suaramuda

Peringati 75 Tahun Diplomasi Indonesia-Tiongkok, PCINU Tiongkok Bedah Strategi Hadapi Ketegangan Perdagangan Global

SUARAMUDA, BEIJING — Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Tiongkok (PCINU Tiongkok) sukses menyelenggarakan seminar bertajuk “75 Tahun Hubungan Indonesia-Tiongkok: Menuju Era Proteksionisme di Tengah Gesekan Dagang AS-Tiongkok”.

Acara yang berlangsung pada 26 April 2025 ini bertempat di School of Public Policy and Management, Universitas Tsinghua, Beijing.

Seminar yang diselenggarakan dalam rangka memperingati 75 tahun hubungan diplomatik antara Indonesia dan Tiongkok ini menghadirkan para pembicara terkemuka untuk menganalisis ketegangan perdagangan global saat ini.

Secara spesifik, seminar itu khusus menyoroti dampak kebijakan tarif Amerika Serikat terhadap hubungan Indonesia-Tiongkok dan kawasan Asia-Pasifik secara lebih luas.

suaramuda

Pentingnya Kerja Sama Budaya

Secara virtual, Sekretaris Jenderal PBNU, KH. Imron Rosyadi Hamid, dalam sambutannya, menekankan pentingnya kerja sama budaya dan ilmiah dalam memupuk perdamaian global.

Dia menyoroti visi Nahdlatul Ulama yaitu “Membangun Peradaban, Peduli Alam Semesta,” yang mencerminkan komitmen organisasi terhadap keberlanjutan lingkungan, keadilan, dan saling menghormati.

Semula Imron berencana hadir secara langsung, namun karena masalah kesehatan yang tidak terduga, beliau bergabung secara virtual.

Ketua PCINU Tiongkok, Ahmad Syifa menyambut para peserta dengan menekankan pentingnya forum ini dalam konteks tantangan global saat ini.

“Di era tanpa batas ini, globalisasi menghubungkan setiap bagian dunia, tetapi juga membawa banyak masalah kompleks — dari ketegangan perdagangan hingga proteksionisme global,” ujar Syifa.

Ia berharap seminar ini akan membuka jalur baru untuk kerja sama antara Indonesia dan Tiongkok dalam menghadapi tantangan global, terutama di bidang perdagangan, pendidikan, dan pertukaran budaya.

Seminar ini menghadirkan tiga pembicara terkemuka yang berbagi wawasan dari perspektif ekonomi, akademik, dan hubungan internasional.

Dampak Perang Tarif

Ekonom Senior dari INDEF (Institute for Development of Economics and Finance), Ahmad Heri Firdaus, memaparkan tentang “Dampak Tarif Resiprokal AS terhadap Ekonomi Indonesia.”

Dia mengungkapkan bahwa Indonesia menghadapi potensi tarif 32% di bawah kebijakan tarif resiprokal Trump, yang dapat menurunkan pertumbuhan PDB Indonesia sekitar 0,05%.

Firdaus juga menekankan bahwa beberapa industri Indonesia akan terkena dampak parah, dengan sektor elektronik menghadapi penurunan output 10% dan sektor manufaktur lainnya mengalami penurunan hingga 22%.

“Indonesia, bersama dengan negara-negara Asia Tenggara dan Tiongkok, harus memperkuat solidaritas dan posisi tawar mereka dalam menghadapi kebijakan proteksionis AS,” tegas Firdaus.

Dia mencatat bahwa ekspor Indonesia bisa turun 2,8% dan impor turun 2,2% jika tarif ini diterapkan. Tidak hanya dampak langsung, tetapi juga ada dampak tidak langsung yang akan mengganggu rantai pasok global.

Profesor Zhengqing Zheng, akademisi dari Universitas Tsinghua, membahas “Perang Dagang dan Multilateralisme,” menggambarkan perang dagang yang diprakarsai AS sebagai “senjata koersi yang melayani kepentingan sendiri” yang melanggar prinsip WTO dan mengganggu stabilitas rantai pasok global.

Zheng mencatat bahwa Tiongkok telah mengadopsi langkah-langkah balasan yang diperlukan tidak hanya secara reaktif, tetapi secara prinsipil, untuk membela kepentingan sah Tiongkok dan menjunjung tinggi keadilan internasional.

Lebih lanjut, Profesor Zheng menggarisbawahi pentingnya mempertahankan institusi multilateral seperti WTO meskipun menghadapi tantangan.

“Negara-negara seperti Tiongkok, Indonesia, dan negara-negara lain dari Global South harus terus mendukung dan memanfaatkan mekanisme multilateral seperti WTO dan Perserikatan Bangsa-Bangsa,” ujarnya.

Dorong Kemitraan Indonesia-Tiongkok

Pada peringatan 75 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Tiongkok, Profesor Zheng menegaskan kembali komitmen Tiongkok untuk memperdalam kolaborasi dengan Indonesia, memperkuat kemitraan dengan negara-negara ASEAN, dan mempromosikan tatanan ekonomi internasional yang adil.

Sementara itu, Direktur Sino Nusantara Institute, Ahmad Syaifuddin Zuhri, menawarkan “Perspektif Hubungan Internasional terhadap Kebijakan Tarif AS dan Peran Strategis Indonesia-Tiongkok.”

Zuhri menganalisis kebijakan Trump melalui tiga kerangka teoretis: realisme, liberalisme, dan konstruktivisme.

Zuhri menunjukkan bahwa pendekatan Trump paling sesuai dengan realisme, berfokus pada nasionalisme ekonomi, perlindungan industri domestik, dan menciptakan struktur dunia berdasarkan kompetisi daripada kolaborasi.

Zuhri menekankan bahwa Indonesia dan Tiongkok dapat menghidupkan kembali semangat solidaritas Global South, mengingat prinsip-prinsip yang ditetapkan selama Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 di Bandung.

“Indonesia dan Tiongkok harus mengambil momentum ini untuk memperkuat kerja sama di berbagai bidang, tidak hanya secara bilateral, tetapi juga di forum multilateral,” simpul Zuhri.

Selama sesi tanya jawab, peserta mengajukan pertanyaan tentang peran WTO dalam menyelesaikan konflik perdagangan, mengatasi tantangan global seperti perubahan iklim dan kemiskinan, serta strategi Indonesia untuk menjaga hubungan yang seimbang di tengah ketegangan AS-Tiongkok.

Para pembicara menekankan bahwa WTO tetap penting untuk penyelesaian sengketa perdagangan secara damai dan adil.

Bahwa masalah global memerlukan kerja sama global di luar kepentingan nasional yang sempit, dan bahwa Indonesia harus memperkuat posisinya di forum multilateral sambil membangun koalisi dengan negara-negara berkembang lainnya.

Acara ini dipandu oleh Hasim Habibi yang berperan sebagai MC sekaligus moderator dalam seminar tersebut.

Hasim Habibi adalah mahasiswa S2 Public Administration Tsinghua University, yang juga menjabat sebagai Ketua Tanfidziyah PCINU Tiongkok, menyoroti pentingnya mempromosikan kompetisi positif di mana kemajuan menguntungkan semua pihak, meskipun ada kompetisi zero-sum dalam arena global.

Habibi juga menjelaskan fokus utama PCINU Tiongkok ke depan adalah pengembangan sumber daya manusia dan turut serta mempererat hubungan bilateral kedua belah negara.

“Ke depan, kami akan fokus pada pengembangan SDM. Kami akan mengadakan pelatihan intensif bahasa Mandarin baik untuk internal anggota PCINU Tiongkok maupun masyarakat umum. Selain itu, kami juga turut memperkuat diplomasi people-to-people connect untuk mempererat hubungan bilateral kita,” ujarnya.

Seminar ini merupakan bukti komitmen PCINU Tiongkok, cabang khusus Nahdlatul Ulama yang merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan lebih dari 120 juta anggota, untuk terus mendorong dialog akademis dalam rangka memperkuat hubungan Indonesia-Tiongkok. (Red)

 

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like
Promo