promo

Ketika Perempuan Dibungkam “Standar Ganda”

Aulia Rinjani Putri, mahasiswa Akuntansi, Universitas Bangka Belitung

Oleh: Aulia Rinjani Putri *)

SUARAMUDA, SEMARANG — Budaya patriarki di Indonesia telah mengakar dalam kehidupan masyarakat dan telah menjadi bagian dari budaya masyarakat itu sendiri.

Contoh nyata dari budaya patriarki adalah standar ganda terhadap perempuan dan laki-laki.

Budaya patriarki selalu memberatkan perempuan dan menguntungkan laki-laki.

Promo

Perempuan dituntut untuk menjaga sikap, pakaian, dan tutur kata, sedangkan laki-laki lebih bebas dan sering dimaklumi bahkan saat mereka melanggar norma yang ada.

Ironisnya, ketika terjadi kasus kekerasan atau pelecehan seksual, masyarakat lebih menyoroti korban perempuan—mengkritik pakaiannya, atau menuduhnya sebagai pemicu masalah.

Fenomena yang mencerminkan hal ini dan paling sering terjadi di masyarakat adalah pelecehan verbal berupa catcalling.

Catcalling dilakukan dengan ekspresi verbal seperti bersiul, memanggil dengan kata-kata bernada menggoda, atau memberikan komentar seksual secara terang-terangan.

Masyarakat menganggap hal ini hal yang biasa dan merupakan candaan semata. Tapi, bagi korban, khususnya perempuan yang kerap mengalami catcalling, ia merasa tidak nyaman dan dalam beberapa kasus mengalami trauma.

Saat dilaporkan, korban bukannya mendapat dukungan, ia justru mendapat komentar negatif: “pasti pakaiannya terbuka”, “itu pujian bahwa kamu itu cantik.”

Pelaku malah seakan dibela oleh sebagian orang—dan jika dibiarkan, kasus serupa akan terus terulang.

Ini adalah contoh nyata bagaimana perempuan bukan hanya menjadi korban pelecehan seksual, tapi juga korban penghakiman sosial.

Standar ganda ini berakar dari pola pikir patriarki yang telah lama melekat dalam budaya kita.

Perempuan dianggap sebagai simbol kehormatan yang harus selalu dijaga, sementara laki-laki dibiarkan untuk bersikap dominan bahkan saat melanggar norma dianggap sebagai hal yang wajar.

Sejak kecil, anak perempuan diajarkan untuk patuh, sopan, dan menjaga diri, sedangkan anak laki-laki lebih bebas berekspresi dengan dalih “anak cowok memang begitu”.

Pandangan seperti ini akhirnya membentuk masyarakat yang tidak adil dalam memperlakukan keduanya dengan setara.

Bukan hanya dalam kasus pelecehan seksual, dalam dunia sosial pun perbedaan perlakuan ini terlihat jelas.

Laki-laki yang sering berganti pasangan dianggap “jagoan” atau “playboy”, sementara perempuan dengan pengalaman serupa justru dicap negatif dan dijuluki dengan kata-kata merendahkan.

Dalam dunia kerja maupun dunia akademik, perempuan yang bersikap tegas sering dianggap emosional, keras kepala, atau sulit diajak kerja sama.

Namun laki-laki dengan sikap serupa malah dipuji dan dianggap sebagai pemimpin yang kuat dan visioner.

Lebih parah lagi, perempuan yang menyuarakan ketidakadilan ini pun kerap dicap berlebihan, terlalu sensitif, atau bahkan dianggap sebagai ancaman bagi budaya patriarki yang telah.

Padahal, menyuarakan ketimpangan bukanlah bentuk pemberontakan, tetapi upaya untuk mendorong perubahan menuju masyarakat yang lebih adil dan setara.

Kita harus menyadari bahwa ketimpangan ini bukan hanya berdampak buruk bagi perempuan, tetapi juga bagi laki-laki.

Ketika masyarakat menuntut laki-laki untuk selalu kuat, dominan, dan tidak boleh menunjukkan emosi, mereka juga kehilangan ruang untuk menjadi manusia seutuhnya yang bebas berekspresi dan berempati.

Sudah saatnya kita merubah budaya patriarki yang telah mengakar ini. Pendidikan sejak dini harus mengajarkan nilai kesetaraan, bukan hanya soal hak, tapi juga soal tanggung jawab dan empati.

Media dan institusi pun perlu berhenti menyebarkan narasi yang menyalahkan korban dan mulai menyoroti pelaku.

Guru, orang tua, dan pemimpin masyarakat harus menjadi contoh dalam memperlakukan semua orang dengan setara, tanpa memandang gender.

Jika kita ingin menciptakan masyarakat yang adil dan setara, maka kita harus berhenti menerapkan standar ganda. Perempuan dan laki-laki harus diperlakukan dengan adil dan manusiawi.

Keadilan gender bukanlah ancaman bagi budaya, tetapi langkah maju menuju masyarakat yang lebih beradab dan berkeadilan. (Red)

*) Aulia Rinjani Putri, mahasiswa Akuntansi, Universitas Bangka Belitung
**) Artikel ini disusun untuk memenuhi tugas kuliah, isi dan pesan dalam artikel bukan menjadi tanggung jawab redaksi

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like
Promo