
Oleh: Afison Salak *)
SUARAMUDA, SEMARANG — Unesco (dalam Purwati, 2017) menjabarkan literasi sebagai wujud dari keterampilan yang secara nyata, yang secara spesifik adalah keterampilan kognitif dari membaca serta menulis—yang terlepas dari konteks di mana keterampilan itu diperoleh dari siapa serta cara memperolehnya.
Literasi diartikan sebagai ‘melek’ huruf, kemampuan membaca dan menulis, kemelekwacanaan atau kecakapan dalam membaca dan menulis.
Pengertian literasi berdasarkan konteks pengunaannya merupakan integrase keterampilan menulis, membaca, dan berpikir kritis (Purwati, 2017).
Gee (dalam Chairunnisa, 2018) mengartikan literasi dari sudut pandang kewacanaan, menyatakan bahwa literasi adalah “mastery of, or fluent control over, a secondary discourse”.
Gee menjelaskan bahwa literasi adalah suatu keterampilan dari seseorang melalui kegiatan berpikir, membaca, menulis, dan berbicara (Chairunnisa, 2018).
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa literasi merupakan proses pembelajaran yang dilakukan secara komprehensif untuk mengidentifikasi, memahami informasi, berkomunikasi, dan menghitung menggunakan bahan cetak dan tertulis dengan berbagai konteks.
Literasi di Pedalaman Papua
Perapkan literasi di pedalaman Papua menjadi amat penting. Hal ini agar masyarakat dapat mengakses pengetahuan, pengalaman, dan cara membaca.
Apalagi kemampuan menulis mereka yang masih kurang, sehingga mereka layak untuk mendapatkannya.
Untuk hidup dan berkembang sesuai dengan perkembangan yang sangat pesat sudah terjadi dan bisa menjadi contoh penerapan literasi bagi generasi penerus untuk masa depan.
Tetapi di daerah pegunungan Papua, misalnya yang terjadi di Kabupaten Yahukimo bagian pedalaman atau pedesaan—literasi masih menjadi suatu hal asing. Masyarakatnya masih belum paham tentang pendidikan literasi.
Giat literasi masih belum bisa diterapkan oleh para guru. Fakta itu disebabkan masih sangat minimnya sumberdaya guru yang mau melaksanakan pembelajaran di wilayah pedalaman.
Model Literasi di Pedalaman Papua
Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan, sekaligus mengundang rasa kepedulian untuk menanamkan literasi di pedalaman.
Dan kepedulian itu harus dilakukan dengan cara anak-anak harus membaca buku bersama guru, serta membaca tentang topik yang ada.
Dalam praktiknya, anak-anak tentu akan merasa lebih tertarik membaca buku-buku visual dan naratif. Buku yang berkenaan dengan kegiatan mereka sehari-hari.
Sehingga literasi yang diperlukan, yakni seperti dengan membuat cerita menjadi bagian dari permainan atau kegiatan kreatif lainnya.
Pendidikan formal memperkuat kurikulum di sekolah dengan memasukkan kegiatan literasi yang fokus pada membaca, menulis, dan dapat mudah dimengerti.
Untuk itu, diperlukan buku-buku cerita bergambar dan buku yang relevan untuk menarik hati anak-anak.
Membaca sesi belajar bersama, dimana anak-anak dapat berkumpul dan mendengarkan cerita dari hasil diskusi kelompok lain menjadi fenomena yang seru dan menarik bagi anak-anak. Ending-nya, mereka akan lebih mudah memahaminya.
Lalu, kegiatan menggambar juga menjadi bagian yang tak kalah menarik. Anak-anak dapat mrngeksplore kemampuan imajinasinya, sekaligus menuangkannya dalam selembat kertas serta mewarnainya.
Usai kegiatan itu, mereview hasil menggambar anak, serta mengajaknya menulis kembali menjadi sangat penting.
Terlebih, guru mengajak mereka berdiskusi; bertanya tentang diri mereka atau cita- cita mereka, mengajak mereka untuk berani berbicara.
Pentingnya Menerapkan Literasi
Kepedulian untuk menerapkan literasi bagi anak-anak Papua yang berada di pedalaman sangat begitu berarti.
Apalagi mereka sangat membutuhkan ‘asupan’ literasi bagi pengembangan diri di masa depan.
Terutama pendidikan bagi anak usia dini (PAUD, TK dan SD), orang tua sebagai guru utama bagi sang anak harus memberikan pemahaman literasi baik di pagi atau sore hari—saat anaknya bermain dan belajar bersama.
Meningkatkan kemampuan literasi di tingkat anak-anak itu bukan hanya mencoba kemampuan anak atau cara menulis saja tapi harus mencoba kemampuannya sampai dimana itu perlu diuji. Anak-anak yang usia dini bisa tahu cara membaca, bisa tahu cara menulis.
Penerapan literasi sebagai bentuk kepedulian bagi anak-anak menjadi sangat penting. Karena, apa yang tidak tahu alhirnya menjadi tahu kerena pendidikan.
Untuk itulah, pendidikan dari orang tua, guru maupun di luar dari sekolah menjadi sangat berarti.
Perlu diketahui, pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam membantu orang mengerti dan memahami berbagai hal.
Melalui literasi pendidikan bisa meningkatakan pengetahuan pengalaman tentang berbagai subjek, mengembangkan kemampuan, perpikir kritis dan meningkatkan kemampuan.
Cara Belajar Literasi pada Anak Papua
Terdapat dua cara utama untuk belajar literasi pada tingkat anak-anak. Pertama, belajar literasi melalui pembelajaran formal yakni dengan membaca buku teks, buku cerita, menulis, mengarang, dan berlatih membaca.
Kedua, belajar literasi melalui pengalaman sehari-hari, seperti dengan membaca label tanda di rumah maupun di luar.
Cara itu merupakan bagian dari edukasi, proses mengajar yang dirancang untuk meningkatkan pengalaman dan pengetahuan, pendidikan formal, pendidikan non formal dan pendidikan informal, di daerah pedalaman Papua.
Hematnya, penerapan model literasi dengan cara memilih cerita yang sesuai dengan usia dan minat anak-anak menjadi sangat penting.
Hal itu karena dengan cerita yang menarik maka sesuatu menjadi mudah dipahami dan anak-anak tentu tertarik untuk menyimak.
Agar mereka bisa berlatih berpikir, seyogiyanya guru mengajak berdiskusi pada suatu cerita.
Dan dari diskusi itulah anak-anak akan menjadi lebih paham dan daya nalarnya mulai terbangun. (Red)
*) Afison Salak, adalah mahasiswa Manajemen Pendidikan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Cenderawasih
**) Artikel ini disusun untuk memenuhi tugas kuliah dan bukan menjadi tanggung jawab redaksi