
Oleh: Dindi *)
SUARAMUDA, SEMARANG — Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan salah satu daerah penghasil timah terbesar di Indonesia bahkan dunia.
Industri pertambangan timah telah menjadi andalan perekonomian Bangka Belitung yang telah memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan negara.
Namun, selain memberikan dampak positif bagi perekonomian, kegiatan pertambangan timah juga menimbulkan tantangan besar terkait kerusakan lingkungan, keselamatan kerja, dan kesenjangan sosial yang timbul akibat tata kelola pemerintahan yang belum optimal.
Minimnya Manajemen Risiko
Salah satu permasalahan utama yang dihadapi oleh industri pertambangan timah di Bangka Belitung adalah kurangnya manajemen risiko yang efektif dan terstruktur.
Manajemen risiko merupakan elemen penting yang harus diterapkan untuk meminimalkan potensi kerugian yang dapat mengganggu operasi penambangan dan kerusakan lingkungan.
Sayangnya, kurangnya pengendalian risiko dalam operasi penambangan telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah dan meningkatkan potensi kecelakaan kerja yang membahayakan pekerja dan masyarakat sekitar.
Berdasarkan data yang ada, sepanjang tahun 2018 hingga 2023, 460.000 hektare hutan tropis di Bangka Belitung telah hilang akibat perluasan wilayah pertambangan timah, baik yang legal maupun ilegal.
Selain itu, sekitar 64.500 hektare terumbu karang rusak akibat sedimentasi dan limbah pertambangan laut. Ada sekitar 167.000 hektare lahan menjadi kritis dan tidak produktif, serta 240.000 hektare hutan mangrove rusak sehingga menyebabkan hilangnya habitat biota laut dan mengancam keseimbangan ekosistem pesisir.
Kerusakan lingkungan ini juga berdampak langsung pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat.
Selain hilangnya ekosistem penting, kecelakaan kerja di lokasi pertambangan, seperti pekerja yang tenggelam di bekas terowongan tambang, telah menyebabkan lebih dari 50 orang meninggal dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.
Minimnya penerapan manajemen risiko dalam proses penyelamatan semakin memperparah kondisi ini, menunjukkan betapa pentingnya memperbaiki sistem manajemen risiko.
Dampak yang Dihasilkan
Dampak signifikan dari kurangnya penerapan manajemen risiko yang baik pada operasional penambangan timah di Bangka Belitung sangat besar dan dapat dibagi menjadi beberapa aspek dampak lingkungan.
Pertama, perusakan ekosistem, yakni berupa hilangnya hutan tropis, rusaknya terumbu karang, hutan bakau, dan padang lamun merupakan bukti nyata kurangnya pengelolaan risiko lingkungan yang berkelanjutan.
Ekosistem yang rusak tidak hanya mengurangi keanekaragaman hayati, tetapi juga berdampak langsung pada sektor pertanian dan perikanan yang bergantung pada lingkungan alam.
Kedua, kerugian ekonomi jangka panjang. Meskipun penambangan timah memberikan kontribusi ekonomi jangka pendek yang signifikan, kerusakan jangka panjang yang ditimbulkannya dapat merugikan kawasan tersebut dalam hal hilangnya sumber daya alam yang tidak terbarukan.
Pemulihan kerusakan ini membutuhkan biaya yang sangat besar, yang tentu saja berdampak pada perekonomian masyarakat.
Ketiga, dampak sosial dan konflik. Kerusakan lingkungan dan ketimpangan ekonomi sering kali menimbulkan ketegangan antara masyarakat setempat, perusahaan tambang, dan pemerintah.
Selain itu, masalah ketidakadilan dalam pembagian keuntungan tambang dan keterbatasan sumber daya sering kali memicu konflik sosial yang memperburuk situasi.
Hal ini menunjukkan pentingnya penerapan manajemen risiko yang terstruktur dan berkelanjutan, agar industri pertimahan di Bangka Belitung dapat tetap berkembang secara aman, bertanggung jawab, dan berkelanjutan, sehingga memberikan manfaat bagi masyarakat dan lingkungan sekitar tanpa mengorbankan ekosistem. (Red)
*) Dindi, Mahasiswa Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Bangka Belitung
**) Artikel ini disusun untuk memenuhi tugas kuliah, isi dan pesan dalam artikel bukan menjadi tanggung jawab redaksi