
Oleh: Giska Sema Ayu *)
Semarang, SUARAMUDA –
Di tengah kemajuan teknologi yang pesat, Gen Z (mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012) memiliki perspektif yang sangat berbeda dibandingkan generasi sebelumnya. Terlahir di era digital, mereka dibesarkan dengan berbagai kemudahan akses informasi, yang membuat cara mereka berpikir dan bertindak lebih global dibandingkan generasi-generasi sebelumnya.
Namun, perbedaan ini tidak selalu dilihat dengan cara yang positif. Baru-baru ini, tren #KaburAjaDulu yang viral di media sosial menjadi perbincangan hangat. Sebagian pihak menganggapnya sebagai bentuk protes terhadap berbagai ketidakpuasan terhadap kondisi sosial-ekonomi Indonesia, sementara lainnya beranggapan bahwa fenomena ini menggambarkan sikap yang kurang nasionalis dari generasi muda.
Fenomena ini dominan di media sosial, terutama di kalangan Gen Z yang memanfaatkan platform seperti TikTok, Instagram, dan X. Melalui platform ini, mereka menyuarakan kegelisahan mereka tentang kondisi di Indonesia.
Banyak dari mereka mengungkapkan bahwa kehidupan di luar negeri lebih menjanjikan dibandingkan di Indonesia. Berbagai cerita tentang pengalaman hidup di negara lain kemudian memicu pengaruh terhadap sesama pemuda untuk mempertimbangkan opsi “kabur” dan memulai kehidupan baru di luar negeri.
Namun, apakah tren ini benar-benar mencerminkan lunturnya nasionalisme generasi muda? Jika merujuk pada definisi nasionalisme menurut Santika (2012), yaitu jiwa dan semangat yang membentuk ikatan bersama, baik dalam kebersamaan maupun pengorbanan, maka apakah #KaburAjaDulu benar-benar mencerminkan ketidaknasionalisan?
Faktanya, fenomena ini bisa dilihat sebagai sindiran yang berisi harapan besar dari generasi muda terhadap negara mereka. Masyarakat Indonesia belakangan ini sering dikejutkan oleh berbagai kasus korupsi, ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah, dan berbagai masalah sosial lainnya.
Gen Z, dengan kepeduliannya yang tinggi terhadap masa depan, justru mengungkapkan keresahan ini sebagai bentuk perhatian mereka terhadap negara. Bagi mereka, keinginan untuk “kabur” bukan sekadar menunjukkan rasa ketidakpuasan, tetapi sebuah ekspresi harapan agar Indonesia bisa menjadi tempat yang lebih baik bagi generasi mendatang.
Lalu, apakah pendidikan Pancasila masih relevan dalam konteks ini? Bagi banyak kalangan, pendidikan Pancasila sering dianggap sebagai hal yang sudah tertanam sejak dini.
Sejak kecil, kita hidup dalam lingkungan yang beragam, dengan nilai-nilai menghargai perbedaan dan mengutamakan rasa saling hormat.
Oleh karena itu, sebagian besar dari Gen Z mungkin merasa bahwa pendidikan Pancasila tidak terlalu relevan lagi di tingkat perguruan tinggi, karena nilai-nilai tersebut sudah mereka dapatkan melalui pengalaman sosial dan kehidupan sehari-hari.
Namun, meskipun begitu, fenomena ini menegaskan bahwa pendidikan Pancasila tetap penting untuk memperkuat karakter kebangsaan dan semangat nasionalisme. Mungkin yang lebih urgent adalah bagaimana mengadaptasi pendidikan Pancasila agar lebih sesuai dengan realitas zaman sekarang.
Ini bukan tentang menghilangkan rasa nasionalisme, tetapi lebih kepada bagaimana mengajarkan generasi muda untuk tetap mencintai tanah air mereka, sambil tetap memahami tantangan global yang ada.
Fenomena #KaburAjaDulu bisa dipandang sebagai tanda kepedulian, bukan sebagai bukti hilangnya nasionalisme. Gen Z sangat sadar akan pentingnya merencanakan masa depan mereka, dan untuk sebagian mereka, itu berarti mencari peluang di luar negeri.
Namun, hak untuk memilih kehidupan yang lebih baik, di mana pun itu, adalah hak asasi yang tidak bisa dibatasi. Semoga pemerintah Indonesia bisa menanggapi fenomena ini secara positif, dengan memahami bahwa ini adalah sebuah protes konstruktif, bukan tanda dari hilangnya rasa cinta terhadap tanah air.
Penulis: Giska Sema Ayu, Mahasiswa Prodi Pendidikan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Yogyakarta