
SUARAMUDA, SEMARANG – Desa Timbulsloko, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, merupakan salah satu wilayah pesisir di Indonesia yang menjadi saksi nyata dari dampak perubahan iklim dan kerusakan lingkungan.
Wilayah ini tidak hanya berhadapan dengan ancaman rob setiap hari, tetapi juga mengalami penurunan muka tanah yang cukup parah.
Akibat krisis iklim serta dampak dari abrasi, ketinggian air laut yang menyebar desa desa di wilayah pesisir utara Jawa Tengah tenggelam.
Banyak rumah warga kini berada di bawah permukaan air laut, dan sebagian besar aktivitas pertanian serta perikanan lumpuh.
Di tengah kondisi yang mengenaskan ini, masyarakat Desa Timbulsloko tidak tinggal diam
Gerakan Tanam Mangrove
Warga melakukan gerakan penanaman mangrove di wilayah pesisir utara Jawa Tengah sebagai upaya pembenahan atau restorasi lingkungan dan pantai di wilayah setempat menghadapi krisis iklim yang melanda.
Inisiatif ini bukan hanya tentang menanam pohon, tetapi juga tentang menanam harapan.
Sebelumnya warga sudah melakukan pemetaan untuk mengukur kedalaman air rob yang akan ditanami magrove, dan mencari titik-titik tertentu yang menjadikan jalur air laut masuk ke kampung, lalu tempat-tempat tersebut nantinya akan ditanami pohon mangrove.
Hal ini bertujuan agar dapat menahan masuknya air laut dan gelombang air sehingga dapat mencegah abrasi yang akan memperparah keadaan wilayah pesisir.
Mengapa Mangrove?
Mangrove adalah tumbuhan khas pesisir yang memiliki banyak manfaat ekologis. Akar-akarnya yang rapat dan kuat mampu menahan abrasi pantai, mengurangi dampak gelombang air laut, menyaring air, serta menjadi habitat bagi berbagai jenis ikan dan satwa pesisir lainnya.
Di wilayah seperti Timbulsloko yang sudah kehilangan daratan akibat abrasi dan rob, keberadaan mangrove sangat dibutuhkan.
Tanaman jenis ini mampu bertahan dan tumbuh di lingkungan yang tergenang air rob selama puluhan tahun, tergantung pada spesies dan kondisi lingkungan.
Pertumbuhan awalnya stabil dalam 1–3 tahun setelah penanaman, dengan akar yang mulai menguat.
Spesies seperti Rhizophora mucronata dapat hidup lebih dari 30 tahun di wilayah pasang surut. Selain bertahan di atas air rob, mangrove juga berperan penting dalam meredam dampak rob dan menstabilkan garis pantai mangrove bisa tumbuh.
Penanaman mangrove di desa ini bertujuan untuk memperkuat garis pantai dan mengurangi laju abrasi yang terus menggerus daratan.
Tidak hanya itu, mangrove juga berfungsi sebagai penyerap karbon yang efektif, sehingga bisa berkontribusi dalam upaya penanggulangan perubahan iklim global.
Menanam mangrove berarti membangun pertahanan alami bagi desa yang selama ini berada di garis depan bencana ekologis.
Gotong-royong Warga
Salah satu hal yang patut diapresiasi dari penanaman mangrove di Timbulsloko adalah keterlibatan masyarakat.
Banyak warga yang secara mandiri dan gotong royong menanam mangrove di lahan-lahan yang sudah tidak bisa digunakan lagi untuk bertani atau betambak.
Mereka sadar bahwa lingkungan yang rusak tidak akan bisa memperbaiki dirinya sendiri, dan dibutuhkan upaya bersama untuk memulihkannya.
Bersama organisasi masyarakat dan pendamping dari lembaga swadaya masyarakat, mereka melakukan penyemaian bibit, menanam, serta merawat pohon-pohon mangrove hingga tumbuh kuat.
Ini menunjukkan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari komunitas kecil jika ada kesadaran dan semangat gotong royong.
Tantangan di Lapangan
Meskipun semangat warga sangat besar, penanaman mangrove di Timbulsloko tidak lepas dari berbagai tantangan.
Salah satunya adalah kondisi geografis dan ekologis desa yang sangat ekstrem. Banyak lokasi penanaman yang tergenang rob setiap hari, sehingga sulit bagi bibit mangrove untuk bertahan hidup.
Kurangnya pengetahuan teknis tentang jenis mangrove yang cocok, teknik penanaman yang tepat, serta waktu tanam yang ideal sering kali membuat upaya ini tidak membuahkan hasil maksimal.
Perlunya Dukungan Stakeholders
Oleh karena itu, dibutuhkan dukungan dari berbagai pihak, terutama pemerintah, akademisi, dan lembaga non-pemerintah.
Pemerintah harus hadir bukan hanya sebagai penyumbang dana, tetapi juga sebagai fasilitator kebijakan yang mendukung keberlanjutan lingkungan.
Penanaman mangrove sebetulnya bisa menjadi lebih dari sekadar upaya penyelamatan lingkungan.
Ia bisa dikembangkan menjadi sumber ekonomi baru bagi warga. Ekowisata mangrove, misalnya, bisa menjadi alternatif pendapatan dengan menghadirkan wisatawan yang ingin melihat langsung keindahan dan keunikan kawasan pesisir.
Produk olahan dari hutan mangrove seperti sirup buah pedada, batik mangrove, hingga madu mangrove juga bisa dikembangkan sebagai produk khas lokal.
Untuk itu, perlu adanya pembinaan dan bantuan modal usaha kepada masyarakat. Pemerintah daerah dapat memfasilitasi pelatihan keterampilan, promosi produk, dan pemasaran digital untuk membuka akses pasar yang lebih luas.
Dengan demikian, hutan mangrove tidak hanya menjadi benteng alam, tetapi juga tumpuan ekonomi baru bagi masyarakat yang terdampak bencana.
Namun penting juga untuk diingat bahwa penanaman mangrove bukanlah solusi tunggal untuk mengatasi rob di Timbulsloko.
Permasalahan rob yang terjadi di desa ini bersifat kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti penurunan muka tanah akibat ekstraksi air tanah yang berlebihan, kenaikan permukaan laut global, serta tata kelola pesisir yang buruk. Oleh karena itu, solusi harus bersifat menyeluruh.
Langkah-langkah seperti pembangunan tanggul laut yang ramah lingkungan, pengendalian pemanfaatan air tanah, serta relokasi sukarela bagi warga yang tinggal di zona paling rawan perlu dipertimbangkan.
Semua kebijakan ini harus dirancang secara partisipatif, dengan mengutamakan keselamatan dan kesejahteraan warga. (Red)
Penulis: Aulia Putri Maharani, mahasiswa Sosiologi UIN Walisongo Semarang