
Oleh: M Yasin Khoirul Anam*)
SUARAMUDA, SEMARANG – Setiap hari, jutaan paket dikirimkan ke berbagai penjuru kota, membawa kemudahan bagi para konsumen. Namun, di balik layanan yang tampak efisien ini, ada realitas kerja para kurir yang sering kali diabaikan.
Para pekerja pengantar barang—khususnya kurir sepeda motor—menghadapi berbagai risiko, mulai dari kecelakaan di jalan, beban kerja berlebihan, hingga ketidakpastian status pekerjaan mereka.
Dalam sistem kerja berbasis kemitraan yang banyak digunakan oleh perusahaan logistik dan e-commerce, kurir tidak diakui sebagai pekerja dengan hak-hak ketenagakerjaan yang jelas.
Akibatnya, mereka harus menanggung sendiri risiko pekerjaan tanpa perlindungan yang memadai.
Tulisan ini akan membahas bagaimana individualisasi risiko kerja kurir menciptakan ketidakadilan dan mengapa regulasi yang lebih tegas diperlukan untuk melindungi mereka.
Fenomena individualisasi risiko dalam pekerjaan kurir mencerminkan bagaimana sistem kemitraan yang diterapkan oleh banyak perusahaan ekspedisi dan e-commerce cenderung menguntungkan pihak perusahaan, tetapi merugikan para kurir.
Dalam hubungan kerja tradisional, pekerja mendapatkan perlindungan berupa gaji tetap, asuransi kesehatan, dan jaminan sosial.
Sebaliknya, dalam sistem kemitraan, kurir dianggap sebagai mitra independen yang bertanggung jawab atas segala risiko yang mereka hadapi, termasuk biaya operasional, kecelakaan, serta kehilangan atau kerusakan barang yang mereka antar.
Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pekerja yang memiliki hubungan kerja dengan perusahaan berhak atas perlindungan yang mencakup keselamatan dan kesehatan kerja.
Namun, dalam kasus kurir yang bekerja berdasarkan perjanjian kemitraan, hak-hak ini sering kali tidak diberikan.
Mereka tidak mendapatkan tunjangan kesehatan atau kompensasi kecelakaan kerja, meskipun risiko yang mereka hadapi cukup tinggi.
Studi yang dilakukan oleh International Labour Organization (ILO) menunjukkan bahwa pekerja di sektor logistik, terutama yang bekerja dalam sistem kemitraan, lebih rentan terhadap eksploitasi dan ketidakpastian ekonomi (ILO, 2021).
Selain itu, target kerja yang tinggi juga menjadi persoalan serius. Untuk mendapatkan penghasilan yang layak, kurir sering kali harus mengantarkan puluhan hingga ratusan paket dalam sehari.
Tekanan ini memaksa mereka bekerja dalam kondisi yang tidak aman, seperti membawa barang dalam jumlah berlebihan atau mengabaikan aturan lalu lintas demi mengejar waktu pengantaran. Hal ini meningkatkan risiko kecelakaan di jalan raya.
Berdasarkan data Kementerian Perhubungan, kecelakaan yang melibatkan pengendara ojek dan kurir mengalami peningkatan signifikan dalam lima tahun terakhir (Kemenhub, 2022).
Di sisi lain, ketidakpastian hukum mengenai status kerja kurir juga berdampak pada kesejahteraan mereka.
Dalam sistem kemitraan, perusahaan menghindari kewajiban untuk memberikan jaminan sosial, sehingga para kurir harus membayar sendiri iuran BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Namun sayangnya, banyak kurir yang tidak mampu membayar iuran ini karena pendapatan mereka tidak stabil. Hal ini menciptakan situasi di mana mereka bekerja tanpa jaminan perlindungan di masa depan.
Contoh nyata dari kondisi ini dapat dilihat dalam aksi protes yang dilakukan oleh para kurir di berbagai daerah. Mereka menuntut kejelasan status kerja, peningkatan tarif pengiriman, serta jaminan sosial.
Tapi hingga kini, regulasi yang ada masih belum cukup untuk memberikan perlindungan yang layak bagi mereka.
Dari berbagai permasalahan di atas, terlihat bahwa sistem kemitraan yang diterapkan di sektor logistik masih memiliki banyak celah yang merugikan pekerja.
Tanpa regulasi yang lebih ketat, kurir akan terus berada dalam posisi yang rentan, di mana mereka harus menanggung sendiri seluruh risiko pekerjaan tanpa mendapatkan hak-hak dasar sebagai pekerja.
Situasi yang dihadapi kurir dalam sistem kemitraan menunjukkan adanya ketimpangan yang perlu segera diatasi. Salah satu solusi utama adalah mendorong regulasi yang lebih ketat terkait status kerja kurir.
Pemerintah perlu meninjau ulang kebijakan ketenagakerjaan agar perusahaan tidak bisa secara sepihak mengategorikan kurir sebagai mitra tanpa memberikan perlindungan yang layak.
Regulasi ini dapat berupa revisi terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan atau penyusunan aturan khusus bagi pekerja di sektor logistik berbasis digital.
Selain regulasi, perusahaan logistik dan e-commerce juga memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk memberikan perlindungan lebih baik bagi kurir.
Hal ini bisa dilakukan dengan menyediakan asuransi kecelakaan kerja, standar keselamatan dalam pengantaran barang, serta skema insentif yang adil.
Model kerja fleksibel memang memberikan kebebasan bagi kurir, tetapi kebebasan ini seharusnya tidak mengorbankan hak-hak dasar mereka.
Dari sisi pekerja, kesadaran akan pentingnya jaminan sosial juga perlu ditingkatkan.
Pemerintah dapat memberikan subsidi atau insentif bagi kurir yang mendaftarkan diri ke BPJS Ketenagakerjaan, sehingga mereka tetap mendapatkan perlindungan tanpa harus terbebani biaya yang besar.
Jika permasalahan ini terus dibiarkan, maka ketimpangan dalam sistem ketenagakerjaan akan semakin meluas.
Pemerintah, perusahaan, dan masyarakat harus menyadari bahwa di balik layanan pengiriman yang cepat dan mudah, ada tenaga kerja yang membutuhkan perlindungan dan kesejahteraan yang lebih baik.
Kurir merupakan elemen penting dalam roda ekonomi digital yang terus berkembang. Namun, di balik efisiensi layanan pengiriman, terdapat realitas kerja yang penuh risiko dan minim perlindungan.
Dengan sistem kemitraan yang diterapkan oleh banyak perusahaan logistik menempatkan kurir dalam posisi rentan, di mana mereka harus menanggung sendiri berbagai risiko tanpa kepastian hukum yang jelas.
Tanpa regulasi yang lebih kuat, ketimpangan ini akan terus berlanjut. Pemerintah harus segera merancang kebijakan yang menjamin hak-hak kurir, sementara perusahaan harus lebih bertanggung jawab dalam memberikan perlindungan bagi para pekerja.
Kesadaran masyarakat juga penting agar mereka mendukung kebijakan yang lebih adil bagi kurir. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan kesejahteraan kurir dapat meningkat, dan sistem ketenagakerjaan di sektor logistik menjadi lebih berkeadilan.
*) M Yasin Khoirul Anam, merupakan mahasiswa (semester 6), Program S1 Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum Universitas Negeri Yogyakarta; tinggal di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah
Dear http://suaramuda.net/fekal0911 Admin