suaramuda

Nasi Mentah, Tempe Dua Potong: Saat Konsumsi Jamaah Haji Jadi Sekadar Formalitas

Ilustrasi jamaah haji saat sedang menyantap makanan (foto: pinterest)

Liputan Khusus Haji 2025 oleh Faiz Rafdillah*)

SUARAMUDA, MAKKAH, ARAB SAUDI — Pada 14 Dzulhijjah, di hotel Emaar Al Taqwa 206, Syisyah tempat saya dan ratusan jamaah Indonesia bermalam, kami tidak lagi berharap banyak dari sistem.

Yang kami harapkan hanyalah satu, makan tepat waktu, layak, dan manusiawi. Tapi bahkan itu pun ternyata menjadi kemewahan yang terlalu sulit untuk dipenuhi.

Seharusnya, sarapan sudah kami terima sebelum pukul 9 pagi. Tapi kenyataannya, makanan baru sampai sekitar pukul 11 siang.

suaramuda

Dan apa yang kami terima jauh dari kata layak. Beberapa laporan terdapat nasi yang belum matang, lauk sekadar dua potong tempe orek yang nyaris tak terasa bumbunya, dan porsi yang bahkan membuat kami bertanya apakah ini upaya pemenuhan gizi atau sekadar menggugurkan kewajiban?

Yang lebih menyakitkan lagi adalah informasi bahwa makan siang dan makan malam hari itu besar kemungkinannya tidak akan tersedia.

Alasannya? Tim dapur tidak sanggup melayani seluruh jamaah di Sektor 2. Pernyataan itu bukan hanya bentuk ketidakprofesionalan bukan?

Bagi kami, itu penghinaan bagi jama’ah yang telah membayar mahal, menanti bertahun-tahun, dan datang dengan tubuh yang lelah dan niat yang suci.

Kami, para ketua regu kloter JKG 47, telah menyampaikan protes berulang kali. Tapi tanggapan yang kami dapat hanyalah “nanti kami pikirkan solusi.”

Seolah-olah urusan makan bagi ribuan jama’ah bisa diselesaikan dengan satu kalimat pengalihan tanggung jawab.

Lalu pertanyaannya, bagaimana mungkin logistik konsumsi bisa kolaps seperti ini? Bukankah pelayanan konsumsi telah dianggarkan dan dibayar melalui skema BPIH?

Bukankah ada koordinasi antara BPKH, pihak katering lokal, petugas kloter, hingga pihak dapur yang semestinya menjamin hal ini tidak terjadi?

Saat kami hendak thawaf ifadah malam ini pun, ibadah penting setelah mabit di Mina, banyak jamaah yang terpaksa menundanya.

Bukan karena kelelahan semata, tapi karena tidak makan. Perjalanan ibadah yang harusnya khusyuk berubah jadi perjuangan bertahan hidup, demi sesuap nasi yang pantas.

Ini bukan sekadar soal nasi keras atau tempe hambar. Ini tentang hak jamaah untuk diperlakukan secara layak dan manusiawi.

Ini tentang kepercayaan kami pada sistem yang entah karena buruknya koordinasi atau lemahnya pengawasan, akhirnya menyia-nyiakan kehormatan ibadah kami di Tanah Suci.

Pemerintah Indonesia harus bertindak. Tidak cukup sekadar menyampaikan “keprihatinan” atau “memantau dari jauh.” Sistem penyediaan konsumsi harus diaudit secara menyeluruh.

Jika perlu, lakukan reformasi terhadap sistem logistik dengan pembagian tanggung jawab yang jelas dan sanksi tegas bagi pihak katering yang gagal memenuhi kewajiban.

Kami tidak menuntut kemewahan. Kami tidak minta berlebihan. Tapi kami punya hak atas makanan yang layak.

Apalagi dalam ibadah haji, yang tidak hanya menguji iman tapi juga kekuatan fisik dan daya tahan tubuh.

Jika bahkan makan pun tak bisa kami dapatkan dengan benar, untuk apa semua janji manis pelayanan maksimal itu dikampanyekan?

Mungkin, nasi yang terlapor masih mentah dan tempe dua potong itu adalah simbol nyata dari bagaimana kami sebagai jamaah haji Indonesia masih saja dianggap bisa dipermainkan dalam sistem yang seharusnya melayani. (Red)

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like
Promo