
Oleh: Zello Bertholomeus*)
SUARAMUDA, SEMARANG – Pendidikan tinggi seharusnya menjadi ruang pembebasan, tempat di mana mahasiswa dapat mengeksplorasi pemikiran kritis, mengasah integritas, dan berkontribusi pada perubahan sosial.
Namun, realitas yang terjadi justru bertolak belakang. Organisasi kemahasiswaan (ormawa) yang seharusnya menjadi wadah pergerakan dan ekspresi idealisme mahasiswa, kini terbelenggu oleh sistem feodalistik yang mengakar di perguruan tinggi (PT).
Sistem ini tidak hanya membatasi ruang gerak mahasiswa, tetapi juga menggerus esensi pendidikan sebagai alat pembebasan dan pencerdasan.
Tunduk pada Kebijakan
Feodalisme, dalam konteks pendidikan, menciptakan hierarki yang kaku dan tidak sehat. Mahasiswa, yang seharusnya menjadi agen perubahan, justru dipaksa tunduk pada kebijakan-kebijakan PT yang seringkali bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan kebenaran.
Ormawa seperti BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) dan HMPS (Himpunan Mahasiswa Program Studi) yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan hak-hak mahasiswa dan masyarakat, kini hanya menjadi simbol formalitas tanpa daya.
Mereka tidak lebih dari “boneka pajangan” yang hanya menjalankan perintah tanpa boleh membantah.
Sistem feodalistik ini tidak hanya membatasi ruang gerak ormawa, tetapi juga mencetak mahasiswa yang apatis terhadap persoalan sosial.
Mahasiswa lebih memilih fokus pada urusan akademik semata, karena keterlibatan dalam ormawa dianggap tidak memberikan manfaat nyata.
Akibatnya, Tri Dharma Perguruan Tinggi—pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat—tidak lagi direalisasikan secara utuh. Idealisme mahasiswa dikalahkan oleh rasa takut akan konsekuensi seperti drop out (DO) atau pengkhianatan terhadap harapan orang tua.
Paulo Freire, filsuf asal Brasil, telah mengkritik sistem pendidikan yang menindas dan menjajah pemikiran mahasiswa. Menurut Freire, pendidikan seharusnya menjadi alat pembebasan, bukan alat penindasan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.
Mahasiswa semakin takut untuk bersikap kritis karena mereka sadar bahwa yang mereka lawan adalah penguasa yang memiliki kekuatan untuk mengeliminasi mereka dari sistem. Pengetahuan yang mereka dapatkan di bangku kuliah hanya menjadi bahan pajangan, tidak memiliki dampak nyata ketika dihadapkan dengan kekuasaan PT.
Rocky Gerung, filsuf Indonesia, pernah mengatakan, “Ijazah adalah tanda manusia pernah sekolah, bukan tanda manusia pernah berpikir.” Pernyataan ini sangat relevan dengan kondisi mahasiswa saat ini.
Mereka terjebak dalam “lingkaran setan” (vicious circle) di mana mereka harus memilih antara mengkritisi sistem yang tidak adil atau memenuhi harapan orang tua untuk menyelesaikan pendidikan. Keduanya adalah janji yang harus ditepati, namun seringkali bertentangan satu sama lain.
Banyak dosen yang mengajarkan mahasiswa untuk bersikap kritis, namun realisasinya selalu terabaikan. Mahasiswa tidak berani melawan karena mereka sadar bahwa kekuasaan berada di tangan PT.
Pengetahuan kritis yang mereka dapatkan hanya menjadi teori tanpa praktik, karena sistem tidak memberikan ruang untuk itu.
Buka Ruang Inklusif Mahasiswa
Melalui tulisan ini, saya ingin menyuarakan keresahan sebagai mahasiswa yang masih memiliki idealisme. Saya memohon kepada setiap PT untuk membuka ruang gerak yang inklusif bagi mahasiswa dan ormawa.
Hapuskan sistem feodalisme dalam dunia pendidikan. Biarkan pendidikan kembali pada esensinya sebagai alat untuk membebaskan, mencerdaskan, dan memanusiakan manusia. Jangan biarkan hegemoni eksistensi mahasiswa dianggap sebagai hal yang sepele.
Pendidikan seharusnya menjadi alat pembebasan, bukan alat penindasan. Mari kita bersama-sama menolak feodalisme dan membebaskan organisasi kemahasiswaan dari belenggu sistem yang menindas.
Hanya dengan begitu, kita dapat mengembalikan esensi pendidikan yang sesungguhnya. (Red)
*) Zello Bertholomeus, mahasiswa UNIKA St. Paulus Ruteng