
Oleh: Fadiya Shakila Jasmi *)
SUARAMUDA, SEMARANG — Iman adalah cahaya yang menerangi jalan di kegelapan malam. Ia bukan hanya kata-kata yang terucap, tetapi sebuah janji yang tertanam dalam jiwa.
Seperti akar pohon yang menancap dalam tanah, keimanan sejati harus memiliki kedalaman yang tak tergoyahkan, yang memberi kita kekuatan untuk bertahan melawan segala ujian.
Dalam perjalanan menuju keimanan sejati, kita tak ubahnya menjadi pelaut di lautan yang luas, berlayar di antara gelombang keraguan dan badai kesenangan.
Keimanan sejati adalah kompas yang menuntun kita kearah yang benar, meskipun terkadang kita terombang-ambing oleh godaan duniawi.
Tafsir Surat Al-Hujurat ayat 14-15
Menggali hakikat keimanan sejati melalui penafsiran Surah Al-Hujurat ayat 14 dan 15 memberikan kita pemahaman yang mendalam tentang perbedaan antara Islam sebagai pengakuan dan iman sebagai keyakinan yang tulus.
Dalam konteks ini, Allah SWT menegaskan kepada orang-orang Arab Badui yang mengklaim bahwa mereka telah beriman, padahal yang sebenarnya adalah mereka hanya telah berserah diri (Islam) dan iman sejati belum sepenuhnya meresap ke dalam hati mereka.
Ayat ini menyoroti bahwa iman bukan sekedar ucapan, melainkan sebuah kedalaman keyakinan yang harus terserap dalam hati.
Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk mengatakan pada mereka bahwa iman belum masuk ke dalam hati mereka. Ini menunjukkan bahwa pengakuan lisan tanpa penghayatan yang mendalam tidaklah cukup.
Dalam konteks ini, iman sejati adalah sebuah perjalanan spiritual yang melibatkan penyerahan total kepada Allah dan Rasul-Nya, yang tercermin dalam tindakan dan pengorbanan di jalan-Nya.
Ayat 14
قَالَتِ الْاَعْرَابُ اٰمَنَّا ۗ قُلْ لَّمْ تُؤْمِنُوْا وَلٰكِنْ قُوْلُوْٓا اَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْاِيْمَانُ فِيْ قُلُوْبِكُمْ ۗوَاِنْ تُطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ لَا يَلِتْكُمْ مِّنْ اَعْمَالِكُمْ شَيْـًٔا ۗاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
“Orang-orang Arab Badui berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah ‘Kami telah tunduk (Islam),’ karena iman belum masuk ke dalam hatimu. Dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala) amal perbuatanmu. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Dalam Kitab tafsir Munir Jilid 14, dijelaskan bahwa :
Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa iman lebih khusus dari pada Islam, sebagaimana pendapat Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.
Hal ini ditunjukkan oleh hadis dari Malaikat Jibril ketika menanyakan tentang Islam, kemudian iman dan ihsan.
Di sini, Malaikat Jibril memulainya dari yang lebih umum ke yang lebih khusus. Iman tidak muncul melainkan di hati, ia membenarkan dalam hati disertai dengan ketenangan dan kepercayaan kepada Allah SWT.
Adapun Islam lebih umum, ia hanya sebatas mengucapkan dua kalimat syahadat dengan lisan serta memperlihatkan ketundukan dan kepatuhan kepada apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.
Kemudian Allah SWT memotivasi mereka untuk beriman dengan sebenar-benarnya,
وَاِنْ تُطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ لَا يَلِتْكُمْ مِّنْ اَعْمَالِكُمْ شَيْـًٔا ۗاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Jika kalian benar-benar menaati Allah dan Rasul-Nya, memurnikan amal dan membenarkan dengan kepercayaan yang shahih, Allah SWT tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amal-amal kalian.
Janganlah kalian membuat amal kalian menjadi sia-sia karena tidak adanya keikhlasan.
Allah SWT Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat kepada-Nya dan memurnikan amal, Allah SWT juga Maha Penyayang bagi orang yang seperti ini dengan tidak mengazab dirinya setelah bertaubat.
Di sini terkandung perintah untuk bertaubat dari amal-amal buruk yang telah lalu, sekaligus penghibur hati bagi orang yang keimanannya agak terlambat.
Allah SWT setiap saat mengampuni kalian yang telah lalu dan mengampuni kalian pada masa yang mendatang.
Ayat 15
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوْا وَجَاهَدُوْا بِاَمْوَالِهِمْ وَاَنْفُسِهِمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الصّٰدِقُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar. “
Dalam ayat ini, Allah menerangkan sifat-sifat orang mukmin dan hakikat keimanan.
Orang-orang yang beriman dengan keimanan yang shahih dan tulus; merekalah orang-orang mukmin yang kamil, merekalah orang-orang yang membenarkan Allah dan Rasul-Nya secara total dengan hati, mengikrarkan dengan lisan, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan bimbang, namun tetap teguh atas suatu keadaan.
Membenarkan secara murni, mereka benar-benar berjihad dengan harta dan jiwa untuk menaati Allah SWT, mencari keridhaan-Nya dan meluhurkan kalimat serta agama-Nya.
Mereka yang memiliki sifat-sifat tersebut adalah orang-orang yang disifati dengan keimanan dan disebut sebagai orang yang beriman. Bukan seperti sebagian orang Arab Badui yang sebatas memperlihatkan keislaman secara lahiriyah, namun iman belum meresap dalam hati mereka.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata, “Rasulullah saw bersabda: “Orang-orang mukmin di dunia memiliki tiga kriteria. Pertama, orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak meragukannya, dan merka berjihad dengan harta dan jiwanya dijalan Allah SWT. Kedua, seseorang yang orang lain mempercayakan keselamatan harta dan jiwa kepadanya. Ketiga, orang yang ketika mendapatkan sesuatu yang diinginkan, ia meninggalkannya karena Allah SWT.” (HR Imam Ahmad)
Kajian mendalam terhadap Surah Al-Hujurat ayat 14 dan 15 ini menjadi penting karena beberapa alasan.
Pertama, kedua ayat ini memberikan pemahaman yang krusial tentang esensi keimanan dalam Islam, melampaui sekedar pengakuan lisan menuju keyakinan yang mendalam dan tercermin dalam perbuatan.
Kedua, konteks sosial dan historis turunnya ayat ini berkaitan dengan interaksi Rasulullah saw dengan sebagian kaum Badui, memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya kejujuran dan kesungguhan dalam beragama.
Ketiga, analisis terhadap ayat ini dapat memberikan implikasi praktis bagi kehidupan umat Islam saat ini dalam mengukur kualitas keimanan diri sendiri dan membangun masyarakat yang berlandaskan pada nilai-nilai iman yang kokoh. (Red)
*) Fadiya Shakila Jasmi adalah Mahasiswa Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe