promo

Konflik Sengketa Tanah: Masyarakat Adat Vs Pemerintah

Ilustrasi (sumber: pinterest)

SUARAMUDA, SEMARANG – Banyak hal beredar mengenai konflik permasalahan sengketa tanah adat yang menjadi suatu isu hangat akhir-akhir ini, hak-hak atas tanah yang dimiliki oleh masyarakat adat sering kali menghadapi problematika yang menjadikan tanah tersebut bias tuan-nya.

Hal seperti ini menjadikan banyak pertanyaan yang muncul dari masyarakat bagaimana sebenarnya hak-hak masyarakat adat terhadap tanah yang mereka duduki selama ini?

Bahkan ada kalanya dimana mereka kerap kali berseteru dan bergesekan dengan pemerintah yang ingin mengalihfungsikan tanah mereka menjadi aset baru untuk kepentingan negara dan dianggap penting sehingga dapat menguntungkan serta menunjang ekonomi negara untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.

Lantas bagaimana hak-hak masyarakat adat ini dapat dipertahankan?

Promo

Latar Belakang Munculnya Konflik Antara Masyarakat adat dengan Pemerintah

Sengketa tanah ini dapat muncul dikarekanan adanya gesekan yang timbul dikarenakan adanya klaim kepimilikan tanah ulayat yang mana masyarakat adat telah memiliki klaim yang kuat atas tanah yang mereka duduki secara turun temurun.

Tak hanya mengantongi nilai ekonomis namun juga memiliki nilai budaya dan juga historis yang sangat dijaga dan dilindungi oleh masyarakat adat yang menempati suatu wilayah tersebutm

Namun sangat disayangkan terkadang pemerintah mengesampingkan hak-hak masyarakat adat dengan memberikan akses pada perusahaan besar untuk mengelola wilayah tersebu.

Hal ini dikarekanan alasan yang cukup logis bahwa pemerintah ingin mengembangkan wilayah tersebut agar masyarakatnya juga lebih makmur dan sejatera.

Niat baik ini terkadang penyampaiannya salah dan kurang memperhatikan masyarakat adat yang menduduki wilayah tersebut.

Sehingga, muncullah konflik yang membuat perseteruan antara masyarakat adat yang telah lama menduduki wilayah itu dengan pemerintah.

Pemerintah juga kerap kali mengklaim tanah tersebut sebagai “aset negara” atau “kawasan hutan negara” tanpa pengakuan resmi terhadap hak ulayat.

Regulasi seperti Undang-Undang Agraria di banyak negara kerap tidak mengakomodasi sistem kepemilikan adat yang bersifat kolektif sehingga dapat memicu konflik.

Di Indonesia sekitar 70% wilayah adat belum diakui secara hukum. Sementara, proyek-proyek seperti perkebunan sawit, pertambangan, dan infrastruktur sering dilaksanakan di atas tanah yang dianggap tidak memiliki pemilik oleh pemerintah—meskipun tanah tersebut telah lama dihuni dan dikelola oleh masyarakat adat.

Kasus-kasus seperti Suku Anak Dalam di Jambi dan masyarakat adat di Papua menunjukkan bagaimana proyek pembangunan sering mengabaikan hak-hak dasar kelompok-kelompok yang rentan dan tidak ditinjau lebih dalam bagaimana dampak juga resiko yang dihasilkan.

Padahal jika ditelisik lebih jauh, dampaknya bahkan seperti pemberontakan yang akan dilakukan oleh masyarakat adat, hilangnya sumber penghidupan penghasilan masyarakat, dan rusaknya habitat bagi flora fauna atas pembukaan lahan

Di sisi lain, apabila proyek-proyek besar itu tetap dilaksanakan di atas tanah adat, kelestarian dan berbagai keunikan budaya yang menjadi keunikan daripada masyarat adat itu sendiri: sirna!

Kekuatan Hukum Tanah Ulayat

Di banyak negara, pemerintah berpendapat bahwa proyek pembangunan sangat penting untuk meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan nasional.

Namun, dalam pelaksanaannya, prinsip-prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) yang tertuang dalam Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat sering diabaikan.

Bukannya pemerintah melibatkan masyarakat adat untuk mediasi secara terbuka dan menemukan titik temu antara keduanya sehingga tidak timbul konflik.

Akan tetapi, kerap kali yang kita temui pemerintah mengambil tindakan yang menunjukan kesewenang-wenangannya untuk mengambil alih tanah ulayat demi kepentingan nasional.

Di Indonesia, Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Agraria secara resmi mengakui hak ulayat, tetapi dengan syarat tidak bertentangan dengan “kepentingan nasional”.

Sayangnya, kata kiasan ini sering digunakan sebagai alasan untuk merampas tanah ulayat. Sementara itu, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/2012 yang menegaskan bahwa hutan adat tidak lagi dianggap sebagai hutan negara masih belum sepenuhnya diterapkan.

Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 secara resmi mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta tradisi-tradisinya.

Namun, pengakuan ini belum sepenuhnya efektif dalam memperkuat posisi tanah ulayat sebagai kekuatan hukum yang kuat dalam praktik.

Beberapa faktor yang menyebabkan hal ini adalah kurangnya regulasi spesifik untuk melindungi tanah ulayat, tumpang tindih dengan kepentingan lain seperti pembangunan dan ekonomi, serta kurangnya keterlibatan masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi tanah ulayat yang selama ini mereka huni.

Secara keseluruhan, kekuatan hukum tanah ulayat masih memiliki keterbatasan dan sering tidak efektif dalam melindungi hak-hak masyarakat adat dalam praktik sehari-hari.

Pengakuan formal atas hak-hak ini dalam peraturan perundang-undangan belum sepenuhnya diwujudkan dalam tindakan yang adil dan berkeadilan bagi masyarakat adat.

Jalan Keluar untuk Sengketa Tanah Ulayat

Solusi yang memungkinkan untuk menyelesaikan permasalahan sengketa tanah ulayat. Yang pertama, penguatan regulasi yang mengatur hukum adat serta hak-hak masyarakat adat agar lebih terjamin kepastian hukumnya, pengakuan hukum yang kuat akan memberikan rasa aman kepada masyarakat adat dalam mempertahankan hak-hak yang mereka miliki.

Kedua, adanya mediasi juga diperlukan saat wilayah tersebut hendak dialih fungsikan oleh pemerintah untuk pembangunan proyek yang menunjang perekonomian nasional dan kesejaterahan masyarakat.

Sehingga, tidak ada kesalah pahaman dan kedua belah pihak dari masyarakat adat dan pemerintah memiliki jalan tengah untuk keputusan terbaik yang diambil dari hasil mediasi tersebut.

Ketiga penerapan mekanisme FPIC (free, perior, and informed consent) yang mana setiap proyek yang akan dilaksanakan diatas atau diwilayah tanah ulayat wajib melibatkan persetujuan dari masyarakat adat dengan informasi yang harus diberikan secara jelas tampa ada tipu muslihat yang merugikan masyarakat dikemudian hari.

Lalu yang terakhir, dapat melalui penguatan lembaga adat dimana hal ini dapat mendukung masyarakat adat dalam mengelola sumber daya dan menjadi jembatan untuk menyampaikan aspirasi pada pemerintahan. (Red)

Oleh: Aprilia Wulandari

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like
Promo