suaramuda

Perceraian: Ketika Janji Suci Berubah Menjadi Luka Mendalam

Rasyidah Hamsa, Mahasiswi Sosiologi, Universitas Islam Negeri Walisongo

SUARAMUDA, SEMARANG — Perceraian kini menjadi fenomena sosial yang semakin nyata dan tidak bisa diabaikan dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Janji suci yang diikrarkan di hadapan keluarga dan agama berubah menjadi luka mendalam, tidak hanya bagi pasangan yang berpisah, tetapi juga bagi anak-anak dan lingkungan sekitar.

Perceraian menurut bahasa adalah “melepaskan ikatan”. Yang dimaksud di sini ialah melepaskan ikatan pernikahan.

Sedangkan menurut syarak, perceraian berarti melepaskan ikatan suami istri yang sah oleh pihak suami dengan lafal tertentu atau yang sama kedudukannya, baik seketika itu juga maupun di masa mendatang.

suaramuda

Adapun perceraian yang penulis maksudkan adalah putusnya tali pernikahan yang dapat memisahkan kehidupan keduanya dalam berumah tangga karena suatu permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dan tidak terdapat keharmonisan di dalamnya.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada tahun 2024, data resmi mencatat terdapat 394.608 kasus perceraian dari total 1.478.302 peristiwa pernikahan di Indonesia.

Dari jumlah tersebut, sebanyak 85.652 kasus merupakan cerai talak (diajukan oleh suami) dan 308.956 kasus adalah cerai gugat (diajukan oleh istri), yang berarti hampir 78% perceraian didorong oleh inisiatif pihak istri.

Angka ini mengindikasikan pergeseran signifikan dalam peran dan kesadaran perempuan dalam pernikahan, serta meningkatnya kemandirian ekonomi dan sosial perempuan dalam mengambil keputusan besar dalam hidup mereka.

Provinsi dengan jumlah perceraian tertinggi pada 2024 adalah Jawa Barat, dengan 88.842 kasus dari 292.969 pernikahan, disusul oleh Jawa Timur dengan 77.658 kasus dari 271.406 pernikahan.

Tingginya angka ini tidak hanya dipengaruhi oleh jumlah penduduk yang besar, tetapi juga dapat mencerminkan tekanan sosial, ekonomi, dan dinamika perkotaan yang lebih tinggi, tempat ketidakstabilan rumah tangga lebih sering terjadi.

Bahkan di provinsi dengan tingkat urbanisasi tinggi seperti DKI Jakarta, tercatat 12.149 kasus perceraian, meskipun jumlah pernikahannya relatif lebih rendah dibandingkan provinsi-provinsi di Pulau Jawa lainnya.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: mengapa perceraian semakin marak, apa dampak yang ditimbulkannya, dan bagaimana cara masyarakat serta negara merespons persoalan ini?

Banyak faktor yang melatarbelakangi keputusan pasangan untuk bercerai. Konflik rumah tangga yang tidak kunjung selesai, komunikasi yang buruk, serta pertengkaran yang terus-menerus menjadi pemicu utama.

Selain itu, infidelitas atau perselingkuhan juga menjadi alasan yang kerap ditemukan dalam banyak kasus perceraian. Ketidakcocokan nilai, tujuan hidup, hingga perbedaan minat antara pasangan turut memperbesar jurang perbedaan yang sulit dijembatani.

Masalah ekonomi, seperti utang menumpuk, kehilangan pekerjaan, atau ketidakmampuan mengelola keuangan bersama, juga menjadi penyebab signifikan.

Stres finansial yang berkepanjangan dapat memicu konflik dan memperburuk hubungan, terutama di tengah tekanan ekonomi yang semakin berat.

Selain itu, campur tangan keluarga besar, masalah kesehatan fisik maupun mental, hingga ketidaksetaraan gender dan pembagian tugas rumah tangga yang timpang juga menjadi pemicu retaknya rumah tangga.

Tidak kalah penting, pernikahan di usia muda yang belum matang secara emosional dan mental juga meningkatkan risiko perceraian, karena pasangan belum siap menghadapi tantangan kehidupan rumah tangga.

Dampak perceraian sangat luas dan kompleks. Secara emosional, perceraian seringkali meninggalkan luka mendalam berupa depresi, kecemasan, rasa bersalah, malu, hingga kehilangan kepercayaan diri.

Perubahan besar dalam kehidupan sehari-hari, kehilangan pasangan, dan rasa gagal menjaga janji suci pernikahan menjadi beban psikologis yang berat.

Bagi anak-anak, perceraian orang tua dapat menjadi trauma yang membekas sepanjang hidup. Mereka kerap mengalami kesulitan beradaptasi, masalah perilaku, penurunan prestasi akademik, hingga kehilangan rasa aman dalam keluarga.

Tidak jarang, anak-anak korban perceraian tumbuh dengan luka batin yang memengaruhi hubungan sosial dan emosional mereka di masa depan.

Secara sosial, perceraian juga dapat menimbulkan berbagai masalah lain yang saling berkaitan dan meluas ke lingkungan sekitar.

Lingkungan sosial pasangan yang bercerai ikut berubah, hubungan dengan keluarga besar dan teman-teman menjadi renggang, bahkan tidak jarang menimbulkan stigma negatif di masyarakat.

Di beberapa daerah, perceraian masih dianggap tabu dan memalukan, sehingga pasangan yang bercerai kerap mendapat perlakuan diskriminatif.

Dari sisi ekonomi, perceraian seringkali menyebabkan ketidaksetaraan ekonomi, terutama bagi perempuan yang harus menanggung beban pengasuhan anak sendirian.

Pembagian harta bersama, biaya proses perceraian, hingga penurunan pendapatan pascaperceraian menjadi tantangan berat yang harus dihadapi.

Fenomena meningkatnya perceraian juga tidak lepas dari perubahan sosial dan kemajuan teknologi.

Akses yang lebih luas terhadap media sosial dan internet, misalnya, dapat memengaruhi cara pasangan berkomunikasi dan berinteraksi, terkadang justru memperbesar konflik dan membuka peluang perselingkuhan.

Selain itu, perubahan nilai-nilai sosial, pergeseran peran gender, dan ekspektasi masyarakat terhadap pernikahan turut memengaruhi stabilitas rumah tangga.

Dalam masyarakat yang semakin modern, pernikahan tidak lagi dipandang sebagai ikatan yang harus dipertahankan dengan segala cara, melainkan sebagai hubungan yang harus memberi kebahagiaan dan kesejahteraan bagi kedua belah pihak.

Jika tidak terpenuhi, perceraian dianggap sebagai solusi, meskipun konsekuensinya sangat berat.

Upaya untuk mengatasi persoalan perceraian memerlukan pendekatan yang menyeluruh dan kolaboratif. Penguatan pendidikan pranikah menjadi langkah penting agar calon pasangan memahami hakikat dan tantangan pernikahan.

Layanan konseling keluarga dan mediasi konflik perlu diperluas agar pasangan yang menghadapi masalah dapat mencari solusi sebelum memilih bercerai.

Dukungan sosial dan ekonomi, terutama bagi perempuan dan anak-anak korban perceraian, harus diperkuat agar mereka mampu bangkit dan menjalani hidup yang lebih baik.

Selain itu, masyarakat perlu mengubah cara pandang terhadap perceraian, dari sekadar memberi stigma menjadi memberikan dukungan dan ruang pemulihan bagi mereka yang terdampak.

Negara juga perlu memperkuat regulasi dan sistem perlindungan bagi keluarga, serta mendorong edukasi tentang pentingnya membangun keluarga yang sehat dan harmonis.

Perceraian memang bukan akhir dari segalanya, tetapi luka yang ditinggalkannya seringkali jauh lebih dalam dari yang terlihat.

Ketika janji suci berubah menjadi luka mendalam, bukan hanya pasangan yang merasakan perihnya, tetapi juga anak-anak, keluarga besar, dan masyarakat luas.

Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk memahami akar masalah, dampak, dan mencari solusi bersama agar perceraian tidak menjadi pilihan utama, melainkan jalan terakhir setelah segala upaya ditempuh.

Hanya dengan demikian, luka akibat perceraian dapat perlahan disembuhkan, dan janji suci pernikahan kembali dimaknai sebagai ikatan yang layak diperjuangkan bersama. (Red)

Penulis : Rasyidah Hamsa, Mahasiswi Sosiologi, Universitas Islam Negeri Walisongo

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like
Promo