
Oleh: Alya Rahmadani *)
SUARAMUDA, SEMARANG — Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) tak dipungkiri tumbuh sangat cepat, sehingga tanpa terasa betapa seringnya teknologi ini menjadi bagian dari keseharian.
Mulai dari asisten virtual di handphone, saran film, hingga aplikasi yang dapat merangkum teks atau menulis artikel, AI memudahkan semuanya.
Namun di balik kemudahan yang diberikan muncul pertanyaan penting: apakah kecanggihan AI justru membuat kita semakin malas berpikir dan bertindak?
Dulu, mencari informasi berarti membuka buku, mencatat, dan menganalisis. Kini, tinggal mengetik pertanyaan, dan jawaban langsung muncul dalam hitungan detik.
Efisien, tentu. Tetapi pernahkah kita berpikir apa yang akan terjadi jika terlalu bergantung sepenuhnya pada AI?
Ketika siswa menyerahkan tugas yang ditulis oleh chatbot, atau ketika kita tidak lagi mencoba mengingat arah karena semua diserahkan pada GPS.
Kita kehilangan sesuatu yang mendasar: kemampuan berpikir kritis dan inisiatif pribadi. AI memang alat yang sangat membantu, tapi bukan berarti kita berhenti belajar atau berusaha.
Kemalasan yang maksudkan bukan sekadar tidak ingin bergerak, melainkan melemahnya dorongan untuk memahami, menganalisis, dan mencipta.
Ironisnya, ketika teknologi semakin pintar, manusia justru bisa semakin pasif. Padahal, AI dibuat bukan untuk menggantikan otak manusia, tapi untuk mendukungnya.
Lantas bagaimana solusinya? Perlunya kesadaran dan keseimbangan pada diri kita. Gunakan AI sebagai alat, bukan penopang utama.
Biarkan AI mempermudah hidup, tapi jangan sampai menggantikan proses belajar dan berpikir kita. Teknologi yang cerdas tentu harus diimbangi dengan manusia yang bijak. (Red)
*) Alya Rahmadani, mahasiswa Akuntansi, Universitas Bangka Belitung
**) Artikel ini disusun untuk memenuhi tugas kuliah, isi dan pesan dalam artikel bukan menjadi tanggung jawab redaksi