeda, serta penyebaran informasi yang belum terverifikasi semakin menjauhkan umat dari semangat Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Krisis Otoritas dalam Fatwa Digital
Perkembangan teknologi masa kini juga mendorong munculnya fatwa digital.
Jika sebelumnya fatwa hanya dikeluarkan oleh lembaga resmi: MUI, atau organisasi keagamaan, seperti NU dan Muhammadiyah, serta ulama dengan kredibilitas akademik, namun kini siapa saja dapat mengeluarkan fatwa dan menyebarkannya ke jutaan orang dalam hitungan detik.
Di satu sisi, digitalisasi fatwa mempermudah akses umat terhadap hukum Islam: mereka yang sebelumnya kesulitan mendapatkan jawaban atas problem fikih kini bisa menemukannya dengan sekali “klik”.
Namun, di sisi lain, kemudahan ini juga membuka pintu bagi munculnya fatwa yang tidak memiliki dasar keilmuan yang kuat.
Fatwa digital sering kali disampaikan oleh individu yang lebih mengedepankan popularitas daripada substansi keilmuan.
Dalam Islam, fatwa bukan sekadar opini pribadi, tetapi merupakan hasil dari metodologi istinbat hukum yang ketat (Adam, 2018).
Namun, dalam era media baru, proses ini sering kali diabaikan. Tidak sedikit fatwa digital yang hanya berdasarkan emosi dan kepentingan politis tertentu.
Islam Moderat di Media Baru: Tantangan dan Solusi
Era media baru telah mengubah cara Islam dipraktikkan dan dipahami (Rustandi, 2019).
Adab virtual dan fatwa digital menjadi dua aspek utama yang menentukan bagaimana Islam moderat memiliki tugas tambahan dalam arus digitalisasi.
Krisis etika dalam interaksi daring serta fenomena otoritas keagamaan yang terfragmentasi menjadi tantangan serius yang harus dijawab dengan pendekatan yang lebih strategis.
Salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana membangun literasi digital berbasis nilai Islam.
Umat harus dididik untuk lebih kritis dalam menyaring informasi serta memahami bahwa tidak semua yang viral di media sosial memiliki dasar keilmuan yang benar.
Program edukasi literasi digital berbasis Islam perlu diperkuat agar umat mampu memilah dan memilih informasi yang benar agar tidak terjebak dalam narasi keagamaan yang menyesatkan.
Regulasi yang lebih jelas juga diperlukan untuk menata fatwa digital. Meskipun internet memungkinkan siapa saja berbagi pendapat, dalam konteks keagamaan, harus ada standar konkret mengenai siapa yang berhak mengeluarkan fatwa.
Lembaga Keislaman harus lebih proaktif dalam menghadirkan fatwa berbasis metodologi ijtihad yang benar agar umat tidak terombang-ambing oleh pendapat yang tidak valid.
Selain itu, ulama dan akademisi Islam harus lebih aktif dalam mengisi ruang media baru dengan konten berkualitas.
Mereka tidak boleh kalah dengan narasi yang cenderung destruktif.
Dengan menghadirkan diskusi yang ilmiah, inklusif, dan berbasis nilai-nilai Islam yang moderat, media baru dapat menjadi sarana yang efektif dalam membangun pemahaman Islam yang lebih luas dan komprehensif. (Red)
*) Abdurrahman Ahady adalah Pimpinan Suger Kaligrafi, Mahasiswa S2 UIN Imam Bonjol Padang