suaramuda

Fikih Lingkungan, Tambang, dan Tuduhan “Wahabi Ekologis”

Baktiar Hasan, Syuriah PCINU Belgia

Oleh: Baktiar Hasan *)

SUARAMUDA, SEMARANG — Belakangan ini, perdebatan tentang tambang—terutama di kawasan sensitif seperti Raja Ampat—kembali mencuat.

Salah satu pemantik diskursus adalah pernyataan Ulil Abshar Abdalla, tokoh Nahdlatul Ulama yang kini menjabat dalam struktur PBNU.

Dalam salah satu pernyataannya, ia menyebut sebagian aktivis lingkungan sebagai “wahabi lingkungan“, istilah yang memicu perdebatan luas.

suaramuda

Saya pribadi mengenal Mas Ulil secara dekat. Beliau pernah tinggal beberapa hari di rumah saya saat berkunjung ke Belgia, dan kami sempat berdiskusi panjang tentang isu-isu lingkungan dan pertambangan.

Dari diskusi itu, saya tidak mendapatkan kesan bahwa beliau pro terhadap eksploitasi lingkungan yang merusak.

Sebaliknya, beliau menunjukkan kehati-hatian dan menjunjung tinggi prinsip maslahat dan mudharat—pendekatan fikih yang khas dan bijaksana.

Dalam konteks isu lingkungan, pendekatan ini bisa kita sebut sebagai fikih ekologis.

Kritik Ekstrem atau Keseimbangan?

Mas Ulil tidak sedang mencerca aktivisme lingkungan secara keseluruhan.

Istilah “wahabi lingkungan” ia tujukan kepada pendekatan yang dianggap terlalu ideologis, kaku, dan tidak mempertimbangkan kerangka sosial-ekonomi yang lebih luas.

Pendekatan seperti ini, menurut beliau, bisa kontraproduktif dalam menghadirkan solusi yang realistis dan inklusif.

Namun perlu kita sadari pula: kekhawatiran terhadap dampak tambang di wilayah-wilayah seperti Pulau Gag sangat beralasan.

Pulau ini hanya seluas 60–80 km², jauh di bawah ambang batas 2.000 km² sebagaimana disebut dalam UU No. 1/2014.

Menambang di pulau sekecil ini, dengan ekosistem yang rapuh, adalah tindakan berisiko tinggi yang patut ditolak—bukan karena doktrin, tapi karena realitas ekologis dan hukum.

Fikih Ekologis: Menimbang Maslahat dan Mudharat

Tradisi fikih Islam tidak mengenal hukum yang berlaku mutlak tanpa mempertimbangkan konteks. Maka, dalam melihat persoalan tambang, kita harus bertanya:

Apakah manfaat ekonominya sungguh dirasakan masyarakat sekitar?
– Siapa yang menanggung dampak lingkungannya?
– Adakah mekanisme akuntabel untuk mencegah kerusakan?
– Apakah hak-hak masyarakat adat dan lokal dihormati?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu harus menjadi dasar bagi sikap keagamaan dan kebijakan publik.

Pendekatan maslahat-mudharat ini bukan jalan tengah yang kompromistis, tetapi justru metode kritis untuk menimbang dengan adil di tengah kompleksitas.

Keadilan Ekologis adalah Amanat Agama

Sudah saatnya kita mengembangkan fikih lingkungan yang tidak hanya bersandar pada hukum positif atau jargon modern seperti ESG, tapi juga berakar pada maqashid al-syari’ah: perlindungan kehidupan, harta, generasi, dan lingkungan.

Keadilan ekologis adalah bagian dari amanat agama—bukan sekadar isu teknis.

Apa yang disampaikan Mas Ulil mestinya tidak dibaca sebagai dukungan membabi buta pada pertambangan, tetapi sebagai ajakan untuk berpikir lebih tajam, lebih sistematis, dan tidak berhenti pada emosi.

Tentu, istilah yang beliau gunakan bisa diperdebatkan. Namun lebih penting dari istilah adalah bagaimana kita terus membangun kerangka etis, intelektual, dan kebijakan yang berkeadilan—bagi manusia dan bagi alam.

Penutup

Polemik ini membuka peluang bagi kita semua—khususnya warga Nahdliyin—untuk mendorong lahirnya paradigma baru: fikih lingkungan yang kritis dan kontekstual.

Kita tidak hanya butuh suara yang keras dalam menolak tambang, tetapi juga suara yang jernih dalam menyusun strategi keberlanjutan.

Karena bagi kita, merawat bumi bukan hanya amanat ekologis, tetapi juga bagian dari ibadah. (Red)

*) Baktiar Hasan, Syuriah PCINU Belgia

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like
Promo