
Oleh: Nashrul Mu’minin*)
SUARAMUDA, SEMARANG — Di tengah gemuruh revolusi pendidikan Indonesia tahun 2025, posisi guru berada dalam pusaran perubahan paling paradoksal.
Data Kementerian Pendidikan menunjukkan 73% sekolah negeri kini mengadopsi sistem “kelas tanpa hierarki”, di mana meja guru tak lagi berada di podium tinggi, melainkan menyatu dengan lingkaran duduk siswa.
Namun survei Litbang Kompas justru mengungkap 68% guru merasa beban tanggung jawab mereka meningkat tiga kali lipat sejak diterapkannya Kurikulum Merdeka Versi 3.0.
“Kami dituntut menjadi fasilitator, psikolog, sekaligus content creator digital, tapi penghargaan terhadap otoritas keilmuan kami justru menguap,” keluh Siti Rahayu, guru SMP Negeri 15 Yogyakarta yang telah 20 tahun mengabdi.
Fenomena ini mengingatkan kita pada firman Allah:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadalah: 11).
Ayat ini seharusnya menjadi pondasi relasi guru-murid, tetapi realitas 2025 justru mempertontonkan ironi: di saat gelar “guru inklusif” digaungkan, 60% kasus kekerasan verbal terhadap guru dilaporkan berasal dari orang tua murid yang menuntut penilaian akademik tanpa memperhatikan proses pembelajaran.
“Seorang ibu mengancam melaporkan saya ke Komnas HAM karena memberi tugas proyek kelompok yang dianggap membebani anaknya,” kisar Ahmad Faisal, guru honorer di Kabupaten Sleman yang gajinya masih berkisar Rp1,8 juta per bulan.
Padahal Rasulullah ﷺ telah mengingatkan:
مَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللَّهَ
“Barangsiapa tidak bersyukur kepada manusia, ia tidak bersyukur kepada Allah.” (HR. Tirmidzi).
Tahun 2025 juga mencatat eksodus massal guru senior. Sebanyak 12.000 guru PNS mengajukan pensiun dini—angka tertinggi dalam sejarah—sementara Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) melaporkan penurunan 40% minat mahasiswa baru pada jurusan kependidikan.
“Generasi Z lebih memilih menjadi YouTuber edukasi daripada guru karena masalah gaji dan citra sosial,” papar Dr. Alamsyah dari UNY. Ini bertolak belakang dengan sabda Nabi:
إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ وَإِنَّمَا الْحِلْمُ بِالتَّحَلُّمِ
“Sesungguhnya ilmu diperoleh dengan belajar, dan kesantunan diperoleh dengan latihan.” (HR. Dailami).
Di tengah krisis ini, gerakan “Guru Menggugat” yang dimotori oleh para pendidik muda justru membawa angin segar.
Mereka mendirikan “Sekolah Bawah Tanah“—ruang belajar alternatif di 15 kota yang mengembalikan guru pada khittahnya sebagai ulul albab (QS. Ali Imran: 190-191).
“Kami mengajar tanpa kurikulum baku, tapi dengan konsep tafakkur alam dan problem-based learning,” jelas Dian Sastrowardoyo, koordinator gerakan yang juga mantan guru tetap di Jakarta.
Allah berfirman:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
“Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan.” (QS. Al-Alaq: 1).
Ayat pertama yang turun ini mengisyaratkan bahwa pendidikan harus kembali pada tauhid—guru bukan sekadar profesi, melainkan pelaksana misi kenabian.
Tahun 2025 mungkin telah mengaburkan hierarki tradisional, tetapi justru membuka jalan bagi guru sejati yang berani seperti Khidir—mengajar dengan hikmah meski di luar struktur formal (QS. Al-Kahfi: 65-82).
Ketika dunia pendidikan gamang antara tuntutan inklusivitas dan esensi pembelajaran, mungkin kita perlu merenung ulang makna hadis:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ وأهل السموات والأرض حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ
“Sesungguhnya Allah, para malaikat, penghuni langit dan bumi—bahkan semut dalam lubangnya—bershalawat untuk mereka yang mengajarkan kebaikan.” (HR. Tirmidzi).
Di ujung tahun 2025, ketika 30% sekolah sudah menggunakan AI sebagai pengganti guru untuk mata pelajaran eksak.
Pertanyaan tersisa adalah: akankah kita memilih efisiensi teknologi atau mempertahankan ruh pendidikan yang diajarkan Al-Qur’an—di mana guru bukan sekadar penyampai informasi, tetapi penjaga peradaban? (Red)
*) Nashrul Mu’minin, penulis, tinggal di Yogyakarta