
Oleh: Ayunda Apriliana Hartini*)
SUARAMUDA, SEMARANG – Feodalisme adalah sistem sosial yang berkembang di masa lalu, di mana orang-orang biasa tunduk pada para pemimpin atau bangsawan yang memiliki kekuasaan.
Saat ini, istilah “feodalisme” sering digunakan untuk menggambarkan hubungan sosial yang kaku, tidak setara, dan menutup ruang bagi kritik atau diskusi.
Dalam konteks pesantren, sebagian masyarakat yang belum pernah menempuh pendidikan pesantren, melihat budaya hormat dan patuh santri kepada kyai sebagai bentuk feodalisme.
Pandangan Feodal Pesantren
Pandangan bahwa pesantren bersifat feodal muncul dari beberapa faktor.
Pertama, struktur tradisional pesantren memang menunjukkan hierarki yang jelas, namun kyai yang dihormati secara luar biasa, baik dalam ucapan maupun tindakan.
Hal ini membuat masyarakat umum melihatnya sebagai feodalisme. Kedua, budaya ta’dzim atau penghormatan kepada guru sangat dijunjung tinggi.
Santri dilarang membantah, harus berbicara dengan sopan, menundukkan badan ketika bertemu, dan patuh terhadap perintah kyai.
Bagi masyarakat umum yang terbiasa dengan sistem pendidikan terbuka, hal ini tampak seperti bentuk ketaatan yang berlebihan.
Ketiga, sistem khidmah, yaitu santri melayani kebutuhan kyai sebagai bagian dari proses pendidikan juga memicu anggapan bahwa santri diperlakukan seperti pelayan.
Hal ini terjadi karena banyak masyarakat yang belum memahami nilai spiritual dan pendidikan di balik tradisi tersebut.
Pandangan dari dalam pesantren sendiri, hubungan antara kyai dan santri tidak dipandang sebagai bentuk penindasan ataupun penyalahgunaan kekuasaan.
Sebaliknya, hal ini dianggap sebagai bagian dari adab dan akhlak dalam menuntut ilmu. Dalam tradisi Islam, guru sangat dihormati karena menjadi perantara dalam menyampaikan ilmu.
Penghormatan kepada guru dianggap mendatangkan keberkahan. Budaya seperti ta’dzim dan khidmah tidak dimaksudkan untuk merendahkan santri, melainkan untuk melatih akhlak, kesabaran, dan kerendahan hati.
Analisis berdasarkan teori konseling multibudaya
1. Teori Integrasi Budaya: Teori ini melihat pentingnya interaksi antarbudaya untuk membangun pemahaman baru.
Menurut Selo Soemardjan, perubahan sosial dan budaya terjadi ketika ada interaksi antara kelompok masyarakat dengan kebudayaan berbeda, yang kemudian membentuk pola baru sebagai hasil integrasi (Soemardjan & Soemardi, 1964).
Hal ini menunjukkan pentingnya pendekatan dialogis dalam menjembatani pemahaman budaya.
2. Teori Kesadaran Budaya: Teori ini menekankan pentingnya mengenali prasangka terhadap budaya lain. Masyarakat perlu menyadari bahwa penilaian mereka terhadap pesantren bisa dipengaruhi oleh standar budaya mereka sendiri.
Kesadaran ini penting agar tidak mudah memberi label negatif terhadap hal yang berbeda.
Soelaeman Soemardi menekankan bahwa kesadaran budaya menjadi dasar dalam menilai praktik sosial secara objektif, agar seseorang tidak terjebak dalam etnosentrisme atau memaksakan nilai sendiri pada budaya lain (Soemardjan & Soemardi, 1964).
3. Teori Konseling Berbasis Keragaman: Pendekatan ini mengajarkan bahwa tidak semua budaya harus mengikuti standar yang sama. Pesantren adalah bagian dari keragaman sistem pendidikan yang harus dihargai.
Menurut Soerjono Soekanto, masyarakat terdiri dari berbagai sistem nilai yang saling berdampingan, dan setiap sistem sosial perlu dilihat dalam konteks norma-norma internalnya sendiri (Soekanto, 1982).
Dalam hal ini, pendekatan konseling berbasis keragaman memungkinkan munculnya pemahaman yang lebih adil terhadap sistem budaya pesantren.
Solusi praktis yang mungkin bisa diterapkan
1. Meningkatkan Kesadaran Budaya: Melalui konseling individu atau kelompok, konselor bisa membantu masyarakat merefleksikan bias budaya mereka dan memahami makna adab di pesantren.
2. Promosi Toleransi dalam Layanan Konseling: Konselor bisa menyisipkan nilai-nilai toleransi dan empati budaya dalam program bimbingan di sekolah atau masyarakat.
3. Transparansi Budaya dari Pihak Pesantren: Pesantren juga dapat lebih terbuka menjelaskan nilai-nilainya kepada publik, misalnya melalui media sosial, kunjungan terbuka, atau penulisan artikel.
Perbedaan budaya sering kali menciptakan pemahaman yang keliru. Pandangan bahwa pesantren bersifat feodal bisa diselaraskan jika semua pihak bersedia memahami dari berbagai sisi.
Dengan pendekatan konseling multibudaya, masyarakat diajak untuk melihat pesantren bukan dari kaca mata prasangka, tetapi sebagai salah satu bentuk pendidikan luhur yang memiliki kekayaan nilai dan tradisi. (Red)
*) Ayunda Apriliana Hartini, mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sebelas Maret, asal Kendal, Jawa Tengah