suaramuda

Pendidikan Agribisnis bagi Generasi Muda di Lingkungan Urban

lustrasi/Freepik.com

Oleh: Zaira Naila ‘Izza*)

SUARAMUDA, SEMARANG – Di tengah padatnya kota dengan gedung tinggi menjulang, jalanan yang sibuk, dan gaya hidup digital yang kian lekat dengan keseharian anak muda.

Siapa sangka, bahwa benih-benih agribisnis justru sedang tumbuh di ruang-ruang sempit perkotaan.

Ketika generasi muda lebih akrab dengan layar ponsel daripada cangkul, pendidikan agribisnis menjadi kunci untuk mempertemukan dua dunia yang tampak berseberangan: teknologi dan pertanian.

suaramuda

Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung terus mengalami lonjakan kebutuhan pangan.

Data dari BPS menunjukkan bahwa hingga 2023, 56 persen penduduk Indonesia tinggal di wilayah urban. Ironisnya, wilayah urban sangat bergantung pada pasokan pangan dari luar kota.

Situasi ini menjadi risiko besar terhadap ketahanan pangan, terutama saat distribusi terganggu oleh bencana alam, krisis energi, atau konflik wilayah.

Agribisnis sebagai Jawaban?

Agribisnis menjadi jawaban penting atas tantangan tersebut. Namun sayangnya, bidang ini masih belum dilirik secara serius oleh sebagian besar anak muda kota.

Stigma bahwa pertanian adalah pekerjaan kotor, melelahkan, dan kurang menjanjikan secara ekonomi masih melekat kuat.

Banyak lulusan SMA dari perkotaan enggan melirik jurusan agribisnis karena merasa tidak relevan dengan impian mereka.

Padahal, dengan integrasi teknologi, inovasi, dan pemikiran bisnis, agribisnis hari ini sudah sangat berbeda dari bayangan lama tentang bercocok tanam di sawah.

Studi dari Jurnal Ilmiah Manajemen Agribisnis UPN Veteran Jawa Timur mengungkap bahwa minimnya minat generasi muda terhadap pertanian bukan karena sektor ini tidak menarik, melainkan karena cara kita memperkenalkannya belum membumi.

Faktor seperti minimnya figur muda yang sukses, kurangnya dukungan keluarga, dan pemahaman yang rendah membuat agribisnis gagal masuk ke dalam radar mimpi anak-anak muda urban.

Urban Farming sebagai Tren Baru

Namun perubahan mulai terasa. Di tengah arus gaya hidup sehat dan kepedulian terhadap lingkungan, tren urban farming mulai tumbuh di kalangan anak muda kota.

Mereka mulai mengubah lahan sempit di balkon, halaman rumah, atau atap gedung menjadi kebun pangan lokal.

Model seperti vertical farming menjadi pilihan karena efisien dan cocok dengan keterbatasan ruang.

Di Surabaya, beberapa komunitas muda berhasil mengelola pertanian kota dengan pendekatan bisnis profesional menggunakan Business Model Canvas.

Pendekatan ini membantu mereka merancang strategi produksi, pemasaran, hingga keuangan secara sistematis.

Penelitian dari Jurnal Ilmiah Manajemen Agribisnis juga mencatat bahwa model ini bukan hanya layak diterapkan, tapi juga berpotensi menjadi solusi jangka panjang untuk membangun ketahanan pangan urban.

Di sisi lain, kehadiran platform digital seperti TaniHub, e-Fishery, dan Sayurbox membuka pintu baru bagi anak muda untuk masuk ke dunia agribisnis tanpa harus menjadi petani konvensional.

Mereka bisa berperan sebagai analis data, pengembang aplikasi, kurator produk, atau content creator di sektor agribisnis.

Menurut data yang dimuat dalam Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis, sekitar 40 persen pelaku agribisnis digital di Indonesia adalah anak muda di bawah usia 35 tahun.

Mereka memanfaatkan modal pengetahuan dan kreativitas, bukan sekadar kekuatan fisik. Ini membuktikan bahwa agribisnis adalah sektor yang inklusif, lintas disiplin, dan sangat terbuka untuk inovasi.

Pendidikan agribisnis tidak selalu harus datang dari jalur formal. Lembaga nonformal seperti The Learning Farm di Cianjur sudah sejak lama melatih anak-anak muda dari perkotaan menjadi petani organik yang berorientasi bisnis.

Meski banyak dari peserta mereka tidak memiliki latar belakang pertanian, pelatihan yang diberikan mampu membentuk kemampuan teknis, karakter kepemimpinan, dan semangat kewirausahaan.

Jurnal Agribisnis Indonesia IPB mencatat bahwa lebih dari 80 persen lulusan The Learning Farm melanjutkan aktivitas di sektor pangan secara mandiri atau terlibat dalam proyek sosial.

Di Banjarmasin, program urban farming berbasis hidroponik sistem wick yang dijalankan komunitas muda terbukti mampu membentuk karakter produktif, peduli lingkungan, dan inovatif.

Hasil studi dalam Jurnal Abdimas Mahakam menunjukkan bahwa program ini efektif menumbuhkan kesadaran akan pentingnya ketahanan pangan lokal serta semangat kolaborasi antargenerasi.

Peran Strategis Lembaga Pendidikan

Sekolah dan kampus memiliki peran penting dalam memperkenalkan agribisnis sejak
dini. Program seperti kebun sekolah, hidroponik, atau aquaponik bisa menjadi pintu masuk yang efektif.

Tidak hanya sebagai kegiatan ekstrakurikuler, tapi juga sebagai ruang belajar yang menggabungkan sains, bisnis, dan kesadaran lingkungan.

Beberapa sekolah menengah dan perguruan tinggi mulai bekerja sama dengan startup agritech untuk menyelenggarakan program magang atau pembelajaran berbasis proyek.

Langkah ini membuat siswa bisa belajar langsung dari pelaku industri, membangun jejaring, dan mengenali potensi karier yang
sebelumnya tidak mereka bayangkan.

Jika pola ini terus berkembang, bukan tidak mungkin magang ke perusahaan agribisnis akan menjadi sama menariknya dengan magang ke startup digital atau e-commerce.

Pentingnya Dukungan Pemerintah

Pemerintah daerah juga memiliki peluang besar untuk ikut mendorong pendidikan agribisnis di wilayah urban.

Dana Kelurahan, program CSR, dan insentif dari APBD bisa dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan komunitas tani kota, membangun taman pangan edukatif, atau inkubator bisnis agribisnis bagi anak muda.

Kolaborasi lintas sektor menjadi kunci keberhasilan program ini. Ketika sekolah, komunitas, pemerintah, dan sektor swasta berjalan bersama, dampak yang dihasilkan akan jauh lebih luas dan berkelanjutan.

Di beberapa kota seperti Bandung dan Semarang, pemerintah sudah mulai memfasilitasi komunitas muda dengan penyediaan lahan tidur dan pelatihan dasar pertanian kota.

Praktik-praktik baik semacam ini perlu direplikasi di lebih banyak wilayah agar pendidikan agribisnis tidak hanya menjadi jargon, tapi betul-betul hadir di tengah masyarakat.

Yang tidak kalah penting adalah bagaimana narasi tentang agribisnis dibentuk dan disampaikan ke publik. Sudah saatnya kita mengubah cara bercerita tentang dunia pertanian.

Kesimpulan

Agribisnis harus dipahami sebagai sektor yang modern, berbasis teknologi, berkontribusi terhadap isu global, dan menawarkan peluang ekonomi yang besar.

Kisah sukses anak muda kota yang mampu membangun bisnis dari kebun atap mengembangkan produk pangan lokal,
atau menciptakan platform distribusi digital harus sering dimunculkan di media sosial, film dokumenter, atau konten kreatif.

Ini akan membentuk imajinasi baru tentang siapa itu petani dan seperti apa wajah pertanian masa depan.

Pendidikan agribisnis sejatinya bukan hanya mengajarkan cara menanam, tapi juga menanam nilai: ketekunan, tanggung jawab sosial, kepedulian terhadap bumi, dan semangat kemandirian.

Nilai-nilai ini sangat penting di tengah ancaman krisis iklim, ketimpangan pangan, dan tantangan energi. Generasi muda urban tidak harus kembali ke desa untuk menjadi bagian dari solusi.

Mereka bisa mulai dari balkon apartemen, ruang kelas, atau komunitas di lingkungan tempat tinggal mereka.

Dengan pendidikan yang tepat dan dukungan lintas pihak, mereka bisa menjadi pelopor perubahan di bidang pangan dan lingkungan.

Membicarakan pendidikan agribisnis bagi generasi muda urban pada akhirnya adalah
membicarakan masa depan. Ini tentang bagaimana kota tidak hanya menjadi pusat konsumsi, tapi juga pusat inovasi pangan.

Petani masa depan bisa lahir dari tengah kota dari ruang kecil yang diolah dengan ide besar, dari semangat anak muda yang ingin dunia lebih baik. (Red)

*) Zaira Naila ‘Izza, mahasiswa Prodi Agribisnis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like
Promo