
SUARAMUDA, SEMARANG – Di era global dengan didukung digitalisasi yang serba cepat, banyak masyarakat—terutama generasi muda—mengalami krisis identitas kebangsaan.
Arus informasi tanpa batas membawa berbagai pengaruh budaya asing yang tanpa disadari, mulai mengikis nilai-nilai kebangsaan.
Di sinilah urgensi pendidikan kewarganegaraan (PKn) semakin terasa: sebagai “vaksin” yang dapat memperkuat imunitas bangsa terhadap disintegrasi sosial dan lunturnya kesadaran bernegara.
Pendidikan kewarganegaraan bukan hanya sekadar pelajaran hafalan tentang konstitusi atau sejarah perjuangan bangsa.
Lebih dari itu, PKn membentuk karakter dan pemahaman bahwa setiap individu memiliki peran dalam menjaga keutuhan negara.
Tanpa pemahaman yang kuat tentang hak dan kewajiban sebagai warga negara, masyarakat akan semakin individualistis, apatis, bahkan mudah terprovokasi oleh isu-isu yang berpotensi memecah belah.
Fenomena meningkatnya intoleransi, maraknya penyebaran hoaks, hingga ketidakpedulian terhadap hukum dan demokrasi menunjukkan betapa lemahnya pemahaman akan kewarganegaraan.
PKn seharusnya menjadi alat yang membangun kesadaran kritis, di mana setiap warga dapat memilah informasi, berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial-politik, dan menjaga keberagaman sebagai kekuatan, bukan ancaman.
Jika pendidikan kewarganegaraan diabaikan, maka generasi mendatang berisiko tumbuh tanpa pegangan kuat terhadap identitasnya sebagai bangsa.
Oleh karena itu, PKn harus diperkuat, tidak hanya sebagai mata pelajaran formal, tetapi sebagai budaya yang ditanamkan dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat.
Hanya dengan cara ini, kita dapat memastikan bahwa bangsa ini tetap kokoh, tidak mudah terombang-ambing oleh arus globalisasi yang tak selalu membawa manfaat.
*) Penulis: Isnaeni Nur Hidayah, mahasiswa Prodi Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Negeri Yogyakarta