suaramuda

Tumbuh Tapi Megap-Megap: ‘In This Economy’

Nurina P. Sari, Analis Media dan Penggerak Komunitas Ibu Peduli Generasi Kota Depok

Oleh: Nurina P. Sari*)

SUARAMUDA, SEMARANG – Ekonomi Indonesia digadang-gadang tetap tumbuh ditengah kondisi ekonomi global yang masih bergejolak. Itulah yang diungkapkan oleh Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia berhasil mencapai angka pertumbuhan 4,87% di kuartal I-2025.

Walaupun sedikit melambat dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar 5,11%, tetapi capaian tersebut dianggap positif di tengah kondisi global yang jatuh bangun bak roller coaster.

suaramuda

Ramadan dan Idulfitri lalu, juga disebut punya andil besar memberikan sumbangsih pertumbuhan ekonomi. Ya wajar, karena konsumsi rakyat meningkat di momen tersebut.

Masyarakat Indonesia (Sedang) Miskin

Ironisnya, Bank Dunia baru saja merilis persentase orang miskin di Indonesia kini mencapai 68,25% dari total populasi. Itu berarti sekitar 194,6 juta orang masuk kategori miskin versi baru.

Dalam laporan Macro Poverty Outlook edisi April 2025, Bank Dunia menetapkan bahwa penduduk Indonesia yang memiliki pengeluaran kurang dari USD6,85 atau sekitar Rp113.777 per hari (kurs Rp16.606) tergolong sebagai kelompok miskin.

Pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Badan Pusat Statistik (BPS RI) seakan menyanggah perhitungan tersebut.

Dengan menyatakan bahwa hal tersebut disebabkan semata-mata soal perbedaan metodologi yang dipakai dalam menghitung garis kemiskinan.

Tapi tetap saja, realitas di lapangan tidak bisa dipoles statistik: harga barang-barang melambung, gaji seret, PHK massal dimana-mana, dan biaya hidup juga makin menggila. Tumbuh tapi megap-megap: ‘In This Economy’.

Kebijakan Populis Justru Jadi Pilihan?

Sayangnya, kebijakan pemerintah cenderung fokus pada berbagai program populis seperti guyuran bansos, Makan Bergizi Gratis (MBG), Sekolah Rakyat, program tiga juta rumah, dan program-program lainnya.

Efektivitas program pemerintah tersebut patut dipertanyakan karena menghamburkan anggaran negara yang tidak sedikit.

Dari sudut pandang konteks ekonomi makro, pemerintah justru menerbitkan berbagai kebijakan yang lebih memihak korporasi dan oligarki.

Ini sejalan dengan hasil riset Center of Economic and Law Studies (Celios) pada 2024 yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak terdistribusi secara merata.

Sejak 2020 hingga 2023, kekayaan tiga orang terkaya di Indonesia meningkat lebih dari 174%, sedangkan upah seluruh pekerja di Indonesia pada periode yang sama hanya tumbuh 15%.

Hal ini diperkuat oleh laporan Global Inequality Report 2022 menyebutkan Indonesia sebagai negara keenam dengan ketimpangan kekayaan tertinggi di dunia.

Empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan lebih besar dari total kekayaan 100 juta penduduk termiskin.

Ironi Indonesia Miskin!

Ditambah dengan ironi kemiskinan di negeri zamrud khatulistiwa yang memiliki segudang sumber daya alam melimpah ruah.

Bayangkan saja, Indonesia negara nomor satu penghasil nikel dan sawit terbesar di dunia, penghasil timah nomor dua di dunia, di susul penghasil nomor tiga dan empat batu bara dan tambang emas terbesar di dunia.

Tapi anehnya, pemasukan negara dari sumber daya alam (SDA) cuma segitu-gitu saja yang mentok di angka 7%. Sisanya? Disubsidi rakyat lewat pajak yang nyaris menyentuh 83%.

Terjadinya kemiskinan di Indonesia—padahal negeri ini kaya SDA, menegaskan ada faktor absennya penguasa dalam mencukupi kebutuhan rakyat.

Apapun dalih yang disampaikan oleh pemerintah, sekecil apa pun angka kemiskinan semestinya tidak dibiarkan, apalagi sampai berlarut-larut.

Jelas, ini menunjukkan bahwa kemiskinan dan ketimpangan ekonomi di Indonesia bersifat struktural.

Penyebab utamanya adalah penerapan sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme memungkinkan akumulasi kekayaan di tangan segelintir elit, sementara mayoritas rakyat kesulitan memenuhi kebutuhan dasar. Adanya dominasi konglomerasi atas sektor strategis juga memperburuk kondisi ini.

Di sisi lain, negara yang seharusnya melayani rakyat, sering abai dalam menyediakan pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Hal ini menciptakan kesenjangan ekonomi yang sangat parah.

Sistem Islam sebagai Alternatif

Begitulah tabiat kapitalisme yang senantiasa membuahkan rekam jejak derita. Kemiskinan sejatinya bisa diatasi, bukan melalui sistem ekonomi kapitalisme, melainkan dengan sistem Islam.

Sebab Islam memandang bahwa kemiskinan adalah tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer (sandang, pangan, dan papan) secara menyeluruh individu per individu. Islam telah menjadikan upaya pemenuhan kebutuhan primer adalah wajib.

Maka sistem politik dan ekonomi wajib menjaga keberlangsungan dan keseimbangan distribusi ekonomi, bahkan menjamin agar semua individu rakyat bisa makan dengan porsi cukup tanpa ancaman kelaparan.

Negara juga menjamin tersedianya lapangan kerja bagi rakyat, khususnya bagi para laki-laki dewasa sehingga mereka bisa mencari nafkah untuk keluarganya.

Negara dalam Islam tidak akan membiarkan kapitalisasi sektor-sektor publik seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, dan transportasi.

Sebaliknya, negara justru mengelola semua sektor publik itu agar bisa berwujud pelayanan gratis bagi rakyat.

Dengan sistem dan kepemimpinan Islam, kebutuhan dasar rakyat berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan akan terpenuhi secara individu per individu.

Sistem Islam juga melarang kepemilikan dan pengelolaan aset-aset strategis, seperti minyak, gas, air, dan hutan diserahkan kepada individu atau korporasi.

Sehingga tidak terjadi akumulasi kekayaan di tangan segelintir orang, sementara masyarakat luas justru kehilangan akses terhadap hak-hak ekonominya. [Red]

*) Nurina P. Sari, Analis Media dan Penggerak Komunitas Ibu Peduli Generasi Kota Depok

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like
Promo