
Oleh: Abdurrahman Ahady *)
SUARAMUDA, SEMARANG – Dakwah merupakan salah satu pilar penyebaran agama Islam. Sejak masa kenabian, dakwah menjadi sarana utama untuk menanamkan nilai-nilai keislaman di tengah masyarakat (Alhafizh dkk, 2024).
Saat ini, dakwah tidak hanya dilakukan secara lisan, tetapi juga melalui media seperti buku, televisi, hingga platform digital. Tentunya, fleksibilitas ini memungkinkan aktivitas dakwah dapat menjangkau umat secara lebih luas.
Ironi, dalam perjalanannya, dakwah tidak selalu berada dalam koridor ideal. Muncul fenomena di mana dakwah tidak lagi sekadar syiar agama, tetapi juga menjadi komoditas oleh segelintir “oknum ulama”.
Dakwah yang seharusnya berorientasi pada kebaikan umat menjelma jadi ajang mencari popularitas, kekayaan, atau bahkan alat untuk kepentingan pribadi. Akibatnya, urgensi dakwah bergeser dari aktivitas suci menjadi ladang komersialisasi.
Problematika Dakwah: Antara Panggilan Ilahi dan Godaan Duniawi
Dakwah harus dilakukan dengan kebijaksanaan dan ketulusan serta memberikan pengajaran yang dapat dipraktikkan dalam kehidupan (Qs. Al-Nahl: 125).
Dahulu, para ulama menghadapi penolakan karena dakwahnya dianggap dapat mengganggu tatanan sosial (Sunanta dkk, 2020).
Kini, di era media sosial, tantangan dakwah mengalami persoalan yang berbeda. Di satu sisi, media sosial telah memberikan kemudahan dalam menyebarkan ilmu agama, tetapi di sisi lainnya, media sosial juga menghadirkan godaan popularitas.
Jumlah pengikut dan viralitas acap kali lebih diprioritaskan dibandingkan substansi ilmu yang disampaikan.
Akibatnya, banyak pendakwah yang berlomba agar lebih dikenal dan materinya dipaksanakan agar menghibur daripada menghadirkan kajian mendalam
Selain itu, ada pula yang memanfaatkan isu-isu sensitif demi meningkatkan jumlah pengikut atau keuntungan finansial. Dakwah yang seharusnya bertujuan menyampaikan kebenaran kini dibayangi strategi branding dan pemasaran.
Komersialisasi Dakwah
Salah satu bentuk nyata komersialisasi dakwah adalah pemasangan tarif dalam ceramah. Tidak dapat dimungkiri bahwa pendakwah juga manusia yang memiliki kebutuhan hidup.
Namun, ketika tarif ceramah dipatok tinggi, keikhlasan dalam berdakwah menjadi hal yang dipertanyakan.
Sebagian pendakwah diundang dengan tarif beragam, bahkan ada acara yang diselenggarakan dengan biaya besar demi menghadirkan pendakwah populer.
Akibatnya, ada kemungkinan bahwa dakwah tidak lagi berorientasi pada penyebaran ilmu, melainkan peluang bisnis yang menggiurkan.
Selain tarif ceramah, sponsorship juga mulai masuk ke dunia dakwah. Beberapa pendakwah terkenal menjalin kerja sama dengan merek tertentu untuk memasarkan produk dalam kajian Keislaman.
Jika dilakukan secara proporsional, hal ini bisa menjadi sumber pemasukan yang wajar. Namun, jika dimanfaatkan demi keuntungan pribadi, ini semakin menegaskan bagaimana dakwah kini tidak hanya menjadi sarana penyebaran agama, tetapi juga lahan bisnis.
Dampak dari komersialisasi dakwah cukup signifikan, jika dakwah dilakukan karena bayaran, ia tak ubahnya seperti jualan, “ada harga, ada barang”.
Media Sosial: Pedang Bermata Dua dalam Syiar Agama
Media sosial memungkinkan pesan agama tersebar dengan cepat tanpa terhalang waktu dan tempat. Tetapi, kemudahan ini juga menghadirkan tantangan besar.
Beberapa pendakwah menjadi viral bukan karena kedalaman ilmunya, melainkan karena gaya ceramahnya yang “sensasional”. Judul-judul clickbait sering digunakan untuk menarik perhatian, bahkan terkadang dilebih-lebihkan; menyajikan informasi yang kurang akurat.
Fenomena lain yang muncul adalah lahirnya “influencer Dakwah” yang lebih dikenal karena popularitasnya di media sosial daripada kapasitas keilmuannya (Risdiana dkk, 2019).
Bermodalkan “dalil cepat saji”, mereka yang memiliki banyak pengikut sering diundang ke berbagai acara, meskipun tidak memiliki latar belakang keilmuan yang cukup.
Untuk memperbanyak jam terbang, sebagian “dai kondang” bahkan gencar mempromosikan diri secara pribadi—ada yang memasang kontak pribadi di media sosialnya agar mudah dihubungi, sampai ada pula yang meminta untuk diundang untuk mengisi acara.
Fenomena ini berisiko menggiring umat ke arah yang berlawanan, bahkan umat bisa mendapatkan pemahaman agama yang dangkal dan cenderung hanya mengikuti tren populer.
Walaupun demikian, tidak dapat disangkal bahwa media sosial juga memberikan dampak positif. Banyak ulama yang menggunakan platform media sosial secara bijak untuk menyebarkan ilmu yang berkualitas.
Kajian daring yang serius membantu banyak orang memahami Islam dengan lebih baik. Oleh karena itu, tantangannya adalah bagaimana menggunakan media sosial sebagai alat dakwah tanpa mengorbankan kualitas dan ketulusan.
Mengembalikan Kemurnian Dakwah
Menjaga kemurnian dakwah bukanlah tugas mudah, terutama di tengah godaan popularitas dan keuntungan duniawi. Namun, tidak mudah bukan berarti tidak mungkin, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan agar dakwah tetap berada di jalur yang seharusnya:
Pertama, menjaga niat—pendakwah harus senantiasa menjaga niat mereka. Dakwah harus dilakukan karena Allah, bukan karena bayaran atau ketenaran. Jika pun menerima imbalan, itu seharusnya sekadar kebutuhan yang wajar, bukan tujuan utama.
Kedua, Menyampaikan Ilmu dengan Tanggung Jawab—Kajian yang disampaikan harus memiliki dasar kuat, tidak sekadar mengikuti tren atau permintaan pasar.
Ketiga, menggunakan media sosial dengan bijak–clickbait dan sensasi berlebihan harus dihindari agar dakwah tetap menjadi sarana pencerahan, bukan sekadar hiburan.
Keempat, masyarakat harus kritis–umat harus belajar membedakan antara pendakwah yang benar-benar berdakwah karena Allah dan yang hanya mencari ketenaran.
Dakwah adalah amanah besar yang harus dijaga kemurniannya. Meskipun media sosial dan komersialisasi telah mengubah cara dakwah dilakukan, esensi dakwah tetap harus terjaga: menyebarkan ilmu dengan ikhlas dan penuh tanggung jawab.
Jika dakwah tetap dilakukan dengan keikhlasan, tanpa terjebak dalam arus popularitas dan komodifikasi, maka ia akan tetap menjadi cahaya yang menerangi umat di tengah kegelapan zaman. (Red)
Penulis: Abdurrahman Ahady, Pimpinan Suger Kaligrafi