
Oleh: Rizqi Amalia*)
SUARAMUDA, SEMARANG — Dalam beberapa tahun terakhir, telah muncul fenomena yang menarik di kalangan Gen Z yang sering dibahas di platform media sosial dan obrolan santai: “pusing dikit langsung self reward“.
Ungkapan ini tampaknya telah menjadi slogan bagi generasi muda saat ini. Mulai dari stres karena tugas kuliah, pekerjaan yang bertumpuk, semuanya bisa menjadi alasan untuk memberi diri sendiri hadiah dalam bentuk makanan, belanja online, menonton konser, atau bahkan healing dadakan.
Namun, apakah ini benar-benar bentuk perawatan diri, atau justru tanda adanya masalah dalam gaya hidup?
Pertama-tama, kita harus menyadari bahwa menjalani hidup di zaman sekarang memang menantang. Generasi Z tumbuh dalam situasi sosial dan ekonomi yang rumit.
Mereka menghadapi banyak tekanan dari berbagai sisi seperti ketatnya persaingan pendidikan, hingga ekspektasi tinggi dari media sosial.
Dalam situasi seperti ini, wajar jika banyak dari mereka merasa membutuhkan “hadiah kecil” untuk bertahan dan tetap waras.
Memberi diri sendiri hadiah pun menjadi cara untuk meredakan rasa lelah, stres, atau kekecewaan.
Namun, penting untuk memperhatikan seberapa sering dan dalam konteks apa tindakan memberi hadiah kepada diri sendiri dilakukan.
Jika setiap tekanan yang kecil langsung direspons dengan tindakan konsumtif, lama-kelamaan ini bisa bergeser menjadi self reward setiap ada masalah.
Seolah-olah, tanpa sempat menghadapi masalah, seseorang sudah memilih pelarian yang cepat.
Tanpa disadari, kebiasaan ini berpotensi membentuk siklus berbahaya: stres–belanja –kebahagiaan sesaat–penyesalan–stres lagi.
Fenomena ini juga dipengaruhi oleh budaya digital yang kian menguat. Media sosial dipenuhi konten yang mendorong gaya hidup hedonistik yang tersamarkan.
Influencer dengan mudahnya menampilkan “healing trip“, haul belanja, atau kopi seharga 50 ribu yang diklaim sebagai self love atau bentuk cinta diri.
Bahkan dalam salah satu konten TikTok yang viral, terdapat ungkapan seperti: “Jangan pelit-pelit sama diri sendiri. Self reward itu penting selagi ga ngerugiin orang lain. Lakukan hal-hal yang buat kamu seneng. Don’t forget to respect yourself.”
Kalimat tersebut menggambarkan sikap positif dan penuh kepedulian terhadap perawatan diri, tetapi penting untuk memperhatikan konteks dan penerapannya.
Tidak ada masalah dalam menghargai diri sendiri, namun jika narasi semacam ini dijadikan alasan untuk perilaku konsumtif yang berlebihan, maka pengertian dari penghargaan diri bisa jadi menyimpang.
Ungkapan “selagi tidak merugikan orang lain” memang terdengar bijak, namun bagaimana jika itu justru merugikan diri sendiri, baik dari segi keuangan maupun emosional?
Menghargai diri sendiri bukan hanya terkait dengan memenuhi keinginan sesaat, melainkan juga tentang melindungi diri dari keputusan impulsif yang dapat berakibat buruk dalam jangka panjang.
Di sinilah letak permasalahannya, ketika memberikan hadiah kepada diri sendiri dijadikan sebagai satu-satunya cara untuk mengatasi masalah, yang terjadi bukanlah pemulihan, melainkan penundaan dari masalah tersebut.
Alih-alih mencari solusi nyata untuk tekanan yang dihadapi, kita justru menghindar dengan melakukan hal-hal yang bersifat sementara. Lebih buruk lagi, ini bisa berdampak pada kondisi keuangan individu.
Sering kali, seseorang mengorbankan tabungan atau bahkan berutang demi memberi hadiah yang sebenarnya tidak begitu penting.
Tentu saja, tidak ada yang salah dengan memberi diri sendiri hadiah. Justru, merawat diri adalah hal yang penting dan diperlukan.
Namun, perawatan diri yang sejati bukan hanya tentang membeli barang atau pengalaman yang menyenangkan.
Ini juga mencakup hal-hal yang tidak terlihat di media sosial: tidur yang cukup, pola makan sehat, menjaga hubungan baik dengan orang-orang terdekat, serta belajar untuk mengelola emosi dan waktu dengan efisien.
Kadang, bentuk hadiah terbaik bagi diri sendiri adalah memberi waktu untuk beristirahat tanpa merasa bersalah atau menetapkan batasan pada pekerjaan yang berlebihan.
Generasi Z sebenarnya memiliki kepekaan sosial dan emosional yang sangat baik. Mereka menyadari akan pentingnya kesehatan mental dan tidak ragu untuk membahas mengenai stres.
Ini merupakan kemajuan yang signifikan dibandingkan generasi sebelumnya yang sering kali mengabaikan perasaan demi menunjukkan ketahanan.
Namun, kesadaran ini perlu diimbangi dengan kematangan dalam menangani stres, bukan sekadar melarikan diri ke dalam perilaku konsumtif.
Mungkin yang perlu dikembangkan adalah pemahaman bahwa self reward bukanlah cara untuk menghindar, melainkan perayaan kecil dari proses dan pencapaian yang telah diraih.
Memberikan hadiah kepada diri sendiri bukan karena ingin melarikan diri dari realitas, tetapi karena kita telah berjuang melaluinya.
Dengan cara ini, makna dari self reward tidak akan hilang menjadi alasan untuk belanja impulsif, melainkan benar-benar menjadi bentuk penghargaan yang sehat terhadap diri sendiri.
Dalam jangka waktu yang lebih panjang, Gen Z perlu membangun ketahanan emosional dan finansial. Dunia tidak akan menjadi lebih mudah, dan tekanan dalam hidup akan selalu ada.
Oleh karena itu, strategi bertahan harus lebih dari sekadar mengandalkan kafe atau berbelanja. Dibutuhkan refleksi diri, manajemen stres yang baik, serta keberanian untuk menghadapi masalah tanpa selalu mencari pelarian melalui uang.
Kesimpulannya, fenomena “pusing dikit langsung self reward” mencerminkan kebutuhan untuk menjaga diri ditengah berbagai tekanan zaman.
Namun, jika dilakukan secara berlebihan dan tanpa kesadaran yang menyeluruh, ini dapat menjadi jebakan gaya hidup yang merugikan.
Generasi Z, dengan segala potensi dan tantangannya, perlu menyadari bahwa ungkapan cinta terhadap diri sendiri tidak harus mahal yang terpenting adalah bersikap jujur pada diri sendiri, mengenali batasan, dan terus berkembang. (Red)
*) Rizqi Amalia, mahasiswa Prodi Sosiologi, FISIP, UIN Walisongo Semarang