suaramuda

Pajak Sebagai Belenggu Pendidikan: Sebuah Vonis atas Kebijakan Gagal Pikir Pemkab Manggarai

Zello Bertholomeus, Mahasiswa UNIKA St. Paulus Ruteng

Oleh: Zello Bertholomeus*)

SUARAMUDA, SEMARANG — Sebuah kebijakan yang lahir dari rahim kekuasaan, alih-alih mencerdaskan, justru secara sistematis membodohkan. Bahkan, menindas dengan payung hukum yang cacat.

Inilah vonis yang paling tepat untuk Surat Edaran Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Manggarai Nomor: B/1488/400.3.6.5/VI/2025.

Kebijakan yang dikeluarkan pada 24 Juni 2025 ini, sebagai tindak lanjut dari Instruksi Bupati Manggarai Nomor 2 Tahun 2025, mewajibkan calon siswa TK, SD, hingga SMP menyertakan bukti lunas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagai syarat pendaftaran.

suaramuda

Ini bukan sekadar blunder administratif, melainkan sebuah pengkhianatan terencana terhadap konstitusi dan hak fundamental anak.

Tren Nasional

Ini adalah cerminan birokrasi yang malas berpikir, yang memilih jalan pintas koersif dengan mengorbankan masa depan anak-anak demi menambal kegagalan tata kelola pendapatan daerah.

Ironisnya, Manggarai tidak sendirian dalam kekeliruan ini; ia hanya menjiplak preseden buruk yang telah menuai kritik keras di daerah lain seperti Kota Pontianak dan Kota Bengkulu, yang menunjukkan adanya tren nasional yang mengkhawatirkan dalam salah urus kebijakan publik.

Secara hukum, kebijakan ini adalah sebuah pelanggaran terang-terangan dan tidak dapat dibantah. Fondasi tertinggi negara, UUD 1945, dalam Pasal 31 secara imperatif menyatakan “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.”

Kata “setiap” tidak menyisakan ruang tafsir untuk syarat tambahan seperti ketaatan pajak orang tua.

Hak anak atas pendidikan adalah hak asasi yang melekat, bukan komoditas yang bisa dibarter dengan pendapatan daerah. Pelanggaran ini dipertegas lagi oleh perangkat hukum di bawahnya.

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (No. 20/2003), misalnya, dalam Pasal 5 menjamin “hak yang sama” untuk memperoleh pendidikan bermutu dan dalam Pasal 11 mewajibkan pemerintah “menjamin terselenggaranya pendidikan … tanpa diskriminasi.”

Praktik Diskriminasi yang Kejam

Kebijakan Pemkab Manggarai adalah definisi harfiah dari praktik diskriminasi berbasis status ekonomi.

Lebih jauh lagi, dari perspektif kemanusiaan, kebijakan ini menabrak Undang-Undang Perlindungan Anak (No. 35/2014), yang justru mewajibkan negara melindungi anak dari keluarga miskin.

Kebijakan ini malah melakukan sebaliknya: menghukum anak—pihak yang tidak memiliki kewajiban pajak—atas kondisi ekonomi atau kelalaian orang tuanya. Ini adalah bentuk kekerasan struktural terhadap anak.

Maka, tidak mengherankan jika Ombudsman RI secara konsisten melabeli kebijakan serupa sebagai tindakan maladministrasi yang berat. Logika di baliknya cacat secara fundamental.

Tujuan meningkatkan PAD itu sah, tetapi menjadikan anak sebagai “sandera” untuk menekan orang tua adalah metode premanisme birokrasi yang salah alamat dan keji.

Dalam kacamata filsuf pendidikan Paulo Freire, kebijakan ini adalah perwujudan nyata dari “pendidikan gaya bank” yang menjinakkan dan menindas.

Anak dan orang tua direduksi dari “subjek” yang bermartabat menjadi sekadar “objek” untuk mencapai target PAD.

Pemerintah secara sadar menciptakan “budaya bisu” (culture of silence), di mana kaum miskin sejak di gerbang sekolah diajarkan bahwa hak mereka bersyarat dan dapat ditangguhkan oleh kekuasaan.

Alih-alih membangkitkan kesadaran kritis (conscientização), kebijakan ini menanamkan kesadaran naif bahwa penguasa berhak melakukan apa saja. Ini adalah monolog kekuasaan yang anti-dialogis.

Semangat perjuangan Nelson Mandela, yang berkata, “Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia,” dilucuti maknanya oleh kebijakan ini. Apa yang dilakukan di Manggarai adalah bentuk apartheid sosial-ekonomi.

Meski tidak berdasarkan warna kulit, kebijakan ini secara efektif menciptakan segregasi antara anak dari keluarga yang mampu dan tidak mampu membayar pajak.

Dengan merampas “senjata” pendidikan dari anak-anak miskin, Pemkab Manggarai secara sadar sedang melanggengkan lingkaran setan kemiskinan dan mengkhianati amanat keadilan sosial.

Seruan Penting

Kebijakan Pemkab Manggarai adalah sebuah aib intelektual dan moral. Oleh karena itu, seruan ini ditujukan langsung kepada Bupati Manggarai sebagai pemberi instruksi dan Kepala Disdikpora, Wensislaus Sedan, sebagai eksekutor: Segera CABUT dan BATALKAN Surat Edaran Nomor: B/1488/400.3.6.5/VI/2025 tanpa syarat!

Berhentilah menyandera masa depan anak-anak Manggarai. Carilah cara-cara yang lebih cerdas, manusiawi, dan berkeadilan untuk meningkatkan pendapatan daerah—melalui perbaikan data, kemudahan pembayaran, atau sosialisasi yang persuasif—tanpa harus melanggar hak asasi manusia yang paling fundamental.

Jangan sampai nama Anda tercatat dalam sejarah sebagai pemimpin yang membelenggu anak-anaknya sendiri dengan rantai pajak di gerbang sekolah, karena pendidikan harus membebaskan, bukan menindas. (Red)

*) Zello Bertholomeus, Mahasiswa UNIKA St. Paulus Ruteng

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like
Promo