suaramuda

Ketika Anak Menjadi Korban Perselingkuhan

Desita Fusfitasari, mahasiswa Sosiologi, UIN Walisongo Semarang

SUARAMUDA, SEMARANG — Tren perselingkuhan banyak terjadi dalam kehidupan keluarga. Perselingkuhan merupakan salah satu aspek kehidupan dalam berkeluarga dan sering menjadi sumber permasalahan.

Perselingkuhan seorang suami merupakan bentuk penyimpangan tindakan anggota keluarga dilakukan tanpa sepengetahuan istrinya, demikian juga sebaliknya.

Perselingkuhan dilakukan di berbagai aspek kehidupan keluarga, seperti keuangan, kebijakan keputusan, seksual, persahabatan, hubungan dengan orang tua, pekerjaan, dan sebagainya.

Ada Perubahan Sikap

suaramuda

Perselingkuhan biasanya ditandai dengan perubahan sikap. Perubahan sikap paling nyata dan sering terjadi dalam kasus perselingkuhan adalah kecenderungan untuk merahasiakan sesuatu, bertindak defensif (bersikap bertahan), dan berbohong.

Pada prinsipnya, setiap orang menghendaki kehidupan normal dan dapat diterima dalam kehidupan sosial. Manusia secara kodrat mengikuti aturan-aturan kehidupan masyarakat, termasuk aturan dalam kehidupan berkeluarga, namun lingkungan pergaulan, jabatan, status sosial, dan pengalaman dapat mengubah seseorang.

Demikian pula dalam kehidupan perkawinan, situasi semula demikian harmonis dapat berubah menjadi konflik dan pertengkaran ketika suami melakukan perbuatan perselingkuhan.

Kenyataan ini terkadang sulit diatasi, bahkan tidak sedikit rumah tangga berakhir dengan perceraian.

Perselingkuhan merupakan peristiwa menyakitkan bagi semua pihak, tidak hanya istri dan anak yang menjadi korban atau efek dari perselingkuhan, namun masyarakat pun mengecam perbuatan perselingkuhan.

Namun, dampak terbesarnya yang terjadi justru akan dirasakan oleh sang anak. Anak yang masih dalam masa pencarian jati diri itu harus menanggung beban psikologis yang berat, menghadapi kenyataan bahwa keluarganya tidak seharmonis dulu. Insiden ini sering menjadi perbicangan di lingkungan rumahnya.

Anak yang mengetahui atau merasakan adanya perselingkuhan biasanya akan mengalami berbagai gejolak emosi. Rasa kecewa, marah, dan bingung menjadi perasaan yang paling dominan.

Mereka kecewa karena figur yang selama ini menjadi panutan ternyata bisa berkhianat, marah karena merasa dikhianati, dan bingung karena tidak tahu harus memihak siapa atau bagaimana bersikap.

Tidak jarang, anak juga merasa malu, terutama jika konflik keluarga ini menjadi buah bibir di lingkungan sekitar. Rasa malu ini bisa membuat mereka menarik diri dari pergaulan, enggan bercerita pada teman, bahkan sulit berinteraksi dengan yang lain.

Selain itu, anak korban perselingkuhan kerap kehilangan rasa aman dan kepercayaan, baik kepada orang tua maupun kepada orang lain.

Mereka mulai meragukan apakah hubungan yang harmonis benar-benar ada, bahkan bisa tumbuh menjadi pribadi yang sulit percaya pada pasangan di masa depan tidak sedikit pula yang mengalami trauma dan takut menjalin hubungan, khawatir akan mengulangi kisah pahit yang dialami orang tuanya.

Kejadian ini bisa terjadi bukan semata-mata hanya permasalahan rumah tangga, akan tetapi salah satu contoh nyata bagaimana tindakan tidak bertanggung jawab orang tua, kejadian perselingkuhan ini bisa berdampak langsung pada kesehatan mental dan emosional anak, apalagi jika mereka melihatnya secara langsung.

Dalam kasus ini, anak tidak hanya dikhianati, tetapi juga merasa kehilangan rasa aman dan kepercayaan terhadap figur yang dijadikan panutan.

Kejadian ini juga mencerminkan kegagalan sebagian orang dewasa dalam memprioritaskan tanggung jawab moral dan emosional dalam berkeluarga.

Terkadang banyak orang tua yang berpikir bahwa urusan rumah tangga hanya antara suami dan istri, padahal anak adalah bagian yang sangat berdampak.

Perselingkuhan tidak hanya menghancurkan hubungan pernikahan, tetapi juga merusak ikatan emosional dalam keluarga.

Dampak pada Anak

Psikolog klinis anak dan remaja, dr. Ratna Hapsari menjelaskan bahwa anak yang menyaksikan atau mengetahui perselingkuhan orang tuanya bisa mengalami trauma emosional jangka panjang.

“Anak bisa merasa dikhianati, tidak aman, bahkan kehilangan kepercayaan terhadap figur ayah sebagai panutan. Hal ini dapat memicu depresi, kecemasan, hingga gangguan relasi sosial di masa depan”

Dampak psikologis lainnya adalah anak bisa merasa tertekan, mengalami depresi, dan kehilangan motivasi. Pikiran mereka dipenuhi kecemasan akan perpisahan, rasa bersalah, atau bahkan merasa bertanggung jawab atas keretakan rumah tangga orang tua.

Dalam beberapa kasus, tekanan mental ini bisa mendorong anak mencari pelarian ke perilaku menyimpang, seperti penyalahgunaan zat, atau menjadi pribadi yang sulit mengelola emosi.

Refleksi bagi Orang tua

Kasus ini seharusnya menjadi cermin bagi para orang tua. Keluarga adalah tempat pertama anak belajar tentang cinta, kejujuran, dan tanggung jawab.

Ketika orang tua mengkhianati nilai-nilai itu, anak bisa kehilangan arah, bahkan kehilangan kepercayaan terhadap hubungan secara umum.

Tidak jarang pula, anak justru membenci orang tuanya yang berselingkuh, merasa dikhianati oleh sosok yang seharusnya menjadi pelindung dan panutan. Mereka bisa kehilangan rasa hormat, bahkan menarik diri dari komunikasi dengan orang tua tersebut.

Dalam jangka panjang, luka akibat perselingkuhan orang tua dapat membekas hingga anak dewasa.

Anak mungkin tumbuh menjadi pribadi yang skeptis terhadap komitmen, takut disakiti, atau bahkan meniru pola hubungan yang tidak sehat karena tidak pernah melihat contoh hubungan yang stabil di rumah.

Pada intinya perselingkuhan orang tua adalah badai besar bagi kehidupan anak. Ia meninggalkan luka yang dalam rasa kehilangan, ketidakpercayaan, kecemasan, bahkan trauma yang bisa memengaruhi masa depan mereka dalam membangun hubungan dan keluarga sendiri.

Terkadang kita tidak bisa mengharapkan anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang sehat emosinya jika rumah mereka penuh kebohongan.

Karena tempat kembali ketika anak sudah lelah dengan dunia luar adalah keluarga, tapi bagaimana jika keluarga yang seharusnya menjadi tempat dia kembali sudah hancur, pasti akan membuat anak merasa sendiri dan trauma. Oleh karena itu dalam sebuah hubungan komunikasi, kepercayaan, dan tanggungjawab itu penting.

Penulis: Desita Fusfitasari, mahasiswa Sosiologi, UIN Walisongo Semarang

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like
Promo