
SUARAMUDA, SEMARANG — Ada satu kebahagiaan kecil yang tidak bisa dibeli dengan promo midnight sale atau diskon di e-commerce : yaitu momen ketika anak Jogja lebih tepatnya anak Kulon Progo liburan ke luar kota dan bisa berkata dengan lega, “Lho, ternyata dunia itu ada juga ya yang tidak se-terik pagi dan sore hari di jalan wates”.
Sebagai warga kabupaten yang konon katanya jauh dari peradaban tapi cukup penting sampai dibangunkan bandara, saya merasa sah untuk menyampaikan satu hal yang mungkin bisa bikin fans garis keras Jogja tersinggung: Jogja itu biasa saja.
Iya, biasa. Tidak seistimewa yang kamu kira. Bahkan kadang bikin ingin kabur kalau bukan karena domisili dan KTP sudah kadung terdaftar di data Disdukcapil.
Kamu kira hidup di Jogja itu seperti hidup di dalam puisi dan lagu? Nggak juga. Saya masih bangun pagi karena suara tetangga nyapu, masih ngeluh kalau listrik padam dan air toren habis, masih pusing jika tetangga menyalakan sound horeg-nya, dan masih mikir dua kali buat beli es kopi susu kalau uang di dompet sisa 20 ribu.
Jogja itu bukan tempat wisata buat kami warga lokal. Ini medan tempur, arena gladiator, tempat hidup yang nyata, bukan feed Instagram dengan filter vintage.
Dan ketika saya merasa bosan lalu pergi ke luar kota meskipun hanya naik bus bumel ‘Sugeng Rahayu’ dan hanya sampai Kebumen rasanya seperti masuk ke dimensi baru.
Jogja yang sudah hampir nihil angkot di sana saya menemukan angkot, logatnya beda, bahkan tukang ciloknya punya gerobak yang lebih ngejreng yang bikin iri tukang cilok di pojok Alun-Alun Wates.
Itu semua jadi bukti bahwa dunia tidak berakhir di tugu atau Nol Kilometer. Bahwa hidup tidak harus selalu pakai embel-embel “istimewa” untuk jadi layak dijalani.
Simbahku Seorang Pelaut
Simbahku seorang pelaut mungkin sah-sah saja jika saya klaim sebagai slogan hidup. Mengingat sebagai anak asli kabupaten arah mata angin adalah harga mati bagi saya.
Ngalor, ngidul, kulon, wetan bukan hanya bahan lucu-lucuan di sosial media. Itu sistem navigasi bawaan yang telah ditanamkan oleh Sang Pencipta sejak lahir.
Bapak saya saja bahkan lebih percaya pada arah angin ketimbang Google Maps. Pernah suatu ketika ketika saya main ke rumah teman di Bumi Priangan, saya mengirimkan pesan “aku di sebelah selatan stasiun ya” teman saya justru membalas “selatan stasiun itu teh sebelah mana?”
Bahkan saat saya pergi ke pulau seberang, saya sampai pusing karena tidak menemukan arah mata angin yang benar. Mau tanya arah ke warga lokal luar kota pun tidak membantu.
Mereka cuma jawab, “Lurus aja mas, mentok belok kanan.” Lurusnya sampai ke mana, Pak? Ke masa depan kah?
Jujur saja sebagai warga yang memiliki KTP daerah istimewa ini saya sedikit kesal apabila di kota saya sendiri mendapati tukang parkir yang mengatakan “kanan apa kiri om?”
Padahal jika dilihat dari pengucapannya dia orang Jogja asli, selain itu jelas kendaraan saya berplat AB, ya begitulah jika cicit cicit cicitnya simbah saya mungkin dulu seorang pelaut.
Kota Adem, Itu Dulu !
Katanya, Jogja dikenal sebagai kota yang tenang, adem, cocok buat menenangkan hati yang resah.
Tapi semenjak plat luar kota menyerang, setiap perempatan sudah penuh dengan suara klakson dari mobil plat luar kota yang bikin telinga merinding seperti dengar lagu dangdut diputar pakai efek remix DJ.
Tentu, tidak semua orang luar menyebalkan, hanya saja … ya, kalau klakson dibunyikan hanya dua detik setelah lampu hijau menyala, kita boleh curiga bahwa pengemudinya tidak sedang “berwisata budaya”, tapi sedang mengimpor gaya berkendara dari ibukota.
Ya nggak bisa dipungkiri, Jogja mungkin kota yang nyaman bagi para pelancong, teman saya yang orang Sumatera saja sudah 6 bulan ini belum bisa move on. Katanya, Jogja punya atmosfer yang beda.
Udaranya beda, orang-orangnya ramah, makanannya murah, dan suasananya selalu menenangkan.
Tapi buat saya yang sudah tinggal 20 tahun di Jogja seperti tidak merasakan perkembangan apapun.
Kota ini terlalu lambat untuk beberapa hal, entah itu pembangunan, gaji yang lambat naiknya, bahkan pergantian Gubernur yang lama juga hihihi.
Bagi saya yang sudah tinggal 20 tahun di Jogja, “adem” itu perlahan jadi mitos. Adem bukan cuma soal suhu atau pepohonan rindang, tapi juga tentang rasa aman, rasa damai, dan ritme hidup yang slow.
Sayangnya, semua itu sekarang mulai terkikis. Ademnya Jogja kehalang bangunan tinggi yang mulai banyak ditanam investor di wilayah utara Jogja.
Entah sudah beberapa kali saya melihat banyak reklame apartemen yang di obral mulai setengah milyar di Palagan.
Sebetulnya saya tidak anti pembangunan apartemen atau bangunan bertingkat di Jogja karena dapat menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat, tetapi sayangnya pembangunan tersebut tidak berjalan lurus dengan penerangan di ring-road.
Walaupun itu bukan wewenang pengembang, setidaknya pemerintah daerah bisa memperhatikan banyaknya kawasan elit yang dibangun akan menarik jumlah manusia yang akan hadir ke Jogja.
Saya saja yang lewat ring-road di ‘jam setan’ dengan minimnya penerangan di beberapa titik membuat saya merasa seperti masuk di game GTA San Andreas.
Lihat di kaca spion kalau ada orang berboncengan bawa joran saja rasanya sudah seperti diikuti oleh klitih dengan bersenjatakan celurit.
Ironisnya lagi di perempatan ringroad lebih terang lampu reklame dibandingkan lampu jalan.
Liburan, Seperti Bursa Transfer Pemain
Maka tak heran kalau anak Jogja seperti saya justru senang liburan ke luar kota. Meninggalkan Jogja bukan berarti tidak cinta, tapi justru supaya cinta itu tetap ada.
Saya juga butuh ruang bernapas, pengalaman baru, dan tempat yang tidak terlalu mengingatkan saya sejenak pada tugas kuliah yang selalu bertambah, kemacetan, dan suara motor blombongan yang beberapa kali terdengar saat malam.
Setiap saya pergi berlibur yang cukup jauh dari rumah saya selalu berpikir “semoga nanti di Bandung orangnya pada ke Jogja, ya, Allah”.
Walaupun yang berpikiran serupa bukan hanya saya, ada ratusan orang bahkan ribuan di waktu yang sama.
Nyatanya beberapa kali saya pergi ke Bandung dengan kereta baik itu ekonomi hingga eksekutif hampir selalu full seat. Ini seperti bursa transfer pemain sepak bola.
Liburan adalah masa ketika “pemain” dari satu kota pindah sementara ke kota lain, bertukar pengalaman, bertukar suasana. Ada semacam simbiosis mutualisme tidak tertulis yang terus berlangsung tiap musim liburan.
Saya datang ke tempatmu untuk menyegarkan diri, kalian datang ke tempat kami untuk merasa “tenang” yang katanya cuma bisa ditemukan di Jogja.
Saya beli oleh-oleh di Kartika Sari dan menikmati dinginnya jalan Asia-Afrika hingga Braga, kalian antre di ‘gudeg Yu Djum’ sampai menikmati hujan di Malioboro jika hujan turun.
Tapi jangan salah, sebagai warga lokal, saya juga bingung harus menyajikan “apa” dari Jogja untuk pelancong. Karena bagi saya, kalau berada di Tugu itu hanya menunggu bangjo sambil menatap helm dan melihat plat kendaraan orang lain.
Malioboro sudah saya anggap seperti lorong pusat perbelanjaan dengan aksen Jawa. Anehnya, rasa bahagia itu muncul ketika saya bisa merasa jadi “orang luar” di tempat lain.
Ketika saya bisa nyasar di jalanan kota, salah arah saat baca maps, melamun di stasiun atau terminal, atau nanya-nanya jalan ke orang lokal yang gak paham arah mata angin, walaupun ini menjengkelkan tapi saya sadar jika tidak berada di Jogja.
Ada kenikmatan tersendiri saat kita merasa asing. Tidak ada beban untuk tahu, tidak ada tuntutan untuk menjelaskan. Kita hanya pengunjung yang boleh salah, boleh heran, dan boleh kagum. Mungkin perasaan yang sama yang dirasakan oleh pelancong saat di Jogja.
Akhirnya, sejauh-jauhnya kaki melangkah, tetap Jogja yang jadi rumah. Tapi bukan berarti saya tidak boleh pergi.
Justru karena Jogja adalah rumah, maka saya butuh jalan-jalan keluar supaya bisa rindu rumah dan segera kembali “pergilah jauh dari rumah supaya kamu bisa merasakan apa yang orang lain rasakan saat keluar rumah, segeralah pulang supaya kamu bisa merasakan dekapan hangat rumahmu”. (Red)
Oleh: Hafidh Ahya Shabrinda, Mahasiswa Program Studi Bisnis Digital Universitas PGRI Yogyakarta