suaramuda

Ketika Moral Cuma Jadi Dagangan Politik

Ali Achmadi, tinggal di Pati. Praktisi pendidikan dan aktif mengamati isu-isu pembangunan daerah

Oleh: Ali Achmadi*)

SUARAMUDA, SEMARANG – Bupati Pati belakangan ini gencar menyuarakan pentingnya pendidikan karakter dan moral, terutama bagi pelajar dan generasi muda.

Pidato-pidato resmi yang memuat seruan untuk membangun bangsa melalui insan-insan berakhlak mulia telah menjadi narasi rutin yang terdengar dalam berbagai kesempatan.

Namun, publik dikejutkan dengan potret nyata yang sangat bertolak belakang dari wacana moralitas tersebut.

suaramuda

Sebuah pertunjukan goyang seronok oleh Trio Srigala, yang dipertontonkan secara terbuka di depan bupati dan jajaran pejabat Kabupaten Pati.

Utamanya, dalam acara penyerahan badan hukum Koperasi Desa/ Kelurahan Merah Putih serta penandatanganan MoU Hari Jadi Kabupaten, menjadi bukti yang memalukan dan mengguncang rasa keadilan moral masyarakat.

Kegiatan ini bukan sekadar soal selera hiburan. Ia menyangkut posisi moral seorang pemimpin yang sejatinya menjadi teladan, bukan justru turut merayakan tontonan yang secara kasat mata jauh dari nilai-nilai pendidikan, etika publik, maupun kearifan lokal.

Bagaimana mungkin seorang pemimpin yang menyerukan pentingnya pembentukan karakter pelajar, justru mengizinkan—jika bukan menyambut—pertunjukan yang banal dan berpotensi merusak citra pemerintah di mata publik?

Pertunjukan semacam ini bukan hanya tidak sensitif terhadap nilai-nilai moral masyarakat, tetapi juga menunjukkan ketimpangan empati di tengah kebijakan yang sedang digodok dan menimbulkan kegelisahan publik: rencana kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250%.

Masyarakat Pati, yang sebagian besar adalah petani dan pekerja informal, dihadapkan pada beban finansial yang tidak ringan.

Di tengah keresahan itu, justru tersaji pemandangan para pejabat bersenang-senang dengan hiburan yang norak dan menjauh dari semangat keadaban publik.

Sungguh sebuah ironi yang terang benderang. Kesenjangan antara ujaran dan tindakan semakin mencolok.

Ketika rakyat diminta hidup prihatin, justru para elit pemerintahan tampak larut dalam perayaan tanpa kepekaan.

Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah komitmen moral yang selama ini dikampanyekan benar-benar tulus, atau sekadar retorika politik tanpa pijakan etis?

Ironi ini bukan hanya menyakitkan—ia memalukan. Apalagi ketika pertunjukan tersebut terjadi di tengah acara penyerahan badan hukum Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih dan penandatanganan MoU Hari Jadi Kabupaten, sebuah agenda yang seharusnya menjadi simbol pembangunan, kemajuan masyarakat, dan komitmen negara terhadap rakyat kecil.

Tapi yang justru terjadi adalah pesta pora murahan yang menodai akal sehat dan menyinggung rasa keadilan masyarakat.

Acara semacam ini mencederai rasa keadilan moral masyarakat dan semakin menjauhkan kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan.

Masyarakat tidak menuntut hiburan dihilangkan, tetapi mereka berharap pemimpinnya memiliki sensitivitas etis dan estetika publik.

Hiburan bisa tetap hadir dalam format yang mendidik, membangun semangat kolektif, dan tidak menimbulkan kegelisahan moral.

Pertunjukan seronok dan erotis di forum publik bukan sekadar soal etika hiburan—ini adalah penghinaan terhadap nilai-nilai masyarakat Pati yang mayoritas religius dan menjunjung tinggi kesantunan budaya.

Ini adalah simbol kelunturan kepemimpinan yang semestinya menjadi panutan. Dan lebih dari itu, ini adalah wajah nyata dari pemerintah yang gagal menjaga martabat di tengah rakyat yang sedang dituntut berkorban lebih.

Sebagai pemimpin, bupati semestinya mampu menjadi mercusuar arah moral dan kebudayaan masyarakat, bukan justru bagian dari problem yang melemahkan fondasi nilai itu sendiri.

Jika pendidikan karakter menjadi program unggulan, maka konsistensi moral dalam tindakan nyata adalah keniscayaan yang tak bisa ditawar.

Kritik ini bukan semata untuk menjatuhkan, tetapi untuk mengingatkan. Bahwa kepemimpinan sejati bukan diukur dari seberapa keras seorang pemimpin berbicara di podium, melainkan dari seberapa teguh ia menegakkan nilai dalam setiap laku dan kebijakan. (Red)

*) Ali Achmadi, praktisi pendidikan dan pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, tinggal di Pati

 

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like
Promo