
Oleh : Arief Rahman *)
SUARAMUDA, SEMARANG — Mengawali tulisan ini penulis ingin menyampaikan, Iqbal-Dinda berhasil membuat publik Nusa Tenggara Barat terkesan saat menyampaikan visi misi perdana mereka sebagai pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat.
Retorikanya tentang reformasi birokrasi memikat masyarakat yang memiliki harapan tinggi untuk terwujudnya kemajuan berkelanjutan dalam bingkai NTB Makmur Mendunia.
Rabu, 24 Oktober 2024 malam seusai debat perdana di Mataram, Lalu Muhammad Iqbal mengucapkan secara gamblang, ”Dari semua calon ini kan yang birokrat murni cuma saya dan saya bisa sampai disini karena saya hidup di lingkungan meritokrasi. Jika terpilih saya akan terapkan di provinsi”.
Selain itu, diberbagai kesempatan debat calon dan acara-acara silaturahmi, Iqbal seakan tampak menarasikan secara jelas bahwa pemerintahan yang meritokratik dapat menghasilkan tata kelola yang berlandaskan pada prinsip keadilan, memberikan peluang dan kesempatan bagi ASN yang berkinerja baik dan kompeten untuk menciptakan ekosistem pemerintahan yang baik.
Langkah tersebut digunakan sebagai pernyataan tuntutan profesionalisme bagi pejabat dan ASN dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik.
Tidak berhenti di situ, komitmen tersebut dituangkan dalam visi misi ”NTB Makmur Mendunia” sebagai panduan bagi pemerintahan Nusa Tenggara Barat agar sejalan dengan visi misi daerah, efisiensi anggaran, peningkatan kinerja dan pelayanan publik, pembangunan ekonomi yang berbasis SDM, serta penghargaan kepada ASN yang berprestasi.
Jika bicara tentang meritokrasi, penulis teringat Michael Young dalam The Rise of the Meritocracy (1958) yang menyatakan meritokrasi adalah pengingat bahwa keberhasilan, kekuasaan, dan status sosial dicapai melalui bakat, usaha, kemampuan dan prestasi.
Secara fundamental, ide ini menempatkan keadilan pada individu yang berbakat dan berusaha keras untuk mendapatkan posisi dan pengakuan yang pantas.
Namun sangat disayangkan, setelah lebih dari 100 hari kerja kepemimpinan Iqbal-Dinda, belum terlihat adanya tanda-tanda kesungguhan dalam pelaksanaannya.
Karena itu, sudah saatnya penataan birokrasi yang berlandaskan meritokrasi harus dipahami dengan serius agar janji komunikasi politiknya dapat diwujudkan.
Walaupun pendukung dan simpatisannya selalu mempromosikan keberhasilan reformasi birokrasi Iqbal-Dinda.
Sayangnya, penjelasan mengenai keberhasilan tidak disertai dengan fakta spesifik di lapangan.
Secara sederhana, pentingnya reformasi birokrasi yang berdasarkan meritokrasi masih dianggap sebagai ungkapan kiasan, sekadar pameran retoris hingga saat ini.
Kendati itu, merupakan suatu hal yang wajar jika pemerintahan Iqbal-Dinda dipandang sebagai pemerintahan “Koncoisme yang bertopeng Meritokrasi”.
Reformasi Birokrasi NTB : Meritokrasi
Faktanya, efektif dan efisiensinya roda pemerintahan jika dijalankan oleh aparatur yang berintegritas dan memiliki kompetensi. Senada dengan kebijakan meritokrasi, sebab meritokrasi merupakan langkah strategis yang ditempuh untuk menunjang sistem birokrasi pemerintah agar dapat berjalan secara optimal.
Meritokrasi dapat diterapkan, yakni dengan pengangkatan dan penempatan jabatan-jabatan strategis yang tentunya berdasarkan kompetensi atau kemampuan.
Itu juga menghendaki komitmen pemimpin untuk melalukan reformasi birokrasi secara menyeluruh dengan menerapkan prinsip akuntabilitas, transparansi dalam penempatan jabatan ASN demi tercapainya pemerintahan yang bersih dan baik (Good Governance).
Mengacu pada situs resmi Pemerintah Provinsi NTB, dalam Visi Rencana Pembangunan Daerah 2024-2026 ”Mewujudkan Transformasi Ekonomi Melalui Peningkatan Produktivitas Daerah Menuju Nusa Tenggara Barat sebagai Lokomotif Pertumbuhan Ekonomi Kawasan Regional Bali Nusa Tenggara yang Inklusif dan Berkelanjutan”.
Serta terdapat 7 (tujuh) isu strategis. Pertama, pertumbuhan ekonomi nontambang yang inklusif dan berkelanjutan. Kedua, Pendidikan, kesehatan, dan kompetensi SDM yang berkualitas. Ketiga, Pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim.
Keempat, Kemiskinan, ketimpangan, dan kesempatan kerja. Kelima, Tata kelola pemerintahan dan reformasi birokrasi. Keenam, Aksi lokal untuk pembangunan berkelanjutan dan ketujuh, Keunggulan kompetitif daerah.
Visi misi NTB Makmur Mendunia dianggap sangat mengesankan. Namun, tetap memerlukan pengembangan di berbagai sektor yang dapat mengejar semua ketertinggalan, demi kemajuan yang berkelanjutan.
Usaha semacam itu perlu didorong dan memerlukan peningkatan yang substansial. Salah satu contohnya adalah penerapan meritokrasi, yang sejalan dengan visi NTB Makmur Mendunia yang bertujuan melakukan reformasi birokrasi, seharusnya diterapkan untuk menempatkan pejabat dan ASN yang berkualitas serta kompeten sesuai dengan bidang keahlian.
Masyarakat mengingat dan menuntut janji yang pernah diucapkan. Sungguh merupakan sebuah keharusan untuk menuntut, karena di NTB posisi birokrasi seringkali diberikan bukan karena kemampuan dan prestasi, tetapi lebih karena hubungan dan koneksi.
Mungkin saatnya NTB merevitalisasi peta jalur kemajuan, melalui pintu utama yang disebut kapabilitas dan mutu. Kita menyadari bahwa Nusa Tenggara Barat dengan karakteristik geografi dan sosial yang unik membutuhkan pemikiran kreatif untuk mengatasi tantangan pembangunan.
Maka, pemerintah daerah hendaknya mempertahankan prinsip meritokrasi dalam proses perekrutan dan promosi, serta membuka peluang bagi gagasan-gagasan cemerlang dari semua level birokrasi.
Dengan cara ini, birokrasi tidak hanya efektif, tetapi juga peka terhadap tuntutan masyarakat untuk memajukan Nusa Tenggara Barat.
NTB Ala Iqbal-Dinda : Meritokrasi VS Koncoisme
Dalam hal penetapan posisi atau jabatan, meritokrasi dan koncoisme menunjukkan konflik. Keduanya sangat berbeda, sistem meritokrasi mengukur sesuai kemampuan, prestasi dan integritas, sedangkan koncoisme memprioritaskan kedekatan, loyalitas dan hubungan personal.
Ketimpangan semacam ini mencerminkan ketidakadilan, merusak semangat kerja dan menghalangi kemajuan lembaga akibat penilaian yang subjektif.
Selanjutnya, budaya organisasi yang positif dapat terbentuk ketika roda pemerintahan yang dijalankan dapat terhindar dan lepas dari konflik kepentingan (self interest).
Walaupun meritokrasi sedang ramai diperbincangkan dalam pemerintahan NTB terbaru, praktik koncoisme yang muncul dari waktu ke waktu bisa saja mengancam keberlangsungan meritokrasi.
Seringkali, realitas menunjukkan bahwa kepentingan politik mendominasi, ini dapat merusak sistem demokrasi yang sehat sehingga pengangkatan dan penempatan jabatan-jabatan ASN tidak lagi mengikuti prinsip good governance, dan lebih kepada hubungan koncoisme.
Individu yang berkualitas, berkomitmen dan berdedikasi dibiarkan menunggu di jalur belakang, sementara yang dekat dengan kekuasaan dengan mudahnya duduk nyaman di kursi empuk birokrasi.
Apabila koncoisme menjadi fondasi yang kuat dalam menempatkan individu pada posisi-posisi strategis di lingkungan pemerintahan. Maka ujian kompetensi yang biasanya dilakukan hanya dianggap sebagai formalitas demi memenuhi syarat administrasi negara.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Koncoisme adalah paham yang mengutamakan kawan sebagai mitra kerja.
Dalam perspektif ilmu politik ekonomi, lingkup defenisinya dapat pula diartikan hubungan informal antar mitra kerja baik kawan maupun pejabat yang mengalami ketergantungan pada pemegang kekuasaan.
Kini, fenomena koncoisme semakin jelas dan mengkhawatirkan dalam sistem pemerintahan. Hanya elite yang terhubung dengan penguasa yang pasti memperoleh kekuasaan besar untuk mengendalikan roda pemerintahan.
Ketika posisi kepala daerah hanya dapat diakses oleh individu yang memiliki hubungan atau kedekatan dengan elit politik, maka demokrasi yang sebenarnya tidak akan terwujud dan meritokrasi akan hilang dalam sistem semacam ini.
Kondisi ini menghasilkan eksklusivitas dalam pengisian posisi publik, di mana individu atau ASN yang mungkin memiliki kemampuan dan integritas justru terpinggirkan karena kurangnya koneksi dan sistem meritokrasi akan kalah secara signifikan oleh hubungan koncoisme.
Di Nusa Tenggara Barat, meritokrasi sepertinya masih dianggap sebagai tamu tak diundang diantara kalangan elit. Padahal koncoisme hanya akan menghancurkan sistem pemerintahan dan berujung pada lahirnya masyarakat nekrofilia yang menjadi pengambil kebijakan.
Masyarakat nekrofilia yang muncul akibat koncoisme akan menjadi penyakit birokrasi yang sulit diatasi, hingga good governance hanya sekedar impian dan ilusi semata.
Akhirnya, meritokrasi tersisih oleh kekuatan sistem koncoisme dalam pemerintahan yang mengklaim demokratis dan transparan.
Pada akhirnya harapan untuk mewujudkan masyarakat sejahtera dan pemerintahan yang bersih dari KKN dalam bingkai NTB Makmur Mendunia tentu akan terhambat antrian panjang akibat pemerintahan koncoisme yang telah menyedot sumber daya.
*) Penulis adalah aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Pegiat Literasi Nusa Tenggara Barat