
SUARAMUDA, DEMAK — Banjir rob yang terus-menerus melanda Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, telah menjadi bencana yang tidak lagi bisa disebut sebagai insiden musiman.
Genangan akibat pasang air laut kini telah menjadi rutinitas pahit yang harus dihadapi masyarakat setiap hari.
Tidak hanya rumah-rumah warga yang terendam, tetapi juga akses jalan yang rusak, aktivitas perdagangan dan ekonomi yang terganggu, serta kegiatan belajar mengajar yang lumpuh karena sekolah pun ikut tergenang.
Keadaan ini telah menimbulkan dampak yang berlangsung bertahun-tahun, bukan hanya pada infrastruktur fisik, melainkan juga pada kualitas hidup dan kondisi psikologis warga.
Banyak warga yang terpaksa meninggikan lantai rumah, membangun dinding penahan air seadanya, hingga harus berpindah tempat tinggal sementara ketika rob datang dengan tinggi yang tidak biasa.
Namun dari semua penderitaan tersebut, yang paling menyakitkan bagi warga adalah bukan sekadar rumah yang terendam, melainkan ketidakjelasan sikap dan tindakan nyata dari pihak pemerintah.
Harapan yang dulu mereka gantungkan pada janji-janji pemangku kebijakan kini perlahan memudar, tergantikan rasa lelah dan kecewa.
Fenomena banjir rob di Sayung tak bisa dilihat sekadar sebagai bencana alam yang terjadi secara berkala. Lebih dari itu, banjir ini menjadi cerminan nyata dari ketimpangan perhatian dan perlakuan dalam sistem pemerintahan.
Dibandingkan dengan Kota Semarang
Di satu sisi, masyarakat di wilayah lain seperti Kota Semarang yang lokasinya berdekatan telah menikmati perhatian serius dari pemerintah dalam bentuk upaya pembangunan tanggul laut, perbaikan sistem drainase, dan proyek normalisasi wilayah pesisir.
Sementara itu, warga Sayung justru seperti ditinggalkan dalam ketidakjelasan, seolah tidak termasuk dalam skala prioritas pembangunan.
Situasi ini bukan hanya menghadirkan ketimpangan infrastruktur, tetapi juga melukai rasa keadilan sosial yang seharusnya dijunjung tinggi dalam sebuah negara yang berprinsip kesetaraan.
Di Kota Semarang, berbagai upaya penanggulangan bencana pesisir telah dilaksanakan secara sistematis dan berkelanjutan.
Di sisi lain, kondisi yang kontras justru terlihat jelas di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak.
Warga Sayung harus terus hidup dalam ketidakpastian dan keterpurukan. Wilayah mereka seolah tak tersentuh oleh kebijakan serupa.
Tidak ada pembangunan signifikan yang dirasakan secara langsung oleh warga, dan berbagai janji pemerintah yang pernah diutarakan terdengar semakin hampa seiring waktu berjalan tanpa realisasi.
Perbedaan mencolok dalam penanganan ini menciptakan luka batin bagi masyarakat Sayung karena mereka merasa diabaikan, dan tidak mendapatkan perlakuan yang adil.
Ketimpangan perhatian ini tidak hanya memunculkan rasa kecewa, tetapi juga mengusik rasa keadilan sosial.
Sayung dan Semarang hanya dipisahkan oleh batas administratif, namun jurang perlakuan dari segi kebijakan terasa sangat dalam.
Padahal, warga Sayung tak pernah menuntut hal-hal yang muluk-muluk. Impian mereka sangat sederhana dan bersifat mendasar, yaitu dapat tinggal di rumah tanpa takut air laut tiba-tiba menggenang setiap pagi.
Masyarakat bisa menjalankan aktivitas sehari-hari seperti berdagang, bekerja, atau beribadah tanpa harus melintasi air setinggi lutut, serta melihat anak-anak mereka pergi ke sekolah dan belajar dalam lingkungan yang aman dan nyaman, bukan di ruang kelas yang lembab dan tergenang air.
Dalam kondisi yang serba tak pasti ini, akumulasi rasa kecewa masyarakat pun perlahan berubah menjadi letupan frustrasi.
Ketika berbagai jalur aspirasi formal yang ditempuh tidak membuahkan hasil yang nyata, suara warga pun mulai bergema lebih keras.
Bukan sekadar ingin memisahkan diri atau bergabung dengan wilayah administratif lain, seperti Kota Semarang, melainkan seruan lantang agar kebutuhan mereka diakui dan dipenuhi secara adil.
Ungkapan tersebut mencerminkan bukan hanya kemarahan, tetapi juga keputusasaan terhadap sistem yang selama ini gagal merespons realitas penderitaan mereka.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pada akhirnya muncul pernyataan-pernyataan keras dari masyarakat, seperti keinginan untuk meninggalkan Demak dan bergabung dengan wilayah yang dianggap lebih perhatian.
Ini bukan sekadar ledakan emosional atau sikap reaktif, melainkan ekspresi dari rasa sakit yang telah menumpuk sekian lama. Mereka merasa terasing di wilayah sendiri, seolah tak dianggap dalam perencanaan pembangunan jangka panjang.
Pengen Gabung Kota Semarang?
Kekecewaan warga pun memuncak. Pada 8 Mei 2025, Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWC NU) Kecamatan Sayung mendatangi gedung DPRD Demak untuk menyuarakan keresahan yang telah lama mereka pendam.
Para tokoh dan kiai NU, yang menjadi penghubung suara masyarakat, menyampaikan bahwa banjir rob telah membawa dampak ekonomi dan psikologis yang serius bagi warga.
Dalam pertemuan tersebut, bahkan sempat terlontar pernyataan emosional dari perwakilan warga Sriwulan Sayung: “Jika Pemerintah Daerah tak mampu menanggulangi rob, maka mereka siap “menjadi warga Semarang” atau “menjual negara Sayung”.
Ucapan tersebut memang terdengar berlebihan bagi sebagian orang. Namun jika kita menilik akar masalahnya, pernyataan itu justru menjadi cermin betapa frustrasinya warga terhadap minimnya perhatian dari pemangku kebijakan.
Aspirasi mereka bukan soal pindah wilayah administratif semata, melainkan tuntutan akan hak dasar: hidup dengan layak, aman, dan bermartabat.
Pernyataan warga untuk “bergabung dengan Semarang” tentu menimbulkan reaksi. Namun jika dicermati, ini adalah bentuk kritik sosial yang sangat tajam.
Langkah Kota Semarang
Di Semarang yang wilayah pesisirnya juga terdampak rob, Pemerintah Kota telah membangun tanggul laut, memperbaiki drainase, dan menjalankan proyek normalisasi sungai secara bertahap.
Masyarakat di sana melihat harapan, sementara warga Sayung melihat dinding ketidakpastian. Warga Sayung tidak meminta fasilitas mewah.
Mereka hanya ingin hidup aman, layak, dan bermartabat hak-hak dasar yang seharusnya dijamin oleh negara.
Ketika tuntutan sederhana ini pun tak kunjung dipenuhi, maka aksi ekstrem menjadi satu-satunya cara untuk menggugah perhatian publik dan pengambil kebijakan.
Banjir rob bukan hanya bencana alam, tapi juga potret kegagalan tata kelola wilayah dan perencanaan pembangunan.
Ketika masyarakat harus menyampaikan aspirasi mereka dengan cara yang ekstrem, hal tersebut merupakan pertanda bahwa sistem komunikasi dan pelayanan publik tidak berjalan dengan baik.
Salah satu kesimpulan penting dari audiensi itu adalah bahwa pembangunan tanggul laut merupakan satu-satunya solusi yang dianggap mampu mengatasi banjir rob secara permanen.
Namun, Pemerintah Kabupaten Demak menyatakan ketidakmampuannya dari sisi anggaran. Proyek sebesar itu dianggap tidak realistis jika hanya mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Demak.
Namun di sinilah letak permasalahannya, koordinasi antara pemerintah daerah, provinsi, dan pusat belum terlihat konkret. Warga tidak bisa terus diminta bersabar tanpa kejelasan.
Ketika harapan semakin kabur, maka wajar bila mereka mencari solusi sendiri meskipun secara administratif itu tidak sederhana.
Sudah saatnya pemerintah Kabupaten Demak berhenti menjadikan keterbatasan anggaran sebagai alasan pasif.
Pemerintah Kabupaten harus proaktif menggandeng Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan pemerintah pusat untuk mengusulkan proyek tanggul laut sebagai bagian dari agenda prioritas nasional.
Bukan hanya karena Sayung terdampak, tapi karena hak warga negara untuk hidup aman dan layak harus dijamin, di mana pun mereka tinggal. (Red)
Penulis: Rafika Desylia Athaya Rabani, mahasiswa UIN Walisongo Semarang, tinggal di Kota Semarang