promo

Menengok Kembali Kasus Nenek Asyani dari Perspektif Pancasila

Nuzuzul Etskoningtyas, Mahasiswa Prodi Pendidikan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Yogyakarta

SUARAMUDA, SEMARANG — Pendidikan Pancasila memiliki peran yang sangat penting dalam menghadapi berbagai permasalahan di Indonesia, terutama dalam mewujudkan keadilan.

Sebagai dasar negara, Pancasila mengandung nilai-nilai fundamental yang mencerminkan keadilan sosial, kesejahteraan, serta persatuan bangsa.

Namun, dalam realitasnya, keadilan masih menjadi persoalan yang terus diperjuangkan, baik dalam aspek hukum, ekonomi, politik, maupun sosial.

Promo

Oleh karena itu, pendidikan Pancasila harus menjadi alat utama dalam menanamkan kesadaran akan pentingnya keadilan serta membentuk generasi yang berintegritas dan memiliki kepedulian terhadap sesama.

Keadilan salah satu nilai utama dalam Pancasila, khususnya dalam sila kelima, yaitu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, ketimpangan sosial dan ekonomi masih menjadi tantangan besar di negara ini.

Kesenjangan antara kaya dan miskin terus melebar, akses terhadap pendidikan dan kesehatan masih belum merata, serta perlakuan hukum yang sering kali tidak adil.

Promo

Situasi ini menunjukkan bahwa pemahaman dan penerapan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari belum sepenuhnya berjalan dengan baik.

Urgensi Pendidikan Pancasila

Pendidikan Pancasila harus lebih ditekankan agar masyarakat tidak hanya memahami konsep keadilan secara teori, tetapi juga mampu menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Ketidakadilan dalam berbagai sektor kehidupan dapat berdampak negatif terhadap stabilitas sosial dan politik.

Ketika masyarakat merasa diperlakukan secara tidak adil, ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan lembaga hukum meningkat.

Hal ini bisa berujung pada berbagai bentuk ketidakpuasan, seperti aksi demonstrasi, perlawanan sosial, bahkan konflik horizontal yang merugikan bangsa.

Oleh karena itu, pendidikan Pancasila harus menjadi fondasi utama dalam membangun kesadaran akan pentingnya persamaan hak dan kewajiban di antara warga negara.

Dengan demikian, masyarakat dapat lebih memahami bagaimana cara memperjuangkan keadilan secara konstitusional.

Sila kelima dalam Pancasila mengajarkan bahwa keadilan sosial tidak hanya sebatas pembagian kekayaan yang adil, tetapi juga mencakup kesetaraan dalam berbagai bidang kehidupan.

Pendidikan Pancasila harus menanamkan kesadaran bahwa semua rakyat Indonesia, tanpa terkecuali, memiliki hak yang sama untuk mendapatkan perlakuan yang adil dan setara.

Hal ini bukan hanya menyangkut aspek ekonomi, tetapi juga hak-hak politik, sosial, dan budaya yang harus dihormati dan dijunjung tinggi.

Pendidikan ini juga harus memberikan pemahaman kepada generasi muda bahwa keadilan tidak hanya terwujud dalam tindakan negara, tetapi juga dalam perilaku individu dalam masyarakat.

Dalam sistem hukum, prinsip keadilan sering kali dihadapkan pada praktik yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

Masih banyak kasus ketidakadilan hukum yang mencerminkan adanya kesenjangan dalam penerapan keadilan bagi seluruh rakyat.

Hukum sering kali tajam ke bawah dan tumpul ke atas, di mana orang-orang dari kalangan tertentu lebih mudah terhindar dari jeratan hukum, sementara rakyat kecil kerap kali menjadi korban ketidakadilan.

Jika pendidikan Pancasila diterapkan dengan baik, maka kesadaran hukum masyarakat akan semakin meningkat, dan mereka dapat lebih kritis dalam menilai serta memperjuangkan keadilan dengan cara yang benar.

Berkaca pada Kasus Nenek Asyani

Seperti pada Kasus nenek Asyani menunjukkan ketidakadilan hukum di Indonesia.

Ia didakwa mencuri tujuh batang kayu jati milik Perhutani Situbondo dan divonis satu tahun penjara dengan masa percobaan 15 bulan serta denda Rp 500 juta.

Padahal, ia mengaku mengambil kayu dari pekarangannya tanpa mengetahui kepemilikannya.

Hukuman yang dijatuhkan dianggap tidak sebanding dengan perbuatannya, terutama jika dibandingkan dengan kasus korupsi yang sering mendapat hukuman lebih ringan.

Kasus ini bermula dari patroli Perhutani yang menemukan sisa batang kayu di petak 43, memicu penyelidikan yang mengarah ke rumah Cipto, tempat kayu jati tersebut ditemukan. Cipto mengaku kayu itu milik nenek Asyani.

Berdasarkan bukti yang dikumpulkan, nenek Asyani diseret ke pengadilan dan dijerat dengan UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Kasus ini memicu simpati publik karena menyoroti ketimpangan hukum, di mana masyarakat kecil lebih mudah dijerat hukum dibandingkan para koruptor.

Hal ini menegaskan perlunya reformasi hukum yang lebih berkeadilan dan mempertimbangkan aspek kemanusiaan. Puncaknya terjadi pada persidangan ketiga tanggal 12 Maret silam.

Nenek Asyani yang kebingungan akibat pemberian putusan dakwaan padanya sampai-sampai menangis hingga duduk tersimpuh di depan majelis hakim untuk meminta pengampunan.

Asyani didakwa dengan Pasal 12 huruf d Juncto Pasal 83 ayat (1) huruf A UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dengan ancaman 5 tahun penjara.

Nenek Asyani yang sudah berumur 63 tahun tersebut divonis hukuman 1 tahun penjara dengan 1 tahun 3 bulan untuk masa percobaan dan denda 500 juta dengan subsider 1 hari hukuman percobaan.

Kasus ini menarik simpati publik karena putusan tersebut dianggap tidak adil bagi nenek Asyani yang termasuk ke dalam golongan masyarakat miskin dan buta hukum (Sarwandari, 2025).

Melihat dari Perspektif Pancasila

Urgensi pendidikan Pancasila dalam kasus nenek Asyani sangat penting dalam menciptakan sistem hukum yang lebih adil.

Kasus ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam penerapan hukum, di mana seorang warga miskin yang buta hukum menerima hukuman berat, sementara kejahatan yang lebih besar seperti korupsi sering kali mendapatkan hukuman yang lebih ringan.

Pendidikan Pancasila menjadi solusi dalam membentuk kesadaran hukum yang lebih adil, baik bagi masyarakat maupun bagi para penegak hukum.

Dalam perspektif Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia harus ditegakkan tanpa diskriminasi.

Hukum tidak boleh hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, melainkan harus menjadi alat yang benar-benar mencerminkan nilai-nilai keadilan.

Hukuman berat yang dijatuhkan kepada nenek Asyani tidak mencerminkan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab, karena tidak mempertimbangkan faktor sosial serta niat di balik tindakannya.

Hal ini menunjukkan bahwa sistem hukum yang ada masih kurang berlandaskan pada nilai-nilai moral dan kemanusiaan yang seharusnya menjadi pedoman utama dalam menegakkan keadilan.

Selain itu, pendidikan Pancasila juga berperan penting dalam meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Ketidaktahuan nenek Asyani tentang hukum menjadi salah satu faktor yang memperburuk kondisinya.

Dengan pemahaman hukum yang lebih baik, masyarakat dapat lebih memahami hak dan kewajiban mereka sehingga tidak mudah terjerat dalam ketidakadilan hukum.

Pendidikan ini juga dapat membentuk karakter aparat hukum yang lebih berintegritas, yang tidak hanya berpegang pada teks hukum, tetapi juga mengedepankan nilai-nilai moral dan kemanusiaan dalam pengambilan keputusan.

Kasus nenek Asyani menjadi bukti bahwa supremasi hukum di Indonesia masih perlu diperbaiki agar lebih sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Tanpa pendidikan yang menanamkan nilai keadilan, kemanusiaan, dan kesetaraan, hukum akan terus menjadi alat yang lebih memberatkan rakyat kecil dibandingkan dengan mereka yang memiliki kekuasaan.

Oleh karena itu, pendidikan Pancasila harus semakin ditekankan dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam sistem hukum, agar hukum benar-benar berfungsi sebagai alat keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Penulis: Nuzuzul Etskoningtyas, Mahasiswa Prodi Pendidikan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Yogyakarta

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like