
SUARAMUDA, SEMARANG – Finlandia kembali dinobatkan sebagai negara paling bahagia di dunia untuk kedelapan kalinya secara berturut-turut.
Para ahli menyebut mudahnya akses untuk menikmati alam dan sistem kesejahteraan yang mumpuni disebut sebagai faktor utama di balik tren ini.
Finlandia mengungguli tiga negara Nordik lainnya dalam Laporan Kebahagiaan Dunia 2025 yang disponsori PBB.
Dari Amerika Latin, Kosta Rika dan Meksiko berhasil masuk 10 besar untuk pertama kalinya.
Beberapa Negara Turun Peringkat
Inggris dan Amerika Serikat mengalami penurunan peringkat, masing-masing ke posisi 23 dan 24 (posisi terendah sepanjang sejarah untuk AS).
Adapun Indonesia berada di posisi 83 atau turun tiga peringkat dari tahun sebelumnya.
Pertanyaan yang lebih besar adalah: apa hakikat dari kebahagiaan itu sendiri? Apa yang bisa kita lakukan untuk menjadi lebih bahagia?
Perasaan bahagia sebetulnya dapat dijelaskan melalui sains. Tubuh kita membutuhkan keseimbangan empat hormon penting: dopamin, oksitosin, serotonin, dan endorfin.
Semua orang pasti pernah berhadapan dengan tantangan kesehatan mental.
Akan tetapi, sebenarnya ada langkah-langkah sederhana untuk menyeimbangkan kondisi kimia tubuh dan meningkatkan ketentraman.
Owen O’Kane, psikoterapis dan penulis buku Addicted to Anxiety, mengurangi stres adalah yang paling utama.
Dia menyebut kesibukan masa kini membuat orang-orang cenderung tidak bahagia.
“Selama bertahun-tahun, yang menjadi perbincangan adalah melakukan lebih banyak hal—budaya kerja dengan produktivitas yang lebih tinggi,” ujarnya.
“Padahal sudah ada banyak bukti tentang manfaat dari melakukan lebih sedikit serta mempraktikkan meditasi dan kesadaran penuh [mindfulness].”
O’Kane menekankan budaya “selalu aktif” memicu generasi yang cemas dan kecanduan akan proses kecemasan.
“Bagi kebanyakan orang, kecanduan…datang dengan rangsangan dan janji untuk ditenangkan, atau pelarian,” imbuhnya.
“Kecemasan datang dengan janji untuk membuatmu aman.”
Dia menjelaskan bahwa orang-orang terjebak dalam pemikiran berlebihan dan perilaku yang menyertainya.
Mereka merasa bahwa, tanpa proses kecemasan, sesuatu yang salah akan terjadi dan “hidup dengan tingkat kekhawatiran yang terus bertambah” adalah hal yang normal. (Red/ sumber: bbc.com)