
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Tanggal 10 Muharram dalam kalender Hijriyah, yang dikenal sebagai Hari Asyura, memiliki makna penting dalam sejarah dan tradisi umat Islam.
Hari ini dikenang sebagai momen bersejarah, terutama dalam dua dimensi besar: keagamaan dan budaya.
Secara historis, 10 Muharram diperingati sebagai hari syahidnya cucu Nabi Muhammad SAW, Imam Husain bin Ali, di Padang Karbala pada tahun 61 H.
Peristiwa ini menjadi titik balik dalam sejarah Islam, terutama bagi umat Syiah yang menjadikan Asyura sebagai hari duka dan refleksi atas nilai perjuangan, keadilan, serta pengorbanan.
Di sisi lain, bagi sebagian besar umat Sunni, 10 Muharram diisi dengan ibadah puasa sunnah, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Dalam hadis disebutkan bahwa puasa Asyura dapat menghapus dosa-dosa kecil selama satu tahun sebelumnya.
Namun, lebih dari sekadar hari keagamaan, Asyura juga melahirkan berbagai tradisi dan budaya lokal di banyak negara Muslim.
Di Indonesia, misalnya, sebagian masyarakat mengenal Asyura dengan nama “Hari Bubur Asyura.”
Pada hari ini, warga secara gotong royong memasak bubur khas yang dibagikan kepada tetangga dan anak-anak. Tradisi ini berkembang sebagai bentuk syukur dan solidaritas sosial.
Di Aceh, 10 Muharram dikenal sebagai “Khanduri Asyura,” di mana masyarakat membuat hidangan khusus dan melakukan doa bersama.
Sementara itu, di daerah seperti Bengkulu, tradisi “Tabot” diadakan, yaitu perayaan bernuansa religius-kultural untuk mengenang perjuangan Husain.
Tradisi-tradisi ini memperkaya khazanah budaya Islam Nusantara, yang memadukan nilai sejarah dan spiritual dengan kearifan lokal.
Meskipun ekspresi budaya berbeda-beda, makna utamanya tetap satu: mengenang perjuangan, memperkuat keimanan, dan menjalin solidaritas antarsesama.
Dengan demikian, budaya 10 Muharram bukan hanya bentuk peringatan sejarah, tetapi juga menjadi ruang spiritual dan sosial yang mempererat hubungan antarumat serta mewariskan nilai-nilai luhur kepada generasi mendatang. (Red)