
Oleh: Zello Bertholomeus dan Valen Ajeng*)
SUARAMUDA, SEMARANG – Pygmalion adalah seorang tokoh dongeng dalam cerita rakyat Yunani. Pygmalion digambarkan sebagai seorang seniman patung yang memiliki bakat yang luar biasa.
Sebagai seorang seniman, Pygmalion memiliki daya imajinasi diatas rata-rata manusia pada umumnya, sehingga memungkinkannya untuk menciptakan karya patung yang memiliki nilai estetika tinggi.
Pygmalion seorang bujangan, dia memilih untuk tidak membuka hati bagi kaum hawa karena ia tak pernah menjumpai wanita yang sesuai dengan kriterianya.
Dia memiliki kriteria tersendiri dalam hal menemukan pasangan hidup, kriteria Pygmalion berlandaskan pada imajinasinya. Bila ada wanita yang ingin memasuki sejarah hidupnya Pygmalion memilih untuk cuek bebek.
Rutinitas Pygmalion hanya mengeram di sanggar seninya, tak pernah ngeluyur ke tempat-tampat umum. Dengan bakat dan ketekunan dia memahat patung-patungnya.
Tak sedikit orang yang membeli dan memesan. Patung-patung karya Pygmalion juga menghiasi acara pameran-pameran seni.
Suatu saat, dengan sangat intens, Pygmalion berhasil memahat sebuah patung wanita yang cantik tiada duanya di dunia ini. Bagi Pygmalion inilah sosok wanita yang paling sempurna dan sesuai dengan kriterianya serta ideal untuk dijadikan pasangan hidup.
Dia menempatkan patung itu di tempat yang paling strategis di kamar sanggarnya, sehingga tampak menambah estetika karyanya.
Rutinitas Pygmalion sebagai pemahat patung vakum sementara karena fokusnya teralihkan oleh patung wanita buatannya sendiri. Dia sering membayangkan seandainya ada wanita di dunia ini berparas seperti patung karyanya.
Waktu demi waktu berlalu suasana aneh menggoncangkan hatinya. Dia tak mampu membantah kenyataan ini. Pygmalion benar-benar jatuh cinta pada wanita patung karyanya sendiri.
Patung itu memang indah dan menawan tapi dia hanya benda mati. Pygmalion tak kuasa membendung air mata kesedihannya. Dia benar-benar terjebak dalam rasa nyaman dengan benda yang tak bernyawa.
Pygmalion bergulat dengan batin dan perasaannya, dia mencari berbagai cara agar ekspetasinya menjadi realita. Dia berharap wanita patung hasil imajinasinya benar-benar nyata.
Pygmalion pun berdoa kepada dewa-dewa Olympus kiranya dewa memberikan nafas kehidupan pada patung pahatannya itu. Permohonan Pygmalion pun terkabulkan. Dia sangat bahagia, bernyanyi ria dan senyum kegembiraan terpancar dari wajahnya.
Ayam-ayam peliharaan Pygmalion ikut merasakan kegembiraan tuannya, mereka berkokok di fajar pagi hingga matahari tergantung rendah di ufuk senja. Wanita itu diberi nama Galatea. Akhirnya getaran hati yang jatuh cinta berpadu dengan hati Galatea. Mereka menjadi sepasang kekasih.
Seorang penulis benama J. Maurus mengatakan, manusia memiliki kecenderungan untuk menciptakan kembarannya sendiri. Dia mampu membuat manusia lain, entah itu muridnya, temannya, umatnya bahkan anaknya sendiri menjadi manusia seperti yang dia impikan.
Dia lalu mendidik mereka dengan kriteria-kriterianya sendiri. Dia mencurahkan seluruh usaha agar manusia lain menjadi manusia sesuai dengan kriteria dan keinginannya sendiri, tanpa mempertimbangkan keinginan, kepribadian dan cita-cita meraka.
Dia dengan seenaknya menyuruh mereka melakukan sesuatu. Dia benar-benar ingin meciptakan manusia lain menurut gambarnya sendiri, menurut angan-angan dan idenya sendiri.
Relevansi Pygmalion Effect terhadap Generasi Z
Efek Pigmalion adalah fenomena psikologis yang menjelaskan bahwa ekspektasi tinggi terhadap seseorang akan meningkatkan kinerjanya. Apakah benar demikian?. Mari sama-sama kita simak apa yang dialami Gen Z saat ini.
Di era sekarang Pygmalion effect sedang menghegemoni Generasi Zoomers atau yang lebih dikenal dengan sebutan Generasi Z atau Gen Z. Dimana mereka saat ini dihadapkan dengan sebuah persoalan yang merupakan bagian dari bayang-bayang Pygmalion effect.
Mereka dipaksa untuk menguburkan cita-cita mereka demi ambisi orang tuanya. Orang tua memaksa anak-anak mereka untuk hidup sesuai dengan cara dan segala kriteria-kriterianya tanpa mempertimbangkan keinginan anak-anak mereka.
Pygmalion effect tak dapat dibendung di tengah kehidupan Generasi Z saat ini. Dengan dalih ingin masa depan anak-anaknya lebih baik dari mereka, orang tua terus mempraktikkan konsep Pygmalion dalam mendidik anak-anaknya.
Ironisnya upaya mereka ini justru menguburkan mimpi, cita-cita dan berpotensi menghancurkan masa depan anak-anak mereka.
Akibat dari fenomena ini menciptakan kekacauan dalam proses pencarian jati diri dan integritas anak-anak mereka, dan itu yang sedang dialami Gen Z. Hal ini merambat pada kehidupan sosial anak-anak mereka.
Sebagian anak terlihat canggung dalam berelasi dengan sesama, karena didikan yang mereka dapatkan dari orang tuanya. Tak jarang banyak dari Gen Z yang putus sekolah, terutama dikalangan mahasiswa. Kok bisa?
Fenomena ini terjadi sangat erat kaitannya dengan Pygmalion effect. Sebagian dari Gen Z menempuh pendidikan tinggi bukan karena cita-cita dan angan mereka, melainkan karena ambisi dan ekspetasi orang tuanya. Mereka terpaksa memilih jurusan yang bukan cita-citanya.
Contoh, Bertho memiliki cita-cita menjadi tentara sejak berada di bangku SMA, namun ketika ingin mewujudkan cita-citanya, orang tua melarang dengan alasan jadi tentara itu konsekuensinya sangat fatal karena berpotensi untuk kehilangan nyawa.
Bertho dipaksa orang tuanya untuk mencapai kesuksesan dengan jalur lain yaitu perkuliahan. Tentu hal ini sangat bertentangan dengan kemauan Bertho, apa boleh buat, mau tidak mau harus mau. Itu adalah hukumnya.
Masalah yang dihadapi Bertho kerap terjadi di kalangan Gen Z dan bahkan hal ini juga menjadi salah satu penyebab mengapa banyak mahasiswa di zaman sekarang putus kuliah.
Pilihan yang diambil sangat sempit bagi sebagian orang untuk memilih. Bahkan ada yang memilih untuk kabur dari rumah sebagai bentuk pembangkangan terhadap pengaruh Pygmalion effect ini.
Ada sebagian orang memilih untuk tetap terjebak dalam pengaruh Pygmalion effect sebagai bukti anak yang berbakti kepada orang tua. Tidak ada jaminan masa depan cerah bagi anak yang selalu dihantui konsep didikan ini, malahan mereka malah tertekan dan merasakan beban.
Situasi paradoks terjadi, tetap mengikuti pilihan orang tua, tapi mengorbankan cita-cita dan angannya ataukah membangkang tapi dicap anak durhaka. Hal ini menimbulkan dilema dikalangan Generasi Z.
Upaya Mengentaskan Pengaruh Pygmalion Effect
Pentingnya memahami bahwa setiap generasi memiliki zamannya sendiri. Orang tua sering kali ingin anak-anaknya mengikuti jejak hidup yang sama, baik dalam karier, nilai, maupun cara pandang.
Namun setiap anak lahir di masa yang berbeda layaknya generasi Z. Mereka hidup di era yang berbeda dengan tantangan, peluang dan perkembangan yang juga berbeda.
Bagi Gen Z tantangan hidup mereka harus dihadapi dengan cara-cara dan strategi mereka sendiri. Peran orang tua dalam situasi seperti ini hanya sebagai pembimbing bagi anaknya, bukan malah mendikte dengan cara atau strategi lama.
Bukan karena tidak cocok, tapi sudah tidak relevan dengan konteks zaman yang mereka alami. Sebenarnya anak-anak mereka tidak bermaksud menentang orang tuanya, tetapi urusan masa depan mereka biarlah menjadi urusannya.
Memaksakan jalan hidup yang sama pada anak-anak bisa membuat mereka kehilangan jati diri. Mereka memiliki impian, minat, dan bakat yang mungkin tidak sesuai dengan pengalaman orang tuanya.
Rupanya Pygmalion effect telah menghegemoni pemikiran para orang tua. Dalam situasi seperti ini tugas orang tua bukanlah menentukan jalan, melainkan membimbing dan mendukung anak menemukan jalannya sendiri.
Seandainya jika para orang tua menginginkan masa depan anaknya cerah dan sukses mereka harus mendukung setiap tindakan dan langkah positif yang dipilih anak-anaknya.
Di tengah hegemoni Pygmalion effect terhadap generasi Z, orang tua di minta untuk mengambil tindakan-tindakan bijak yang tidak menegasikan cita-cita dan keinginan anak-anaknyanak-anak mereka agar hidupnya tidak dirundung tekanan.
Perlu disadari bahwa dunia terus berubah, dan anak-anak harus dipersiapkan untuk menghadapi masa depan, bukan masa lalu. Nilai-nilai kehidupan memang penting diwariskan, tetapi ruang untuk berkembang harus diberikan.
Keseimbangan antara bimbingan dan kebebasan adalah kunci membentuk anak yang mandiri dan percaya diri.
Pada akhirnya, perlu kita ketahui bahwa cinta orang tua tidak diukur dari seberapa mirip anak dengan mereka, tetapi dari seberapa jauh anak bisa menjadi dirinya sendiri.
Membiarkan anak untuk memilih dengan jalannya bukan berarti melepaskan, melainkan mempercayai bahwa mereka mampu menghidupi dunia dengan caranya sendiri.
Pygmalion effect sebenarnya bukan apa-apa bagi generasi Z ketika para orang tua membiarkan anak-anak mereka hidup dengan segala ciri khasnya masing-masing.
Biarlah urusan masa depan mereka menjadi haknya, bukan berarti orang tua melepaskan tanggung jawabnya tapi cukup memantau dan membimbing dalam prosesnya, dengan begitu segala cita-cita dan angan generasi Z digapai dengan wajar dan pantas. (Red)
*) Zello Bertholomeus dan Valen Ajeng, Mahasiswa S-1 pendidikan teologi, UNKA St. Paulus Ruteng