
SUARAMUDA, SEMARANG — Hukum yang merupakan pondasi utama dalam penegakan keadilan, seharusnya berdiri kokoh tanpa diskriminasi.
Namun fenomena “hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah” menjadi suatu kenyataan yang sering kita saksikan di masyarakat.
Istilah ini mencerminkan ketidakadilan dalam penerapan hukum, di mana hukum cenderung diterapkan secara ketat kepada kelompok yang kurang beruntung atau masyarakat kecil.
Sementara menjadi lemah dan tidak efisien ketika berhadapan dengan individu yang memiliki kekuasaan, pengaruh, atau harta yang melimpah.
Ketidakseimbangan ini menimbulkan rasa skeptis terhadap sistem hukum, yang seharusnya berfungsi untuk menjamin keadilan bagi setiap lapisan masyarakat.
Ditinjau dari Regulasi
Menurut UUD 1945 negara Indonesia merupakan negara hukum yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat 3 yang berbunyi “Negara Indonesia merupakan negara hukum”.
Artinya, Indonesia bisa menjadi sebuah negara yang menempatkan semua elemen kehidupan berbangsa dan bernegara pada dasar hukum, bukan pada dominasi individu atau kelompok tertentu.
Dan di UUD 1945 pasal 28 D ayat 1 yang berbunyi “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.
Dalam hal ini, setiap orang—tanpa pengecualian—mempunyai hak yang serupa di hadapan hukum.
Hak ini mencakup hak untuk diakui sebagai subjek hukum, hak untuk memperoleh jaminan perlindungan hukum, hak untuk mendapatkan kepastian hukum, dan hak untuk diperlakukan secara adil dalam proses hukum.
Kasus-kasus yang terjadi di sekitar kia menjadi bukti nyata dari fenomena ini.
Perbandingan Kasus Hukum
Seorang nenek berusia 70 tahun yang hidup dalam kesulitan ekonomi terpaksa mencuri beberapa buah kakao dari lahan pertanian besar guna untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya dan keluarganya.
Karena tindakannya, ia segera ditangkap dan diproses secara hukum dengan cepat, bahkan dijatuhi hukuman penjara.
Di sisi lain, seorang pejabat tinggi negara terlibat dalam skandal korupsi terkait dana proyek infrastruktur senilai miliaran rupiah.
Prosedur hukumnya berjalan lambat, berliku-liku, dan pada akhirnya ia hanya dijatuhi hukuman ringan disertai berbagai keringanan.
Situasi ini menggambarkan bagaimana hukum diterapkan secara ketat terhadap individu dari kalangan bawah.
Sementara hal yang sama tidak terjadi pada pejabat atau orang kaya yang melakukan pelanggaran serupa atau bahkan lebih besar.
Ketidakadilan ini merusak rasa keadilan masyarakat dan mengurangi kepercayaan pada institusi hukum.
Banyak hal yang menyebabkan ketidakadilan ini, termasuk rendahnya integritas penegak hukum, campur tangan pihak berkuasa, dan budaya korupsi.
Hukum yang Menindas
Sistem hukum yang seharusnya melindungi masyarakat kecil seringkali berfungsi sebagai alat penindasan.
Budaya feodal juga memperparah masalah, di mana orang berkuasa mendapat perlindungan.
Selain itu, akses keadilan mahal, dengan biaya hukum tinggi dan kurangnya pengetahuan serta keterbatasan ekonomi membuat masyarakat kecil kesulitan mendapatkan pembelaan yang adil.
Dampak dari ketidakadilan sangat luas dan mencakup berbagai aspek. Masyarakat menjadi acuh tak acuh terhadap hukum dan sering memilih untuk main hakim sendiri.
Ketidakpercayaan terhadap lembaga penegak hukum dapat memicu ketegangan sosial dan mengancam persatuan bangsa.
Sudah saatnya kita melakukan perbaikan. Penegakan hukum yang adil dan merata harus menjadi prioritas utama. Negara harus hadir untuk melindungi seluruh warganya tanpa diskriminasi.
Pemerintah perlu memperkuat integritas penegak hukum, menghilangkan intervensi kekuasaan, dan memberantas korupsi.
Akses terhadap keadilan juga harus diperluas agar rakyat kecil mendapatkan perlakuan yang setara.
Hanya dengan cara ini, keadilan yang terluka dapat dipulihkan, dan hukum dapat kembali menjadi otoritas utama di negara ini. (Red)
Penulis: Oktarika Regyananda, Mahasiswa Pendidikan Kimia, Universitas Negeri Yogyakarta