
Oleh: Mutia Syafri *)
SUARAMUDA, SEMARANG – Dengan maraknya kasus korupsi yang terjadi belakangan ini sangat menggrogoti Indonesia. Korupsi masih menjadi penyakit kronis yang menghambat kemajuan bangsa.
Berbagai kasus yang terungkap dalam beberapa waktu terakhir, mulai dari korupsi di lembaga pemerintahan, penyelewengan dana bantuan sosial, hingga Pengoplosan BBM pertamax ini menunjukkan bahwa praktik koruptif telah merajalela di berbagai lapisan masyarakat.
Hal ini tidak hanya merugikan negara secara ekonomi tetapi juga melemahkan kepercayaan publik terhadap sistem pemerintahan dan hukum. Semua itu menunjukkan bahwa moralitas dan integritas bangsa sedang mengalami krisis.
Hal ini juga membuktikan bahwa banyak individu yang tidak lagi menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, terutama sila kedua (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab) dan sila kelima (Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia).
Dalam situasi ini, Pendidikan Pancasila memegang peranan penting dalam upaya membangun kembali moralitas dan integritas bangsa. Sebagai dasar negara, Pancasila tidak hanya berfungsi sebagai ideologi, tetapi juga sebagai panduan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun kenyataan yang ada menunjukkan bahwa banyak pejabat dan tokoh publik justru mengabaikan nilai-nilai Pancasila, terutama yang terkandung dalam sila kedua (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab) dan sila kelima (Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia).
Korupsi Terjadi Akibat Lunturnya Nilai-Nilai Pancasila
Korupsi di Indonesia tidak hanya sekedar kejahatan hukum, tetapi juga menjadi bukti nyata dari semakin memudarnya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Pancasila, yang seharusnya menjadi pedoman moral dan etika dalam setiap aspek kehidupan, kini semakin terpinggirkan oleh mentalitas individualisme, keserakahan, dan penyalahgunaan kekuasaan.
Hal ini terlihat dari banyaknya kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi, pengusaha, hingga tokoh masyarakat yang seharusnya menjadi panutan dalam menegakkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat.
Salah satu nilai utama Pancasila yang semakin terabaikan adalah sila kedua, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”.
Dalam praktiknya, korupsi menunjukkan ketidakadilan yang luar biasa, di mana segelintir orang menikmati keuntungan besar dengan cara yang tidak sah, sementara masyarakat luas harus menanggung akibatnya.
Korupsi dalam sektor energi seperti kasus manipulasi kualitas BBM Pertamax, membuat dampak luas yang menyebabkan kebocoran anggaran yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur atau subsidi energi bagi rakyat dan juga merugikan masyarakat kecil.
Selain itu, lunturnya sila ketiga, “Persatuan Indonesia” juga menjadi faktor utama yang memperparah masalah korupsi. Seharusnya, persatuan dan kepentingan bersama menjadi prioritas dalam setiap kebijakan dan tindakan, tetapi dalam praktiknya, banyak pejabat dan pengusaha yang justru mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Contohnya adalah kasus penimbunan minyak goreng merek Minyak Kita, yang seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat dengan harga terjangkau, tetapi malah diselewengkan oleh oknum demi meraup keuntungan lebih besar.
Tindakan semacam ini menunjukkan bahwa semangat kebersamaan dan gotong royong yang dulu menjadi ciri khas bangsa Indonesia telah terkikis oleh keserakahan.
Tidak hanya itu sila kelima, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” juga semakin tergerus oleh praktik korupsi yang merajalela. Kekayaan negara yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat justru banyak disalahgunakan oleh para koruptor.
Kasus di PT Antam, misalnya, menggambarkan bagaimana sumber daya alam Indonesia, khususnya emas, yang seharusnya menjadi aset negara malah dimanipulasi untuk keuntungan pribadi. Akibatnya, hak rakyat atas sumber daya yang mereka miliki menjadi terabaikan, dan kesenjangan sosial semakin melebar.
Korupsi juga menunjukkan lemahnya implementasi sila pertama, “Ketuhanan yang Maha Esa.” Banyak pejabat yang dalam pidatonya sering menyebut nilai-nilai agama dan moral, tetapi pada kenyataannya justru melakukan tindakan yang bertentangan dengan prinsip kejujuran dan keadilan.
Padahal, setiap agama mengajarkan bahwa mengambil hak orang lain dengan cara yang tidak benar adalah dosa besar. Namun, karena hilangnya rasa takut akan konsekuensi moral dan hukum, korupsi tetap dilakukan secara sistematis dan berulang.
Lunturnya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan bahwa masalah korupsi di Indonesia bukan hanya sekadar persoalan individu, tetapi juga masalah struktural yang perlu diperbaiki secara menyeluruh. Jika nilai-nilai Pancasila kembali diinternalisasi dan diterapkan dalam setiap aspek kehidupan, maka budaya korupsi dapat dikikis sedikit demi sedikit.
Oleh karena itu, penguatan Pendidikan Pancasila menjadi solusi utama dalam membangun generasi yang berintegritas, berjiwa nasionalis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan demi menciptakan Indonesia yang lebih adil dan sejahtera.
Pendidikan Pancasila sebagai Solusi Pencegahan Korupsi
Di tengah maraknya kasus korupsi yang mencoreng wajah bangsa, Pendidikan Pancasila memiliki peran strategis sebagai solusi jangka panjang dalam mencegah praktik koruptif.
Pendidikan Pancasila tidak hanya berfungsi sebagai mata pelajaran formal di sekolah dan perguruan tinggi, tetapi juga sebagai sarana pembentukan karakter yang menjunjung tinggi kejujuran, tanggung jawab, dan kepedulaan sosial.
Jika diterapkan dengan baik, Pendidikan Pancasila dapat menanamkan kesadaran kepada generasi muda bahwa korupsi adalah tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan dan moralitas.
Salah satu langkah konkret dalam memperkuat Pendidikan Pancasila sebagai solusi antikorupsi adalah dengan mengintegrasikan nilai-nilai kejujuran dan etika ke dalam berbagai mata pelajaran, tidak hanya dalam pelajaran PPKn tetapi juga dalam praktik kehidupan sehari-hari.
Guru, dosen, hingga pemimpin di masyarakat harus menjadi teladan dalam menegakkan nilai-nilai Pancasila, terutama dalam menolak segala bentuk korupsi.
Selain itu, diskusi terbuka dan studi kasus mengenai dampak negatif korupsi dalam berbagai sektor, seperti korupsi di distribusi Pertamax, penimbunan minyak goreng Minyak Kita, hingga skandal manipulasi emas di sektor sumber daya alam, harus lebih banyak disosialisasikan kepada generasi muda agar mereka memahami dampak nyata dari praktik korupsi terhadap masyarakat luas.
Tak hanya di lingkungan pendidikan formal, penguatan Pendidikan Pancasila juga harus diterapkan di lingkungan keluarga dan masyarakat. Orang tua memiliki peran krusial dalam menanamkan nilai kejujuran dan tanggung jawab sejak dini.
Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang menjunjung tinggi nilai-nilai ini akan lebih cenderung menolak korupsi di kemudian hari. Selain itu, penguatan peran serta masyarakat dalam mengawasi praktik penyelenggaraan pemerintahan dapat membantu mengawasi kebijakan publik agar tidak merugikan rakyat kecil.
Oleh karena itu, Pendidikan Pancasila tidak boleh dipandang sebagai mata pelajaran semata, tetapi harus menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Pemerintah, pendidik, keluarga, dan masyarakat harus bekerja sama dalam memastikan bahwa nilai-nilai Pancasila tidak hanya diajarkan secara teori, tetapi juga dipraktikkan.
Dengan cara ini, Indonesia dapat membangun generasi yang berintegritas, jujur, dan bertanggung jawab, sehingga budaya korupsi yang telah lama mengakar dapat diberantas secara perlahan dan menciptakan tatanan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera. (Red)
*) Mutia Syafri, Mahasiswa Prodi Pendidikan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam-UNY
**) Artikel ini disusun untuk memenuhi tugas perkuliahan
***) Isi dan pesan dalam artikel bukan menjadi pandangan redaksi