
Oleh: Novita Hidayani*)
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Beberapa waktu terakhir, Sumatera Barat kembali diguncang kabar yang begitu menyayat hati. Tiga perempuan muda ditemukan tewas dalam kondisi yang sangat nahas.
Bukan hanya kehilangan nyawa, tapi juga martabatnya direnggut secara brutal. Bagi sebagian orang, mungkin ini terdengar seperti satu dari sekian banyak kasus kriminal.
Tapi bagi banyak perempuan, ini adalah mimpi buruk yang terasa amat nyata, bahwa menjadi perempuan, di negeri ini, bisa berarti hidup dalam ketakutan terus-menerus.
Peristiwa ini tidak datang tiba-tiba. Ia bukan petir di siang bolong. Ia lahir dari tanah yang terlalu lama membiarkan kekerasan terjadi dalam diam-dalam bisik-bisik, dalam pembiaran, dalam sistem hukum yang seringkali lambat merespons.
Dan di tengah rasa marah dan sedih itulah, para kader Kopri PMII Kota Padang berdiri. Mereka turun ke jalan, bukan untuk mencari perhatian, tapi karena tak tahan lagi melihat perempuan terus jadi korban.
Aksi mereka sederhana, berdiri tegak di depan kantor gubernur untuk membawa suara-suara yang selama ini nyaris tak terdengar.
Yang mereka suarakan pun bukan tuntutan yang muluk-muluk. Mereka minta perlindungan yang nyata.
Mereka ingin UU TPKS benar-benar dijalankan, bukan hanya jadi dokumen yang dipajang di rak buku kantor dinas.
Mereka minta sistem pendampingan korban yang hadir bukan sekadar lewat prosedur, tapi lewat empati.
Mereka bicara tentang DP3A, tentang penegakan hukum, tentang keberpihakan negara. Tapi lebih dari itu, mereka bicara tentang harapan.
Tentang bagaimana seharusnya perempuan bisa hidup tanpa was-was setiap kali melangkah sendirian.
Karena yang terjadi di Padang Pariaman bukan yang pertama. Dan, kalau kita jujur, mungkin juga bukan yang terakhir jika kita terus diam.
Dalam setahun terakhir saja, sudah beberapa kali kasus serupa muncul di Sumatera Barat. Polanya berulang: perempuan jadi sasaran, pelaku sering tak tertangkap, dan masyarakat kembali lupa setelah media berhenti memberitakan.
Ini bukan kebetulan. Ini tanda bahwa ada yang salah di dasar sistem kita. Bahwa budaya membungkam korban, menyalahkan cara berpakaian, dan mengabaikan trauma masih sangat kuat mencengkeram.
Tak bisa hanya berharap pada satu-dua aksi saja. Butuh kerja kolektif, lintas sektor, dan yang paling penting: butuh keberanian untuk mengubah cara pandang.
Kekerasan terhadap perempuan bukan cuma soal hukum, tapi soal cara kita sebagai masyarakat memandang perempuan itu sendiri.
Selama mereka masih dianggap sebagai pihak yang “harus hati-hati”, bukan pihak yang berhak atas rasa aman, maka masalah ini akan terus berulang.
Kita tak butuh lagi spanduk besar bertuliskan “Stop Kekerasan terhadap Perempuan” jika di belakangnya tak ada sistem yang benar-benar berjalan.
Yang kita butuhkan sekarang adalah keberpihakan yang nyata dalam penegakan hukum, dalam pendidikan, dalam media, bahkan dalam ceramah-ceramah keagamaan.
Di tengah semua itu, aksi Kopri PMII Kota Padang adalah pengingat penting bahwa perempuan tidak tinggal diam.
Bahwa mereka tak akan lagi hanya menunggu dilindungi, tapi akan menuntutnya. Karena rasa aman bukan hadiah. Itu hak yang seharusnya sudah mereka miliki sejak lama. (Red)
*) Novita Hidayani adalah Ketua KOPRI PMII Kota Padang