promo

Pemungut Cukai dalam Kitab Suci: Antara Stigma Masyarakat dan Kasih Allah

Mario Oktavianus Magul, Mahasiswa Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Oleh: Mario Oktavianus Magul *)

SUARAMUDA, SEMARANG – Berbicara soal Kitab Suci, tentu kita berbicara pula soal profesi atau status. Ada begitu banyak status dan profesi yang terlintas dalam benak kita, tatkala kita mendengar, membaca, atau pun merenungkan secara saksama keseluruhan narasi yang tertulis di dalamnya.

Penulis meyakini bahwa keberadaan seluruh profesi atau status itu, sesungguhnya bukan hanya sekedar nama. Adanya mereka memiliki suatu maksud atau makna yang lebih dari sekedar nama, status, dan profesi mereka sendiri.

Dalam hal ini, mereka adalah perantara yang dipilih Allah untuk menampakkan kepada dunia seluruh kesaksian tentang-Nya dalam sejarah bangsa Israel yang berpuncak dalam diri Yesus Kristus.

Promo

Baik perjanjian lama maupun perjanjian baru, semua narasi biblis itu sejatinya hendak menggarisbawahi satu hal mendasar bahwa Allah-lah yang pertama-tama berinisiatif mewahyukan dirinya kepada manusia.

Pewahyuan (baca: pernyataan) diri Allah itu terjadi melalui setiap perbuatan dan perkataan-Nya. Dengan demikian, tidak mengherankan, jikalau dari pihak manusia dituntut sebuah respon atau jawaban atas pewahyuan-Nya.

Dalam konteks inilah, penulis melihat bahwa keberadaan manusia dengan pelbagai status dan profesi yang ada dalam Kitab Suci ini, dapat dilihat dan dimaknai sebagai wujud konkret tanggapan mereka atas kebaikan Allah yang telah terlebih dahulu mewahyukan diri-Nya.

Tanggapan manusia yang secara eksplisit tersamar dibalik profesi/status itu tentu memiliki karakter dan kekhasannya sendiri.

Oleh karena itu, dalam tulisan sederhana ini penulis mencoba untuk memfokuskan titik permenungan dan pembahasannya pada salah satu profesi atau status dalam Kitab Suci Perjanjian Baru (KSPB), yakni”pemungut cukai”.

Penulis merasa sangat tertarik untuk membahas figur ini, karena ia memiliki peranan yang urgent dalam ranah dunia perjanjian baru.

Kehadirannya di dalam narasi biblis, hemat penulis dapat menjadi tanda bahwa ada sesuatu yang hendak disampaikan Allah dan penulis Kitab Suci melalui keberadaan mereka.

Pemungut Cukai dalam Terang Perspektif Kitab Suci Perjanjian Baru (KSPB)

Tatkala penulis membaca narasi biblis yang tertuang dalam KSPB, rasa-rasanya frasa “pemungut cukai” telah menjadi salah satu status atau profesi yang akrab terlintas dalam benakku.

Segala sesuatu yang tertulis tentang status ini, hemat penulis telah mendapat kejelasannya dalam perspektif dunia perjanjian baru.

Dalam konteks itu, pemungut cukai adalah salah satu figur yang dominan muncul dalam narasi Injil. Hal itu terbukti dari balutan kisah kasih yang terjalin di antara pribadi Yesus Kristus dan para pemungut cukai; juga di antara pribadi mereka dan masyarakat yahudi pada umumnya.

Senada dengan hal itu, Yesus dalam pelbagai perjalanan apostolik-Nya, acapkali menjadikan mereka sebagai target atau objek sasaran dari seluruh karya karitatif-Nya.

Tak mengherankan, jikalau karya pelayanan Yesus pada akhirnya telah menjadikan Matias (seorang pemungut cukai) sebagai bagian dari bilangan para rasul-Nya (Bdk. Mat 9:9-13) dan Zakheus sebagai pribadi yang mengalami transformasi diri pasca berjumpa dengan-Nya. (Bdk. Luk 19:1-10)

Kedua contoh ini sejatinya hanyalah sebuah potret kecil dari banyaknya narasi biblis yang melukiskan relasi anatara Yesus dan mereka.

Tak terlepas dari hal di atas, kita pun juga dapat menemukan suatu realitas lain dalam konsep relasi yang terjalin di antara para pemungut cukai dan orang-orang Yahudi.

Dalam perspektif budaya orang Yahudi saat itu, para pemungut cukai biasanya dianggap sebagai orang yang bekerja untuk pemerintahan Romawi dan dikenal oleh karena praktik pemungutan pajak yang tidak adil dan koruptif.

Kecenderungan negatif untuk selalu mencari keuntungan pribadi, lambat laun terus mendorong mereka untuk bertindak curang dan manipulatif.

Mereka memungut pajak lebih dari jumlah yang seharusnya, dan mereka juga memanfaatkan profesi hanya untuk memperkaya diri dengan cara yang tidak adil.

Alhasil, rakyat kecil menderita dan secara tidak langsung turut menjadi korbannya. Persis, disinilah kita dapat menemukan sejumlah alasan fundamental – yang menjadi cikal bakal munculnya rasa benci masyarakat umum terhadap para pemungut cukai.

Mereka tidak hanya dianggap sebagai pelanggar moral dan etika, tetapi juga sebagai orang berdosa atau terasing dalam masyarakat Yahudi.

Diferensiasi Pandangan Mengenai Status “Pemungut Cukai”

Dalam dunia perjanjian baru, perbincangan soal profesi atau status sebagai seorang pemungut cukai, sejatinya selalu menuai pelbagai pandangan yang beragam; baik dari kalangan masyarakat Yahudi pada umumnya, maupun dari pribadi Yesus Kristus khususnya.

Berkenaan dengan hal ini, penulis mencoba melihat diferensiasi pandangan yang terjadi dalam terang perspektif historis tradisi orang-orang Yahudi dan pendasaran biblis.

Kedua perspektif ini pada hakikatnya menampilkan sebuah definisi pemahaman yang berbeda dan saling bertentangan perihal status “pemungut cukai”.

Bercermin dari tradisi orang-orang Yahudi, penulis dapat mengetahui bahwa mereka yang termasuk dalam kelompok “pemungut cukai’ ini, acapkali dipandang sebagai orang yang berkelakuan “tidak baik”.

Pandangan semacam ini tentu tidak muncul begitu saja. Ada begitu banyak hal lain yang melatarbelakanginya. Dalam konteks yang terjadi saat itu, profesi sebagai seorang pemungut cukai adalah sebuah profesi yang dibenci oleh kalangan Yahudi.

Hal ini disebabkan karena adanya praktik penjajahan yang dilakukan oleh bangsa Romawi kepada kelompok Yahudi. Alih-alih mereka (kelompok Yahudi) dijajah, para pemungut cukai justru memanfaatkan kesempatan itu untuk menjalin bisnis gelap dengan para “colonizer”.

Mereka membentuk suatu jalinan kerja sama (kolaborasi) diluar pemikiran orang-orang Yahudi pada umumnya, dengan menjadi antek-antek para penguasa Romawi. Mereka ditugaskan untuk menarik pajak kepada sesama orang Yahudi lainnya.

Persis, pada titik inilah kita dapat mengetahui bahwa penghasilan masyarakat Yahudi saat itu diambil secara berlebihan oleh mereka dengan penerapan pelbagai kebijakan yang keliru, seperti pemungutan pajak, pengambilan paksa tanah, pengadaan system pajak untuk Bait Allah dan lain sebagainya (Kevin Samagi, 2024: 7).

Segala bentuk praktik negatif ini, alhasil membuat masyarakat Yahudi lainnya menaruh stigma negatif kepada Romawi sebagai penjajah dan pemungut cukai sebagai para anteknya (Mello, dkk., 2022: 57-72).

Berbeda halnya dengan perspektif historis dari orang-orang Yahudi saat itu, Yesus dalam pelbagai narasi biblis-Nya justru memiliki pemahaman yang berbeda tentang status “pemungut cukai”.

Bagi-Nya, mereka yang termasuk dalam status ini adalah orang-orang yang sama seperti manusia pada umumnya; yang membutuhkan bantuan dan jamahan tangan kasih Tuhan. Dalam hal ini, Yesus tidak menggunakan kaca mata orang-orang Yahudi untuk melihat arti dari keberadaan para pemungut cukai.

Sebaliknya, ia menggunakan prinsip egalitarianisme sebagai tindakan karitatifnya dalam menjalin hubungan relasional dengan mereka.

Menurut Eko SaputraSaputra (2020: 101 dan 31) hal ini dilakukan oleh Yesus karena pada dasarnya Yesus adalah pribadi yang menunjukkan figur yang bersahabat bagi orang-orang yang dipandang rendah di tengah masyarakat.

Prinsip egalitarianisme yang ditunjukkan oleh Yesus dalam persahabatan-Nya dengan mereka dapat kita lihat secara gamblang dalam Lukas 7:34.

Di sana dituliskan bahwa “Kemudian Anak Manusia datang, Ia makan dan minum, dan kamu berkata ”Lihatlah, Ia seorang pelahap dan peminum, sahabat pemungut cukai dan orang berdosa.”

Aktivitas makan dan minum bersama para pemungut cukai dan orang berdosa inilah yang kemudian disebut oleh Crabbe sebagai “friendship-making”, di mana Yesus hadir untuk membangun relasi yang erat dengan orang-orang yang terpinggirkan (Saputra, t.thn., 121).

Ia hadir bukan untuk menghakimi, melainkan melayani dan membawa mereka untuk sampai pada keselamatan kekal.

Dengan demikian, berkaca dari penjelasan di atas, penulis dapat memahami bahwa keberadaan para pemungut cukai sejatinya memiliki dua pendangan dan penilaian yang berbeda dari kedua perspektif yang ada.

Alih-alih orang-orang Yahudi memandang mereka sebagai orang hina dan berdosa, Yesus justru melihat mereka dalam sudut pandang yang lebih positif, sebagai pribadi yang memiliki arti dan makna yang lebih dari sekadar status ataupun jabatan mereka.

Kedua perspektif inilah yang kemudian hemat penulis memunculkan diferensiasi pandangan perihal status “pemungut cukai.”

Catatan Penutup

Perbincangan seputar status pemungut cukai sejatinya menjadi sebuah topik yang menarik untuk didiskusikan. Pasalnya, perbedaan pandangan yang terjadi mengenai keberadaan mereka; baik dari perspektif historis (tradisi orang Yahudi), maupun dari perspektif biblis (pandanganYesus) menjadi suatu kekayaan tersendiri yang perlu digali dan diketahui oleh setiap orang.

Dengan demikian, tidaklah salah jikalau seusai mendalami topik seputar figur ini dalam pelbagai sudut pandang (perspektif) yang ada, penulis dapat mengambil sebuah kesimpulan sederhana – bahwa karya keselamatan Allah itu bersifat universal.

Dengan kata lain, keselamatan itu diperuntukkan bagi semua orang, dan tak terbatas pada satu lapisan, strata, status, ataupun profesi tertentu.

Apapun jenis identitas yang melekat dalam diri mereka, semuanya tetap memiliki porsi dan kesempatan yang sama untuk memperoleh rahmat keselamatan yang dijanjikan oleh-Nya.

Kendati pandangan mengenai keberadaan para pemungut cukai memiliki pelbagai perbedaan, mereka sesungguhnya tetap menjadi bagian yang sama dari umat Allah.

Dengan demikian, mereka juga perlu dihargai, dihormati, dan diperlakukan sebagaimana mestinya. (Red)

*) Mario Oktavianus Magul, Mahasiswa Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like
Promo