
Oleh : Muhammad Rizalul Umam *)
SUARAMUDA, SEMARANG — “Let a new Asia and a new Africa be born!” Kalimat itu menggelegar dari podium utama Gedung Merdeka, Bandung, pada 18 April 1955.
Ir. Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia, berdiri tegak dengan dada membusung, suaranya membelah udara pagi yang penuh harapan.
Itulah pidato pembuka Konferensi Asia Afrika (KAA), momen bersejarah yang menjadi penanda bangkitnya solidaritas negara-negara dunia ketiga dari bayang-bayang kolonialisme dan imperialisme.
Pidato itu bukan sekadar sambutan seremonial. Ia adalah manifestasi politik, seruan ideologis, dan ajakan moral bagi bangsa-bangsa yang baru merdeka atau masih memperjuangkan kemerdekaan.
Bung Karno berbicara tidak hanya sebagai Presiden Indonesia, tetapi sebagai suara dunia yang ingin bebas menentukan nasibnya sendiri.
Latar Belakang KAA: Lahirnya Solidaritas Global Selatan
KAA diselenggarakan di tengah situasi dunia yang dilanda ketegangan Perang Dingin antara blok Barat (dipimpin Amerika Serikat) dan blok Timur (dipimpin Uni Soviet).
Di tengah pusaran ideologi kapitalisme dan komunisme, muncul negara-negara Asia dan Afrika yang baru merdeka atau sedang berjuang merebut kemerdekaan.
Mereka memerlukan ruang sendiri, ruang yang bebas dari tekanan dua kekuatan besar dunia.
Indonesia, bersama India, Pakistan, Birma (kini Myanmar), dan Sri Lanka lima negara yang kemudian dikenal sebagai Five Initiating Countries menggagas pertemuan besar negara-negara Asia dan Afrika.
Tujuannya jelas: mempererat solidaritas, menolak kolonialisme dalam bentuk apapun, dan memperjuangkan perdamaian dunia.
Konferensi ini dihadiri oleh 29 negara yang mewakili lebih dari setengah populasi dunia.
Namun lebih dari sekadar kuantitas, yang membuat KAA monumental adalah kualitas semangatnya semangat perlawanan, semangat persaudaraan, dan semangat kemerdekaan.
Bung Karno: dari Retorika ke Visi Dunia Baru
Dalam pidatonya, Bung Karno mengawali dengan kalimat yang menggugah:
“Saya tidak perlu menyebutkan bahwa saya merasa amat berbahagia dapat menyambut Tuan-Tuan di Indonesia… tetapi bolehkah saya menambahkan bahwa saya juga merasa terharu.”
Ia kemudian langsung mengarahkan perhatian pada alasan mengapa negara-negara Asia dan Afrika perlu bersatu: karena mereka memiliki pengalaman pahit yang sama, yaitu dijajah, dirampok haknya, dan dikebiri kemerdekaannya oleh kekuatan kolonial.
Bung Karno menegaskan bahwa pertemuan ini bukan sekadar kumpulan formalitas diplomatik, tetapi merupakan tonggak sejarah sebuah langkah besar menuju kebebasan sejati.
Ia berkata:
“Kolonialisme belum mati. Kolonialisme hanya berganti wajah. Kolonialisme yang dulu dilakukan oleh senjata kini bisa dilakukan lewat tekanan ekonomi, politik, bahkan budaya.”
Pidato ini menjadi semacam deklarasi bersama: bahwa kolonialisme dalam segala bentuknya harus dilawan. Bung Karno menawarkan common platform landasan bersama yakni semangat antikolonialisme, persamaan hak antarbangsa, dan solidaritas antarmanusia.
Warisan Abadi: Dasasila Bandung
Salah satu hasil monumental dari KAA adalah lahirnya Dasasila Bandung, sepuluh prinsip yang menjadi fondasi politik luar negeri negara-negara Dunia Ketiga.
Prinsip-prinsip itu meliputi penghormatan terhadap kedaulatan, non-agresi, non-intervensi, dan penyelesaian sengketa secara damai.
Meski Bung Karno tidak menulis langsung
Dasasila Bandung, semangat dan narasi dalam pidatonya jelas mempengaruhi arah dan substansi prinsip-prinsip tersebut.
Ia mengingatkan bahwa negara-negara Asia dan Afrika tidak boleh menjadi proxy dari kekuatan besar, tetapi harus menjadi subjek sejarah, bukan sekadar objek geopolitik.
Lebih jauh, Bung Karno menyerukan pentingnya “hidup berdampingan secara damai” konsep yang kemudian menjadi inspirasi bagi gerakan Non-Blok.
Resonansi Global: dari Bandung ke Dunia
Pidato Bung Karno di KAA menjadi inspirasi bagi gerakan pembebasan di Afrika, Amerika Latin, dan Timur Tengah.
Tokoh-tokoh seperti Kwame Nkrumah dari Ghana, Patrice Lumumba dari Kongo, dan bahkan Nelson Mandela, menjadikan KAA sebagai referensi moral dan politik perjuangan mereka.
KAA juga memberikan panggung bagi negara-negara yang sebelumnya tidak memiliki suara dalam forum internasional.
Dalam ruang-ruang kecil Gedung Merdeka, pemimpin-pemimpin dari negara miskin dan tertindas berdiri sejajar dengan tokoh dunia seperti Nehru, Zhou Enlai, dan Nasser.
Di tengah dominasi wacana politik global yang dikendalikan Barat, KAA dan pidato Bung Karno menjadi alternatif narasi.
Ia memperkenalkan dunia pada kekuatan “Global South” kekuatan yang tidak berasal dari artileri militer atau ekonomi raksasa, melainkan dari moralitas, solidaritas, dan harapan akan dunia yang lebih adil.
Refleksi: Relevansi yang Tak Pernah Pudar
Hari ini, ketika dunia kembali terpolarisasi oleh konflik geopolitik, krisis iklim, dan ketimpangan global, semangat dari pidato Bung Karno di KAA masih terasa relevan.
Ia mengingatkan kita bahwa kemerdekaan bukanlah titik akhir, melainkan awal dari perjuangan panjang untuk keadilan dan kedaulatan sejati.
Pidato itu adalah seruan untuk dunia yang lebih setara dunia di mana tidak ada bangsa yang lebih tinggi atau lebih rendah dari bangsa lain.
Ia adalah pengingat bahwa solidaritas internasional adalah kekuatan nyata, bukan ilusi idealistik.
Di tengah dunia yang terus berubah, gema suara Bung Karno masih menggema dari Bandung: “Marilah kita bangkit dan berdiri di kaki sendiri! Let a new Asia and a new Africa be born!”
*) Muhammad Rizalul Umam, mahasiswa Prodi Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri Semarang; aktif pada organisasi PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), Islamic Historis dan Peserta Magang BP2M (Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa)