
SUARAMUDA, SEMARANG – Intoleransi antar umat beragama di Indonesia merupakan isu yang kompleks dan berkelanjutan, mencerminkan tantangan dalam menjaga kerukunan di tengah keberagaman.
Meskipun Indonesia dikenal sebagai negara dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika,” realitas di lapangan menunjukkan bahwa intoleransi sering kali muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari penolakan pembangunan tempat ibadah hingga pengrusakan fasilitas keagamaan.
Data menunjukkan bahwa antara 2019 hingga 2023, terdapat 65 kasus intoleransi yang tercatat, dengan puncaknya terjadi pada tahun 2020. Kasus-kasus ini sering kali berkaitan dengan perbedaan agama, terutama ketika komunitas minoritas berusaha membangun tempat ibadah di daerah mayoritas.
Salah satu contoh kasus intoleransi yang parah adalah serangan bom terhadap gereja-gereja di Indonesia. Pada tahun 2018, terjadi serangan bom teroris di tiga gereja di Surabaya, yang menewaskan setidaknya 28 orang dan melukai lebih dari 50 lainnya.
Serangan ini dilakukan oleh kelompok Jamaah Ansharut Daulah, yang terlibat dengan jaringan ISIS, dan menimbulkan kekhawatiran besar tentang risiko yang dihadapi oleh minoritas agama di Indonesia.
“Pengeboman gereja-gereja Kristen menunjukkan risiko serius yang dihadapi kaum minoritas agama di Indonesia setiap hari,” kata Andreas Harsono, peneliti senior Indonesia.
“Yang membuat hal ini lebih mengerikan lagi adalah nak-anak dari pelaku bom bunuh diri ikut dimanfaatkan untuk melancarkan aksinya”.
Pada tahun 2021, juga terjadi serangan bom bunuh diri di luar Gereja Katolik di Makassar, yang melukai setidaknya 20 orang. Serangan-serangan ini menunjukkan bahwa intoleransi agama masih menjadi ancaman serius bagi keharmonisan sosial di Indonesia.
Faktor-faktor yang menyebabkan intoleransi ini meliputi fanatisme agama, kurangnya pendidikan toleransi, dan pengaruh sosial serta politik.
Fanatisme agama sering kali mengarah pada ketidakmampuan untuk menerima perbedaan keyakinan, sementara pendidikan agama yang tidak mengajarkan nilai-nilai toleransi dapat memperburuk situasi.
Diskriminasi sosial dan politik terhadap kelompok minoritas juga sering kali memperkuat sikap intoleran di masyarakat. Misalnya, Undang-Undang 2006 tentang penyelenggaraan Ibadah telah memicu peningkatan diskriminasi terhadap minoritas agama, terutama dalam hal perizinan pembangunan tempat ibadah.
Moderasi Beragama sebagai Pendekatan
Untuk mengatasi masalah ini, moderasi beragama menjadi pendekatan yang sangat relevan. Moderasi beragama tidak hanya mencakup pemahaman agama yang seimbang, tetapi juga sikap saling menghargai antarumat beragama.
Dalam konteks ini, pendidikan berbasis moderasi sangat penting untuk membentuk generasi yang lebih inklusif dan toleran. Strategi moderasi beragama yang dapat diterapkan meliputi penguatan dialog antar agama, kampanye kesadaran sosial, dan pendidikan agama yang inklusif.
Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini, diharapkan masyarakat dapat lebih menghargai perbedaan dan menciptakan lingkungan yang harmonis. Upaya ini tidak hanya penting untuk stabilitas sosial, tetapi juga untuk menjaga keutuhan bangsa dalam keragaman.
Penulis: Nuzula Salsa Ainunci Elrahma, Mahasiswa Prodi Pendidikan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Yogyakarta