
SUARAMUDA, PURWOREJO — Pondok Pesantren An-Nawawi Berjan, sebuah pesantren tua yang sarat sejarah dan spiritualitas, dipercaya menjadi tuan rumah pelantikan Idarah Aliyah Jamiyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah (JATMAN) masa khidmah 2025–2030.
Pelantikan tersebut akan digelar selama dua hari, Senin–Selasa, 7–8 Juli 2025, di komplek pesantren yang berada di Dusun Berjan, Desa Gintungan, Kecamatan Gebang, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.
KH Ali Masykur Musa selaku Mudir Aly Pimpinan Pusat Jamiyyah Ahlith Thariqah al-Mutabarah an-Nahdliyyah (JATMAN) menyampaikan bahwa Rais Aam PBNU KH. Miftachul Akhyar dan Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf dijadwalkan hadir langsung untuk melakukan pelantikan Pengurus Aliyah Jamiyah Ahlith Thariqah al-Mutabarah an-Nahdliyyah (JATMAN) JATMAN masa khidmah 2025-2030 di Pondok Pesantren An-Nawawi Berjan Purworejo.
“Alhamdulillah, kami sudah bersilaturrahim kepada Rais Aam. Poinnya adalah mengundang beliau untuk hadir dalam pelantikan Idarah Aliyah, yang Insya Allah berlangsung pada tanggal 7 Juli 2025 di Ponpes An-Nawawi, Berjan,” ucap Kiai Ali dikutip dari JATMAN Online.
Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar dan Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf menyatakan kesediaannya untuk menghadiri acara pelantikan Jamiyah Ahlith Thariqah al-Mutabarah an-Nahdliyyah (JATMAN) yang akan berlangsung di Pondok Pesantren An-Nawawi Berjan Purworejo.
“Alhamdulillah, Insya Allah Rais Aam dan Ketua Umum PBNU yang akan melantik langsung,” ujarnya.
Di balik pelaksanaan acara tersebut, tersembunyi sejarah panjang dan kontribusi besar para pendiri pesantren ini dalam dunia pendidikan dan spiritualitas Islam di Indonesia.
Sejarah Pendirian
Didirikan pada tahun 1870 Masehi oleh Syekh Zarkasyi (1830-1914), pesantren yang terletak di Dusun Berjan, Desa Gintungan, Gebang, Purworejo, Pondok Pesantren An-Nawawi ini bermula dari sebuah surau bambu sederhana yang menjadi tempat ibadah sekaligus pusat dakwah Islam bagi masyarakat sekitar.
Surau itu dibangun Syekh Zarkasyi tidak lama setelah kepindahannya dari Baledono. Ia merasa terpanggil untuk mendirikan tempat ibadah karena pada saat itu belum ada masjid atau langgar di wilayah Berjan.
Di surau tersebut, Syekh Zarkasyi mengajarkan dasar-dasar tauhid dan ibadah praktis berdasarkan kitab Lathāif al-Thahārah karya Syekh Sholeh Darat Semarang, guru sekaligus sahabat seperjuangannya.
Syekh Zarkasyi juga dikenal sebagai penyebar Thariqat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah di wilayah Purworejo dan sekitarnya.
Sanad keilmuan dan thariqah beliau berasal dari Syekh Abdul Karim Banten, Paman Syekh Nawawi Al-Bantani di Suq al-Lail, Makkah. Ia membangun jejaring keilmuan dan spiritualitas Islam yang kelak berkembang lebih luas hingga lintas wilayah.
Meski hanya sesekali tinggal di Berjan, pengaruhnya begitu kuat. Ia bahkan memberi nama pedukuhan itu sebagai “Berjan” yang berarti sumbering kabejan (sumber kemuliaan).
Tongkat estafet kepemimpinan kemudian dilanjutkan oleh putranya, KH Shiddieq (19141947), yang dikenal sebagai mursyid Thariqat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah. Di masa ini, sistem pendidikan mulai mengalami perubahan.
Pembaruan Pesantren
Beberapa santri yang sebelumnya hanya datang saat pengajian mulai tinggal menetap di asrama sederhana. Kehidupan santri pun terbagi menjadi dua golongan: santri mukim dan santri kalong.
Lompatan besar dalam sejarah Pondok Pesantren An-Nawawi terjadi ketika KH Nawawi bin Shiddieq memimpin. Beliau melakukan pembaruan menyeluruh tanpa meninggalkan akar tradisi salafiyah.
Di bawah kepemimpinannya:
– Nama pesantren diubah dari Miftahul Ulum menjadi Roudlotut Thullab (Taman Pelajar),
– Didirikan Pondok Pesantren Putri,
– Diterapkan sistem klasikal atau madrasah dalam pembelajaran,
– Pesantren mulai menerima lembaga pendidikan formal, seperti PGA (Pendidikan Guru Agama),
Bahkan pada tahun 19771978, KH Nawawi menggagas pendirian fakultas syariah di lingkungan pesantren.
Sejak saat itu, nama pesantren berubah menjadi An-Nawawi, untuk mengenang dan menghormati jasa besar KH Nawawi dalam memodernisasi sistem pendidikan pondok tanpa kehilangan semangat spiritualnya.
Menggagas JATMAN
Salah satu kontribusi monumental KH Nawawi adalah keberhasilannya dalam mengorganisasi penganut Thariqat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah melalui wadah resmi yang disebut jamiyyah.
Gagasan ini kemudian melahirkan Kongres Alim Ulama Thariqat pertama di Tegalrejo, Magelang tahun 1957, yang menjadi cikal bakal berdirinya organisasi Jamiyyah Ahli Thariqah al-Mutabarah an-Nahdliyah (JATMAN) organisasi resmi naungan NU yang menaungi thariqat mutabarah se-Indonesia.
Gagasan pembentukan organisasi thoriqoh nasional bermula sekitar tahun 1956, ketika dua ulama muda, KH Nawawi Shiddiq Berjan dan KH Masruhan Ihsan Mranggen, menyampaikan kegelisahan mereka atas banyaknya praktik thoriqoh tanpa sanad dan silsilah mursyid yang jelas.
Mereka kemudian sowan kepada KH. Muslih Abdurrahman Mranggen, seorang ulama sepuh, untuk meminta pandangan dan restu.
KH. Muslih menyetujui dan mendukung gagasan pembentukan organisasi thoriqoh sebagai wadah koordinasi para mursyid, bukan untuk mengatur isi thoriqoh.
Pertemuan dilanjutkan di Berjan dalam majlis haul KH Zarkasyi Berjan Purworejo pada tanggal 15 Sya’ban (17 Maret 1957) dengan terbentuknya sekretariat sementara untuk pembentukan Panitia Kongres.
Panitia belum terbentuk, tetapi rencana penyelenggaraan kongres sudah terdengar oleh KH Romli Tamim Peterongan.
Panitia Kongres Thariqat Mu’tabaroh I berhasil dibentuk dalam pertemuan konsultasi yang dilaksanakan di rumah Bapak Romlan Semarang pada tanggal 11 Agustus 1956, dengan susunan sebagai berikut:
Pelindung : K.H. Romli Tamim Rejoso Jombang Andi Potopoi Bupati Grobogan 152
Ketua I : K.H. Nawawi Purworejo
Ketua II : K.H. Mandhur – Temanggung
Sekretaris I : Mahfudz Purworejo
Sekretaris II : Ma’shum Semarang
Bendahara I : Mangku Magelang
Bendahara II : Romlan – Semarang.
Panitia ini didukung oleh para tokoh nasional, seperti KH Romli Tamim (Peterongan, Jombang) dan Bupati Grobogan H Andi Patoppoi (Kakek dari Andi Alfian Mallarangeng dan Rizal Mallarangeng-red).
Kongres perdana kemudian digelar di Pondok Pesantren Tegalrejo, Magelang, dengan kehadiran ulama dari berbagai thoriqoh seperti Qodiriyah, Syadziliyah, Shathariyah, dan Ikhthijaiyah.
Karena partisipasi yang luas, nama panitia pun diubah menjadi Panitia Kongres Alim Ulama Ahli Thoriqoh Mutabarah Indonesia.
Sebelum memilih Rois Akbar pertama, para ulama melakukan istikharah di Tegalrejo dan mendapatkan mimpi serupa: KH Baidlowi Abdul Aziz Lasem mengimami salat di Masjidil Haram.
Beliau akhirnya bersedia menjadi Rois Akbar pertama Jamiyah Ahlith Thariqah al-Mutabarah an-Nahdliyyah (JATMAN), dan organisasi ini kemudian dipimpin oleh KH Zubair Salatiga sebagai ketua.
Meskipun beberapa pihak menyebut nama-nama lain sebagai pendiri, secara historis empat tokoh utama penggagas organisasi Jamiyah Ahlith Thariqah al-Mutabarah an-Nahdliyyah (JATMAN) adalah:
1. KH. Nawawi Shiddiq (Berjan)
2. KH. Masruhan Ihsan (Mranggen)
3. KH. Muslih Abdurrahman (Mranggen)
4. KH. Mandhur (Temanggung)
Tokoh-tokoh lain seperti KH Chudhori Tegalrejo, KH Siraj Payaman, KH. Dalhar Watucongol, dan KH Abdul Hamid Kajoran disebut berperan sebagai guru dan pendukung spiritual, bukan penggagas organisasi. Misalnya, KH Chudhori sangat berjasa dalam penggalangan dana untuk kongres walaupun bukan tokoh thoriqoh.
Dari catatan pribadi KH Nawawi dan berbagai hasil penelitian, diketahui bahwa Thariqat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah Berjan yang dibinanya telah menyebar luas ke luar Pulau Jawa, termasuk ke Lampung, Palembang, Jambi, Riau, dan Bengkulu.
Thariqat yang Mendunia
Tak berhenti di wilayah domestik, thariqat ini bahkan menjangkau kawasan regional Asia Tenggara, seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei Darussalam.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, pengaruh thariqat dari Berjan sudah mencapai Malaysia dan Singapura, tulis KH Nawawi dalam catatan pribadinya, sebagaimana dikutip dalam salah satu dokumen tertanggal 23 Januari 2007 dalam buku MENGENAL KH NAWAWI Berjan Purworejo.
Dalam konteks modernisasi dan globalisasi, pesantren An-Nawawi juga tidak tinggal diam. Modernisasi di sini tidak dimaknai sebagai sekularisasi, tetapi sebagai ikhtiar memperbarui sistem, menjawab tantangan zaman tanpa tercerabut dari nilai-nilai keislaman.
Hal ini penting karena pesantren modern harus mampu menjadi representasi Islam yang berakar dari lokalitas, namun mampu menjawab persoalan global.
Pondok Pesantren An-Nawawi Berjan bukan sekadar lembaga pendidikan, tapi adalah poros spiritual dan intelektual Islam Nusantara.
Warisan perjuangan Syekh Zarkasyi, KH Shiddieq, hingga KH Nawawi telah melahirkan sistem pendidikan, jaringan keagamaan, dan pengaruh spiritual yang melintasi batas pulau bahkan negara.
Jejak panjang yang dimulai dari sebuah surau bambu kini telah menjelma menjadi jaringan thariqat lintas negara.
Pondok Pesantren An-Nawawi Berjan adalah bukti nyata bahwa pesantren bisa menjadi pusat transformasi sosial, keilmuan, dan spiritual yang berpengaruh secara lokal, nasional, hingga internasional. (Red)